Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.
Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinya Seperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku. Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku. Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan. Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku yang baru saja masuk ke dalam toko hampir membulatkan mata dengan sempurna melihat betapa cantiknya mawar tersebut, tapi hati ini bimbang memikirkan siapa yang telah mengirimkan bunga sepagi ini. Kuhampiri meja kerja lalu kuangkat buket bunga itu dan disana ada sebuah kertas yang mungkin adalah pesan yang kemudian kubuka dan kubaca isinya. 'Mungkim kita tidak berjodoh tapi kita bisa berteman, lupakan apa yag telah terjadi dan kita kembali dari awal lagi, untukmu yang selalu secantik bunga ini.' "Dari mana ini?" batinku sambil menghela nafas. "Pasti ingin tahu kan ya?" Kubalikkan badan dan ternyata itu adalah Wira, wajahnya masih meninggalkan bekas luka akibat air keras yang menghitam, namun roman mukanya selalu terlihat antusias dan bersemangat seperti dulu. "Wira ... Apa kabar kamu?" "Baik, Mbak." Dia menyalamiku. "Aku nggak nyangka kalau kamu terlihat sangat sehat sekarang," ucapku sambil berdecak gabung. "Kamu sehat-sehat aja Mbak Jannah?" "Sehat, kamu gimana, aku masih nggak nyangka kalau kamu pulih secepat ini," ujarku. "Alhamdulillah berkat doa semua orang." Senyum sambil mengambil tempat di sofa depan meja kerjaku. "Kamu ... aku benar benar pangling ...." Masih kagum diri ini atas kesembuhannya yang cepat sementara Minggu kemarin ia masih terkapar merintih di ranjang rumah sakit. "Kenapa menatapku?" Aku tertawa kecil, lalu berkata, "Aku kagum dengan semangatmu." "Sayangnya kekagumanmu tidak berubah jadi suka," ujarnya sambil mengerucutkan bibir. "Aksen dan gesturmu seperti wanita," kataku sambil tertawa lepas. "Ayolah ... kamu terus bercanda," ia merajuk. "Jadi maumu apa?" Aku tersenyum. "Aku mau ditraktir kopi karena kesembuhanku," jawabnya. "Kamu mau kopi, di sini juga ada," candaku. "Enggak." Ia menyilangkan lengan di dada. "Kita pesan." "Gak mau." "Ya ampun kamu, aku mau kerja ya, kamu pulang aja." "Apa kamu mengusir semua orang seperti ini?" "Enggak, cuma kamu aja." Tawaku tiba tiba meledak. "Kok aku bisa dibedakan gitu, sih, nyebelin." "Ok, deh, maaf. Jadi kita kau kemana?" "Ke coffe royal." "Itu kan kafe mahal," seruku terkejut. "Ya gak apa-apa, uang Mbak Jannah juga banyak," ujarnya cekakakan. "Baik, aku akan mengajakmu ngopi, tapi, tunggu pekerjaanku selesai." "Baiklah terserah, Nyonya terhormat," candanya dan aku segera beralih ke buku besar yang menunggu untuk di periksa di depanku kini. Lima menit, sepuluh menit berlalu, pemuda itu terlihat bosan. Duduk, bersandar hingga berguling guling di sofa. "Kau bosan?" "Kalo melihatmu tidak." "Wira ... Bukannya kamu sudah legowo melepaskan ku?" "Boleh aku berubah pikiran, tempo hari aku sedang down," katanya sambil tersenyum. "Serius Wira? apa tujuanmu sekarang? datang kesini untuk apa?" tanyaku menelisik lebih dalam. "Aku ... tidak, hanya mengunjungimu saja," katanya sambil menatap mataku. Dari binar mata, dan ulasan senyuman tulus itu tersirat sebuah kesedihan yang sulit kugambarkan dan itu tertangkap di hatiku. Kututup buku dan kumasukkan ponsel dalam tasku. "Ayo pergi." Aku mengajaknya. "Sudah selesai? Cepat sekali." "Kau mau kemana?" "Mau ngopi aja, Mbak." "Kenapa kita tidak pergi ke tempat yang lebih seru?" "Kemana?" "Dunia fantasi, naik wahana kora-kora," jawabku. "Dengan setelan hijab itu?" "Yes, why not?" "Ayo, siapa takut," serunya girang. Kami berdua menukar senyum dan masuk ke mobil dan meluncur menuju tempat yang sebelumnya tak pernah kudatangi lagi kecuali di masa kecil dan menjelang remaja. Sepanjang perjalanan kami mengobrol dan bercanda. Cara Wira berbicara dan bercanda membuatku terhibur dan seolah gairah bahagia di masa mudaku tumbuh kembali. Kami tertawa dan menertawai apa saja, kami menyetel musik dan bernyanyi sekerasnya tanpa peduli, rasanya baru pertama kali jiwa ini terasa lepas bagai burung yang terbang di udara. "Aku seolah melihat sisi dirimu yang lain, Mbak." Ia menatapku dalam. "Maksudmu?" "Biasanya mbak Jannah kalem dan lembut, aku tak menyangka jika sisi lainmu juga ceria dan seseru ini," jawabnya. "Aku lelah jadi sosok yang menjaga image, aku ingin bahagia," teriakku di sela kencangnya suara musik di mobil. Sesampainya di wahana, kami membeli tiket free main sepuasnya lalu segera masuk, membeli Boba es dan lolipop. "Mau naik apa dulu?" "Kora kora dan roller coaster," jawabku. "Kamu berani?" "Kalo aku takut, kan ada kamu," balasku yang menerbitkan raut gembira di wajahnya. "Kau bisa mengandalkanku." Ia mengangkat kerah baju tanda percaya diri. "Ayo naik," ajakku. "Hayoo ...." Kami sudah siap dengan tali dan pengaman, wanaha siap diluncurkan, dan perlahan bergerak menanjak. "Apa kau akan berteriak?" Bisiknya. "Tidak, aku akan diam saja," jawabku yang sukses membuat tawanya menggema. Di saat bersamaan wanaha meluncur ke bawah dan tanpa sadar aku berteriak keras sambil memegang tangan Wira sekencang mungkin. Aku merasa melayang karena ini adalah pertama kali naik wahana yang melayang di ketinggian. "Yahahahaha kau takut?" "Tidaaaaak." Aku membalas di antara teriakan semua orang. "Tapi kau tegang sekali, genggamanmu kuat." "Dasar kamuuuu!" Kulepas tanganku dengan salah tingkah. "Hei, jangan lepas." Ia menarik kembali jemariku lalu menggenggamnya kuat. "Ngapain?" "Nanti hilang." Gaya dan pembawaannya selalu membuatku ceria, ada perbedaan mencolok antara cara Mas Rafiq dan Wira mengambil hatiku. Mas Rafiq yang romantis dengan sikap dan tutur kata yang selalu melelehkan, berbeda dengan Wira yang apa adanya dan cenderung asal saja tapi menghiburku. Aku merasa menemukan dunia bersama Wira. "Wauuuh serunya," kataku ketika kami turun dari wahana. "Habis ini mau naik apa?" "Itu ...," jawabku menunjuk ayunan raksasa yang berputar kencang. "Hah, seriusan." "Atau mau naik ketapel raksasa?" "Jangan ...." "Kamu laki-laki kok takut?" "Aku gak takut, aku hanya kalah berani aja sama kamu, Jannah," ujarnya. "Sama aja itu jatuhnya," seruku sambil mengacak rambutnya dan ia segera mencengkeram tanganku agar aku tak mengacaknya lebih jauh. Sesaat kami salah tingkah, tatapan mata kami bertemu dan pegangan tangan itu bertaut, hingga kami saling menyadari dan gugup saling minta maaf. "Ma-maaf ...." Kami hampir bersamaan mengatakan itu. "Kok jadi canggung ya?" tanyaku sambil menjawil ujung telinganya. "Mungkin hati kita saling bergetar." "Oh, mendadak kepalaku pusing digombali," seruku sambil menjatuhkan bokong di pinggir trotoar. "Ya ampun itu kotor," katanya. "Gak apa, aku juga biasa kok duduk di sembarangan tempat." "Oh, ya?" "Sini, duduk sini," ajakku. "Ya, kenapa?" "Lihat matahari cerah dan langit biru itu," ujarku. "Kenapa?" "Aku ingin selalu ceria seperti mereka." "Senyummu lebih indah dari matahari," pujinya. "Halah, kamu," ujarku tertawa. "Sebenarya aku ingin kita bahagia seperti ini." "Sayangnya kita harus dihadapi oleh kenyataan pahit tiap hari. "Kalo begitu izinkan aku habiskan sisa kepahitan itu berbagi bersamamu," ujarnya dengan tatapan mata penuh arti. "Sulit ....." "Aku lebih menyayangimu dan anakku dari pada Rafiq." "Oh ya?" "Aku tak akan menduakanmu," ujarnya sambil menggenggam tanganku. "Sudahlah, nanti aku terbawa perasaan." "Benarkah? seharusnya kita memang harus saling terbawa perasaan." "Ayo kita pulang, hari menjelang sore," ajakku. "Tapi, aku masih ingin ...." "Sudah ayo pulang." Ketika menuju halaman parkir, sempat Wira meraih tanganku dan menggenggamnya untuk beberapa detik, aku menatapnya dengan heran namun ia hanya memberi isyarat hanya sebentar saja. Kami tertawa kecil dan masih saja bercanda hingga sampai di mobil. "Jannah, kamu di sini rupanya ....." Mas Rafiq di sini ... dan ia menatap dengan raut sendu pada kami bergantian, dia di depan, dan Wira di belakangku. "Jadi ... kau menolakku karena dia ...." Mas Rafiq membalikkan badan menjauh dan aku berusaha mengejarnya namun tangan Wira menarikku lebih keras dan menyentakku dalam pelukannya. "Jangan ... Jangan lagi," ujarnya. Ah ....."Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."Ia menahanku dalam pelukan."Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang."Tidak, kamu hanya akan jadi milikku.""Orang orang melihat kita," bisikku."Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu."Jannah, boleh aku bicara," bisiknya."Ya, tapi lepaskan aku."Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku."Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa
Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun
Ponselku berdering ketika aku hampir merebahkan tubuh di pembaringan"Selamat malam, kamu lagi apa?" Dia menelpon dan menanyakan hal itu."Selamat malam, mau tidur." "Soal siang tadi, maaf aku tidak bisa mengantarnya secara langsung dan formal, maafkan aku ya," ujarnya memaksudkan beberapa barang yang dia beli untuk seserahan, dia juga memintaku untuk memilih seperti apa kain dan corak yang kuinginkan lalu mengirim contoh perhiasan, tas dan sepatu untuk kupakai di hari akad nanti."Gak apa- apa, aku belum mau tidur, kamu sendiri sedang apa?""Gak ada, aku di rumah aja," balasnya."Ya udah kalo gitu kamu tidur aja, aku juga mau tidurkan anak-anak dulu," balasku."Ya udah, selamat istirahat aja, daaah."Kuletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur lalu merebahkan di kasur, namun tiba-tiba, pintu diketuk, dan Raisa datang memanggilku."Bunda ... Bunda sudah belikan aku krayon dan palet untuk lukisan yang baru?""Maaf ... Bunda lupa, Nak.""Yah ... Bunda, benda itu harus dibawa besok ke
Aku mengendara dengan hati remuk redam sambil menyembunyikan air mata dari tatapan putriku yang terus mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan pulang."Bunda, kok Bunda diam aja sih?""Anu ... Bunda, kehabisan topik," candaku."Oh begitukah?""Kenapa emangnya?""Nggak ada, biasanya kan Bunda juga cerewet ngajakin aku ngobrol.""Oh, begitu ya, hehehhe."Dia terus menatap dan menelisik gestur dan pembawaanku yang canggung dan gugup kepadanya."Tapi kok Bunda kayaknya sedih," ujarnya."Tidak juga nak, apa yang membuat Bunda sedih Bunda baik-baik saja dan bahagia," jawabku.Dia hanya mengangguk sambil membuang tatapannya ke arah luar jendela mobil sedang aku tetap tersenyum mengalihkan perhatiannya dari kecurigaan.Sesampainya di rumah kusuruh putriku untuk naik dan langsung beristirahat, begitu pun aku yang langsung masuk ke kamar.Kuhempaskan diri di kasur sambil menghela napas berat.Kulirik sudur kamar, di atas meja kutata semua seserahan yang sudah diletakkan dalam kotak akrilik, d
Aku mengikutinya namun tanpa sadar, kakimu menghentikan tarikan gas dan menukarnya dengan rem. Kenapa aku mengikutinya, toh kalo memang mirip Mas Ikbal tak akan mengubah kenyataan jika itu adalah orang lain, meski gestur tubuh dan senyumnya sama, tetap saja ia tak mengenalku, dan tentu ia bukan cintaku. Buat apa aku mengejarnya? Kalau ternyata dia suami orang atau tunangan wanita lain, apa yang akan terjadi pada mereka? Sementara perkara menundukkan hati pria bukanlah keahlian ku, setidaknya aku canggung dalam hal itu.Maka, sambil menertawai diri sendiri aku memutar balik mobil dan kembali ke rumah. Aku tertawa, menertawakan kebodohan yang hampir saja terulang."Tuhan ... Hanya satu pertanyaan, mengapa kisah cintaku selalu gagal? Apakah aku tidak pantas menerima sebuah ketulusan atau merajut tali asmara ...." Aku menggumam dalam desahan napas lelah, lagi bosan.**Ya, keputusan itu lebih baik bagiku. Jika aku tak menikah, tentu aku tak harus khawatir, membagi pikiran dan meluangkan
Sendiri ...Kata itu memang ditakutkan banyak orang tapi juga ampuh bagi mereka yang merasa berpasangan adalah penderitaan. Satu hal yang mungkin sulit dikuasai seseorang, perasaan sepi.Setelah enam purnama aku masih setia membunuh waktu dengan tumpukan nota tagihan, laporan keuangan dan pengiriman, aku tak bosan dengan itu semua. Hanya saja, perlahan menjalar rasa rindu terhadap sesuatu tapi entah apa.Anak-anakku sehat, jarang sakit atau bertingkah nakal, jarang pula menunjukkan gelagat merindukan seseorang yang suatu ketika akan disebut ayah, mudah-mudahan tidak untuk selamanya. Aku bahagia, bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang, aku bisa menuruti keinginan anak-anak, orang tua berangkat umroh dan semuanya sempurna.*Ketika asyik memainka jari di permukaan tombol kalkulator, tiba-tiba asistenku mendekat dan berbisik."Merasa gak sih, tiap hari ada yang memperhatikan dan mengikuti?" tanyanya dengan penuh misteri."Apaan sih, horor deh," ujarku sambil menusuk lengannya pelan