Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan.
"Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?" "Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah. "Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya." "Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!" "Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujan mulai berjatuhan dan membasahi rambutnya. "Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini." "Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku. "Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpalku marah. "Aku akan mencarinya untukmu, tapi maafkanlah aku," pintanya. "Aku tidak mau tahu, kau harus mendapatkannya." "Aku akan memanggil petugas kebersihan sekarang juga dan memindai di mana cincinmu berada, tapi mohon berikan aku kesempatan untuk bisa berbaikan." "Jangan harap aku akan kembali dalam pelukanmu Rafiq," desisku mendelik sementara air mataku mengalir begitu saja kecewa dan kesal karena cincin itu adalah pemberian Wira dan mungkin dia akan kecewa jika mengetahui bahwa benda itu hilang. "Jannah, ada apa kamu Nduk?" Tiba tiba ibu datang dan mendapati kami yang sedang bertengkar. "Mas Rafiq sedang membicarakan sesuatu denganku, Bu." "Tapi tadi ibu dengar suara teriakan," ujar Ibu sambil memperhatikan kami berdua. "Tidak juga Bu, ayo kita masuk," ajakku sambil merangkul Ibu. "Nak Rafiq gak diajak Masuk?" "Gak usah, dia mau pulang." Aku mengajak ibu masuk lalu menutup gerbang besi tua yang sudah berdiri sejak aku kecil. Pria itu menatapku dengan tatapan sendu, aku tahu dia merasa bersalah karena telah menghilangkan cincin yang jadi pengikat antara aku dan Wira yang tentu saja harganya sangat mahal. Bukan tentang mahal yang dia khawatirkan, tapi tentang kemurkaaanku yang akan sulit dia redakan. Mungkin akhirnya dia akan menyadari bahwa kami memang susah tidak bersama. Aku tak mampu membuka hati untuknya lagi. "Bunda ... Aku dengar Bunda akan menikah dengan Om Wira?" "Iya, tapi itupun kalo kamu boleh Bunda nikah dengan Om Wira." "Kenapa dengan Om Rafiq?" Oh, tentu saja aku tahu dia akan menanyakan hal ini. Baginya Mas Rafiq adalah pengganti Mas Ikbal yang ideal, juga dia adalah ayah kandung Rayan, dia ingin adiknya berbahagia bersama kedua orang tua kandungnya yaitu Mas Rafiq dan aku. "Dengar Sayang," bisikku sambil meraih jemarinya, " ada hal yang sulit dijelaskan, aku dan Om Rafi sulit untuk bersatu dalam pernikahan lagi, Bunda tidak lagi mencintainya, dan sulit bagi bunda untuk bisa mempercayainya." "Kenapa Bunda tidak memberi kesempatan?" "Karena Bunda takut semua kejadian itu akan terulang." Gadis cantikku yang sedang berada di kelas 4 SD nampak menghela nafas lalu melepaskan pegangan tanganku. "Kenapa Nak, apakah kamu keberatan?" "Aku juga takut kalau Om Wira bukan ayah yang baik untuk aku dan adikku?" "Kenapa bisa takut?" "Orang yang kita kenal dalam waktu lama saja bisa membuat kita sedih apalagi orang yang baru Bunda," ujarnya lirih. Aku tak percaya bahwa Raisa Putri kecilku sudah tumbuh dan dia menjadi sedewasa ini pikirannya. Kalimatnya membuatku terkesiap. "Jadi ... Gimana, Nak?" "Bunda nikah aja sama orang yang Bunda suka, aku tidak melarang," ujarnya sambil membalikkan badan dan merebahkan diri di pembaringannya. "Tapi bunda menangkap kalo kamu ragu, Bunda tidak akan melakukan apa yang membuatmu tidak suka." "Kalau Bunda sulit percaya kepada Om Rafiq, maka aku pun sulit ke percaya kepada Om Wira." "Dia pria yang baik kok," sanggahku. "Dia baik bagi Bunda, tapi belum tentu bagi kami berdua. Jika Bunda tetap ingin menikah, ya menikahlah, tapi aku dan adik akan tetap tinggal dengan nenek." Dari nada bicaranya aku tahu jika Raisa tidak setuju dengan pernikahan ini. Dia bahkan menolak untuk tinggal bersamaku, dan itu akan membuat hatiku sedih dan teriris-iris. Tujuanku membangun rumah tangga untuk membahagiakan keluarga kecilku, namun jika kedua anakku tidak bahagia, untuk apa aku melakukan semua ini. Mengesampingkan kebahagiaan sendiri mungkin adalah hal yang masuk akal saat ini, jika ada hal yang membuat Rayan dan Raisa tidak bahagia, maka aku harus menghindarinya. "Kalau begitu, Bunda tidak akan menikah dengan siapa pun kalau Raisa Tidak setuju," bisikku sambil membelai kepalanya. "Kenapa?" Putriku membalikkan badannya. "Bunda hanya ingin kalian bahagia." "Tapi Bunda yang jadi sedih," balasnya ragu. "Tidak. Bunda tidak sedih kok." Aku menyanggah dugaannya. "Tadi ketika Om Wira datang dan bicara dengan kakek, Bunda sangat bahagia dan terus tersenyum, sekarang setelah Bunda terkena hujan dan mengganti pakaian kenapa Bunda berubah pikiran?" Rupanya ia menyimak semua gerak-gerikku. "Bunda hanya meminta pendapatmu,dan apa yang menurutmu tidak boleh maka tidak akan Bunda lakukan. "Bunda boleh kok menikah,tapi untuk sementara aku tidak ingin serumah dulu dengan suami baru Bunda." "Tapi nenek akan kesulitan mengurus kamu, dia sudah tua dan mulai mengeluh sakit sakit," balasku. "Aku Janji tidak akan merepotkan nenek." "Entahlah, Nak, Bunda jadi bimbang. Tapi kamu istirahat aja ya, tidur, karena besok harus ke sekolah lagi," ujarku sambil mengecup pipinya. ** Kicau burung di pagi ini terasa berbeda dari sebelumnya, atau sinar mentari yang lebih hangat dan memicu semangat, sebuah gairah baru untuk bangkit dan membenahi diri. "Sebaiknya kamu tetap di sini Nduk, jangan pulang dulu ke rumah kamu, sampai keadaan tenang dan hari pernikahan kalian dekat." "Mungkin masih lama Bu, Wira juga harus meyakinkan kedua orang tuanya." Balasku sambil menuangkan susu hangat untuk Raisa sarapan. Tak lama kemudian Bapak dan kedua anakku bergabung dan kami menikmati sarapan dengan ceria. "Kalau tidak salah semalam Bapak melihat sebuah cincin biru di jarimu," uja r bapak sambil mengernyit dan melihat tanganku. "Oh, itu, anu ... Aku menyimpannya Pak karena itu adalah cincin mahal." "Tapi cincin itu adalah pengikat dan simbol bahwa orang lain tidak boleh mendekatimu lagi." "Ah, tidak apa, Pak." Aku tertawa getir, " aku akan membenahi kedua anakku dan mengemasi barang, karena aku berencana untuk kembali ke rumah." "Meski rumah kalian tidak terlalu jauh dan ada di perbatasan kota ini, tetap saja Bapak khawatir dengan keamanan kalian." "Aku juga punya pembantu dan sopir yang akan menjaga rumah, Pak," jawabku sambil menyentuh ujung tangannya. "Kamu yakin mau pulang?" "Iya." "Apa karena kau ingin leluasa bertemu dengan calon suamimu?" "Ti-tidak, Pak." Aku melirik orang tuaku dan kedua anakku bergantian dengan salah tingkah.Aku hanya malu kepada Raisa dan mencoba untuk mengalihkan pikiran anakku bahwa aku tidak mungkin melakukan hal demikian. "Lalu?" "Hanya mau lebih dekat dengan toko aja Pak, lagipula minggu-minggu ini pesanan pelanggan semakin melonjak," balasku. "Baiklah, tak apa jika itu yang kamu mau, tapi tetap telepon Bapak," ujarnya sambil mengesap kopi. Setelah mengemasi barang dan memakaikan Raisa seragam karena aku akan langsung mengantarkannya ke sekolah, sekaligus kembali ke rumah, akhirnya aku berpamitan Pada Bapak dan Ibu kemudian langsung meluncur pulang. Rupanya di jalan aku berpapasan dengan mobil Wira dan tentu saja mobil itu memutar arah dan mengikutiku dari belakang. Kuhentikan mobil di depan gerbang sekolah Raisa lalu menurunkan putriku, ternyata Wira pun ikut turun lalu menyapa kami. "Hai Raisa, hai Rayan," sapanya pada balitaku yang sedang duduk di jok depan. "Hai, Om," balas Raisa tanpa ekspresi. " Tadinya Om Wira ingin menjemputmu ke tempat kakek dan mengantarmu ke toko buku terbaru dan membeli sebuah note yang sampulnya bisa menyala." Wira terihat antusias. "Gak usah Om, aku udah punya," balas Raisa tanpa mau menatap wajah Wira. Aku yang merasa tidak enak langsung tersenyum dan meminta Raisa untuk bersikap ramah kepada Wira. "Disalamin dong, Omnya, Kak," pintaku sementara anakku terlihat ragu tak bergeming di tempatnya. "Oh, gak apa, mungkin Raisa belum begitu kenal, gimana kalo kita makan dimsum siang nanti Raisa?" "Gak usah Om, aku ada les ekstra." "Oh, kalo malam?" "Aku belajar." "Baik, deh, kalo gitu om tunggu Raisa senggang aja," balasnya sambil berlutut di depan Raisa. "Aku masuk ya, Bunda," ujarnya sambil melambai kecil dan segera berlari masuk ke halaman sekolahnya. "Pelan-pelan, Nak," ujarku. "Jannah ... Raisa, aku tahu hatinya masih ragu dengan kehadiranku," ujarnya dengan tatapan menerawang. "Perlahan saja." Aku menyentuh bahunya sambil tersenyum dan dia juga membalasnya. "Oh ya, cincinmu mana?" Oh ... Astaga, apa yang harus aku katakan."Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun
Ponselku berdering ketika aku hampir merebahkan tubuh di pembaringan"Selamat malam, kamu lagi apa?" Dia menelpon dan menanyakan hal itu."Selamat malam, mau tidur." "Soal siang tadi, maaf aku tidak bisa mengantarnya secara langsung dan formal, maafkan aku ya," ujarnya memaksudkan beberapa barang yang dia beli untuk seserahan, dia juga memintaku untuk memilih seperti apa kain dan corak yang kuinginkan lalu mengirim contoh perhiasan, tas dan sepatu untuk kupakai di hari akad nanti."Gak apa- apa, aku belum mau tidur, kamu sendiri sedang apa?""Gak ada, aku di rumah aja," balasnya."Ya udah kalo gitu kamu tidur aja, aku juga mau tidurkan anak-anak dulu," balasku."Ya udah, selamat istirahat aja, daaah."Kuletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur lalu merebahkan di kasur, namun tiba-tiba, pintu diketuk, dan Raisa datang memanggilku."Bunda ... Bunda sudah belikan aku krayon dan palet untuk lukisan yang baru?""Maaf ... Bunda lupa, Nak.""Yah ... Bunda, benda itu harus dibawa besok ke
Aku mengendara dengan hati remuk redam sambil menyembunyikan air mata dari tatapan putriku yang terus mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan pulang."Bunda, kok Bunda diam aja sih?""Anu ... Bunda, kehabisan topik," candaku."Oh begitukah?""Kenapa emangnya?""Nggak ada, biasanya kan Bunda juga cerewet ngajakin aku ngobrol.""Oh, begitu ya, hehehhe."Dia terus menatap dan menelisik gestur dan pembawaanku yang canggung dan gugup kepadanya."Tapi kok Bunda kayaknya sedih," ujarnya."Tidak juga nak, apa yang membuat Bunda sedih Bunda baik-baik saja dan bahagia," jawabku.Dia hanya mengangguk sambil membuang tatapannya ke arah luar jendela mobil sedang aku tetap tersenyum mengalihkan perhatiannya dari kecurigaan.Sesampainya di rumah kusuruh putriku untuk naik dan langsung beristirahat, begitu pun aku yang langsung masuk ke kamar.Kuhempaskan diri di kasur sambil menghela napas berat.Kulirik sudur kamar, di atas meja kutata semua seserahan yang sudah diletakkan dalam kotak akrilik, d
Aku mengikutinya namun tanpa sadar, kakimu menghentikan tarikan gas dan menukarnya dengan rem. Kenapa aku mengikutinya, toh kalo memang mirip Mas Ikbal tak akan mengubah kenyataan jika itu adalah orang lain, meski gestur tubuh dan senyumnya sama, tetap saja ia tak mengenalku, dan tentu ia bukan cintaku. Buat apa aku mengejarnya? Kalau ternyata dia suami orang atau tunangan wanita lain, apa yang akan terjadi pada mereka? Sementara perkara menundukkan hati pria bukanlah keahlian ku, setidaknya aku canggung dalam hal itu.Maka, sambil menertawai diri sendiri aku memutar balik mobil dan kembali ke rumah. Aku tertawa, menertawakan kebodohan yang hampir saja terulang."Tuhan ... Hanya satu pertanyaan, mengapa kisah cintaku selalu gagal? Apakah aku tidak pantas menerima sebuah ketulusan atau merajut tali asmara ...." Aku menggumam dalam desahan napas lelah, lagi bosan.**Ya, keputusan itu lebih baik bagiku. Jika aku tak menikah, tentu aku tak harus khawatir, membagi pikiran dan meluangkan
Sendiri ...Kata itu memang ditakutkan banyak orang tapi juga ampuh bagi mereka yang merasa berpasangan adalah penderitaan. Satu hal yang mungkin sulit dikuasai seseorang, perasaan sepi.Setelah enam purnama aku masih setia membunuh waktu dengan tumpukan nota tagihan, laporan keuangan dan pengiriman, aku tak bosan dengan itu semua. Hanya saja, perlahan menjalar rasa rindu terhadap sesuatu tapi entah apa.Anak-anakku sehat, jarang sakit atau bertingkah nakal, jarang pula menunjukkan gelagat merindukan seseorang yang suatu ketika akan disebut ayah, mudah-mudahan tidak untuk selamanya. Aku bahagia, bisa bekerja dan menghasilkan banyak uang, aku bisa menuruti keinginan anak-anak, orang tua berangkat umroh dan semuanya sempurna.*Ketika asyik memainka jari di permukaan tombol kalkulator, tiba-tiba asistenku mendekat dan berbisik."Merasa gak sih, tiap hari ada yang memperhatikan dan mengikuti?" tanyanya dengan penuh misteri."Apaan sih, horor deh," ujarku sambil menusuk lengannya pelan
Hari demi hari berlalu dan tahun berganti, Raisa dan Rayan beranjak besar dan si bungsu mulai masuk sekolah. Kami berempat di dalam sebuah rumah yang tidak begitu mewah tapi berlantai dua, menghabiskan hidup dan hari-hari kami dengan penuh canda tawa. Tidak ada gangguan apapun, tidak ada desas-desus tidak sedap atau masalah yang mendera. Kami selalu bisa saling mengerti dan saling melengkapi kekurangan. Kami menempati sebuah rumah berlantai dua yang tidak mewah namun penuh dengan kehangatan. Layaknya keluarga pada umumnya hidup kami berjalan normal dan tidak pernah mendapatkan gangguan dari pihak manapun. Bisnis kami juga berjalan lancar dia dan restorannya sedang aku tetap fokus dengan koleksi di butikku, Raisa mulai masuk SMP dan Rayan kini berada di kelas 2 SD. Semuanya sempurna. Mas Rafiq adalah suami yang baik dan aku adalah istri yang selalu mendukung. * Minggu malam kami pergi ke sebuah undangan resepsi pernikahan, kami bersiap berangkat dengan setelan batik berwarna emas
Sesampainya di rumah usai pesta, kuletakkan tas, dan memasukkan sepatu dalam rak, kubantu suamiku mengganti pakaian dan membantu suamiku untuk melepaskan kemejanya.,"Kamu terlihat sangat dekat dengan gadis itu,"gumamku sambil membantu melepaskan kancing pakaiannya."Dia asisten pribadi dan sudah kuanggap seperti adik sendiri,"jawabnya sembari Jawir ujung hidung dengan mesra."Kata pepatah berhati-hatilah terhadap seseorang yang kau anggap paling dekat karena bisa jadi teman dekat akan kau sukai.""Aku menyukai cara menunjukkan kecemburuan," godanya yang lalu tertawa kecil."Bukan cemburu, aku hanya sedang berusaha melindungi suamiku.""Argumen bagus, kamu Jannah, yang aku kenal dari dulu, yang selalu bersikap elegan dan tidak pernah menunjukkan kemarahan dengan gamblang," jawabnya sambil melenggang ke kamar mandi."Jangan menghabiskan terlalu banyak waktu di kamar mandi karena kita harus istirahat.""Izinkan aku untuk merenung tentang kalimatmu beberapa saat yang lalu, tentang arg
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi