Share

124

Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.

Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinya

Seperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku.

Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku.

Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan.

Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku yang baru saja masuk ke dalam toko hampir membulatkan mata dengan sempurna melihat betapa cantiknya mawar tersebut, tapi hati ini bimbang memikirkan siapa yang telah mengirimkan bunga sepagi ini.

Kuhampiri meja kerja lalu kuangkat buket bunga itu dan disana ada sebuah kertas yang mungkin adalah pesan yang kemudian kubuka dan kubaca isinya.

'Mungkim kita tidak berjodoh tapi kita bisa berteman, lupakan apa yag telah terjadi dan kita kembali dari awal lagi, untukmu yang selalu secantik bunga ini.'

"Dari mana ini?" batinku sambil menghela nafas.

"Pasti ingin tahu kan ya?"

Kubalikkan badan dan ternyata itu adalah Wira, wajahnya masih meninggalkan bekas luka akibat air keras yang menghitam, namun roman mukanya selalu terlihat antusias dan bersemangat seperti dulu.

"Wira ... Apa kabar kamu?"

"Baik, Mbak." Dia menyalamiku.

"Aku nggak nyangka kalau kamu terlihat sangat sehat sekarang," ucapku sambil berdecak gabung.

"Kamu sehat-sehat aja Mbak Jannah?"

"Sehat, kamu gimana, aku masih nggak nyangka kalau kamu pulih secepat ini," ujarku.

"Alhamdulillah berkat doa semua orang." Senyum sambil mengambil tempat di sofa depan meja kerjaku.

"Kamu ... aku benar benar pangling ...." Masih kagum diri ini atas kesembuhannya yang cepat sementara Minggu kemarin ia masih terkapar merintih di ranjang rumah sakit.

"Kenapa menatapku?"

Aku tertawa kecil, lalu berkata, "Aku kagum dengan semangatmu."

"Sayangnya kekagumanmu tidak berubah jadi suka," ujarnya sambil mengerucutkan bibir.

"Aksen dan gesturmu seperti wanita," kataku sambil tertawa lepas.

"Ayolah ... kamu terus bercanda," ia merajuk.

"Jadi maumu apa?" Aku tersenyum.

"Aku mau ditraktir kopi karena kesembuhanku," jawabnya.

"Kamu mau kopi, di sini juga ada," candaku.

"Enggak." Ia menyilangkan lengan di dada.

"Kita pesan."

"Gak mau."

"Ya ampun kamu, aku mau kerja ya, kamu pulang aja."

"Apa kamu mengusir semua orang seperti ini?"

"Enggak, cuma kamu aja." Tawaku tiba tiba meledak.

"Kok aku bisa dibedakan gitu, sih, nyebelin."

"Ok, deh, maaf. Jadi kita kau kemana?"

"Ke coffe royal."

"Itu kan kafe mahal," seruku terkejut.

"Ya gak apa-apa, uang Mbak Jannah juga banyak," ujarnya cekakakan.

"Baik, aku akan mengajakmu ngopi, tapi, tunggu pekerjaanku selesai."

"Baiklah terserah, Nyonya terhormat," candanya dan aku segera beralih ke buku besar yang menunggu untuk di periksa di depanku kini.

Lima menit, sepuluh menit berlalu, pemuda itu terlihat bosan. Duduk, bersandar hingga berguling guling di sofa.

"Kau bosan?"

"Kalo melihatmu tidak."

"Wira ... Bukannya kamu sudah legowo melepaskan ku?"

"Boleh aku berubah pikiran, tempo hari aku sedang down," katanya sambil tersenyum.

"Serius Wira? apa tujuanmu sekarang? datang kesini untuk apa?" tanyaku menelisik lebih dalam.

"Aku ... tidak, hanya mengunjungimu saja," katanya sambil menatap mataku.

Dari binar mata, dan ulasan senyuman tulus itu tersirat sebuah kesedihan yang sulit kugambarkan dan itu tertangkap di hatiku. Kututup buku dan kumasukkan ponsel dalam tasku.

"Ayo pergi." Aku mengajaknya.

"Sudah selesai? Cepat sekali."

"Kau mau kemana?"

"Mau ngopi aja, Mbak."

"Kenapa kita tidak pergi ke tempat yang lebih seru?"

"Kemana?"

"Dunia fantasi, naik wahana kora-kora," jawabku.

"Dengan setelan hijab itu?"

"Yes, why not?"

"Ayo, siapa takut," serunya girang.

Kami berdua menukar senyum dan masuk ke mobil dan meluncur menuju tempat yang sebelumnya tak pernah kudatangi lagi kecuali di masa kecil dan menjelang remaja.

Sepanjang perjalanan kami mengobrol dan bercanda. Cara Wira berbicara dan bercanda membuatku terhibur dan seolah gairah bahagia di masa mudaku tumbuh kembali.

Kami tertawa dan menertawai apa saja, kami menyetel musik dan bernyanyi sekerasnya tanpa peduli, rasanya baru pertama kali jiwa ini terasa lepas bagai burung yang terbang di udara.

"Aku seolah melihat sisi dirimu yang lain, Mbak." Ia menatapku dalam.

"Maksudmu?"

"Biasanya mbak Jannah kalem dan lembut, aku tak menyangka jika sisi lainmu juga ceria dan seseru ini," jawabnya.

"Aku lelah jadi sosok yang menjaga image, aku ingin bahagia," teriakku di sela kencangnya suara musik di mobil.

Sesampainya di wahana, kami membeli tiket free main sepuasnya lalu segera masuk, membeli Boba es dan lolipop.

"Mau naik apa dulu?"

"Kora kora dan roller coaster," jawabku.

"Kamu berani?"

"Kalo aku takut, kan ada kamu," balasku yang menerbitkan raut gembira di wajahnya.

"Kau bisa mengandalkanku." Ia mengangkat kerah baju tanda percaya diri.

"Ayo naik," ajakku.

"Hayoo ...."

Kami sudah siap dengan tali dan pengaman, wanaha siap diluncurkan, dan perlahan bergerak menanjak.

"Apa kau akan berteriak?" Bisiknya.

"Tidak, aku akan diam saja," jawabku yang sukses membuat tawanya menggema.

Di saat bersamaan wanaha meluncur ke bawah dan tanpa sadar aku berteriak keras sambil memegang tangan Wira sekencang mungkin. Aku merasa melayang karena ini adalah pertama kali naik wahana yang melayang di ketinggian.

"Yahahahaha kau takut?"

"Tidaaaaak." Aku membalas di antara teriakan semua orang.

"Tapi kau tegang sekali, genggamanmu kuat."

"Dasar kamuuuu!" Kulepas tanganku dengan salah tingkah.

"Hei, jangan lepas." Ia menarik kembali jemariku lalu menggenggamnya kuat.

"Ngapain?"

"Nanti hilang."

Gaya dan pembawaannya selalu membuatku ceria, ada perbedaan mencolok antara cara Mas Rafiq dan Wira mengambil hatiku. Mas Rafiq yang romantis dengan sikap dan tutur kata yang selalu melelehkan, berbeda dengan Wira yang apa adanya dan cenderung asal saja tapi menghiburku. Aku merasa menemukan dunia bersama Wira.

"Wauuuh serunya," kataku ketika kami turun dari wahana.

"Habis ini mau naik apa?"

"Itu ...," jawabku menunjuk ayunan raksasa yang berputar kencang.

"Hah, seriusan."

"Atau mau naik ketapel raksasa?"

"Jangan ...."

"Kamu laki-laki kok takut?"

"Aku gak takut, aku hanya kalah berani aja sama kamu, Jannah," ujarnya.

"Sama aja itu jatuhnya," seruku sambil mengacak rambutnya dan ia segera mencengkeram tanganku agar aku tak mengacaknya lebih jauh.

Sesaat kami salah tingkah, tatapan mata kami bertemu dan pegangan tangan itu bertaut, hingga kami saling menyadari dan gugup saling minta maaf.

"Ma-maaf ...."

Kami hampir bersamaan mengatakan itu.

"Kok jadi canggung ya?" tanyaku sambil menjawil ujung telinganya.

"Mungkin hati kita saling bergetar."

"Oh, mendadak kepalaku pusing digombali," seruku sambil menjatuhkan bokong di pinggir trotoar.

"Ya ampun itu kotor," katanya.

"Gak apa, aku juga biasa kok duduk di sembarangan tempat."

"Oh, ya?"

"Sini, duduk sini," ajakku.

"Ya, kenapa?"

"Lihat matahari cerah dan langit biru itu," ujarku.

"Kenapa?"

"Aku ingin selalu ceria seperti mereka."

"Senyummu lebih indah dari matahari," pujinya.

"Halah, kamu," ujarku tertawa.

"Sebenarya aku ingin kita bahagia seperti ini."

"Sayangnya kita harus dihadapi oleh kenyataan pahit tiap hari.

"Kalo begitu izinkan aku habiskan sisa kepahitan itu berbagi bersamamu," ujarnya dengan tatapan mata penuh arti.

"Sulit ....."

"Aku lebih menyayangimu dan anakku dari pada Rafiq."

"Oh ya?"

"Aku tak akan menduakanmu," ujarnya sambil menggenggam tanganku.

"Sudahlah, nanti aku terbawa perasaan."

"Benarkah? seharusnya kita memang harus saling terbawa perasaan."

"Ayo kita pulang, hari menjelang sore," ajakku.

"Tapi, aku masih ingin ...."

"Sudah ayo pulang."

Ketika menuju halaman parkir, sempat Wira meraih tanganku dan menggenggamnya untuk beberapa detik, aku menatapnya dengan heran namun ia hanya memberi isyarat hanya sebentar saja.

Kami tertawa kecil dan masih saja bercanda hingga sampai di mobil.

"Jannah, kamu di sini rupanya ....."

Mas Rafiq di sini ... dan ia menatap dengan raut sendu pada kami bergantian, dia di depan, dan Wira di belakangku.

"Jadi ... kau menolakku karena dia ...." Mas Rafiq membalikkan badan menjauh dan aku berusaha mengejarnya namun tangan Wira menarikku lebih keras dan menyentakku dalam pelukannya.

"Jangan ... Jangan lagi," ujarnya.

Ah .....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status