Share

126

Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan.

"Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?"

"Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah.

"Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya."

"Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!"

"Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujan

mulai berjatuhan dan membasahi rambutnya.

"Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini."

"Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku.

"Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpalku marah.

"Aku akan mencarinya untukmu, tapi maafkanlah aku," pintanya.

"Aku tidak mau tahu, kau harus mendapatkannya."

"Aku akan memanggil petugas kebersihan sekarang juga dan memindai di mana cincinmu berada, tapi mohon berikan aku kesempatan untuk bisa berbaikan."

"Jangan harap aku akan kembali dalam pelukanmu Rafiq," desisku mendelik sementara air mataku mengalir begitu saja kecewa dan kesal karena cincin itu adalah pemberian Wira dan mungkin dia akan kecewa jika mengetahui bahwa benda itu hilang.

"Jannah, ada apa kamu Nduk?"

Tiba tiba ibu datang dan mendapati kami yang sedang bertengkar.

"Mas Rafiq sedang membicarakan sesuatu denganku, Bu."

"Tapi tadi ibu dengar suara teriakan," ujar Ibu sambil memperhatikan kami berdua.

"Tidak juga Bu, ayo kita masuk," ajakku sambil merangkul Ibu.

"Nak Rafiq gak diajak Masuk?"

"Gak usah, dia mau pulang." Aku mengajak ibu masuk lalu menutup gerbang besi tua yang sudah berdiri sejak aku kecil.

Pria itu menatapku dengan tatapan sendu, aku tahu dia merasa bersalah karena telah menghilangkan cincin yang jadi pengikat antara aku dan Wira yang tentu saja harganya sangat mahal.

Bukan tentang mahal yang dia khawatirkan, tapi tentang kemurkaaanku yang akan sulit dia redakan. Mungkin akhirnya dia akan menyadari bahwa kami memang susah tidak bersama. Aku tak mampu membuka hati untuknya lagi.

"Bunda ... Aku dengar Bunda akan menikah dengan Om Wira?"

"Iya, tapi itupun kalo kamu boleh Bunda nikah dengan Om Wira."

"Kenapa dengan Om Rafiq?"

Oh, tentu saja aku tahu dia akan menanyakan hal ini. Baginya Mas Rafiq adalah pengganti Mas Ikbal yang ideal, juga dia adalah ayah kandung Rayan, dia ingin adiknya berbahagia bersama kedua orang tua kandungnya yaitu Mas Rafiq dan aku.

"Dengar Sayang," bisikku sambil meraih jemarinya, " ada hal yang sulit dijelaskan, aku dan Om Rafi sulit untuk bersatu dalam pernikahan lagi, Bunda tidak lagi mencintainya, dan sulit bagi bunda untuk bisa mempercayainya."

"Kenapa Bunda tidak memberi kesempatan?"

"Karena Bunda takut semua kejadian itu akan terulang."

Gadis cantikku yang sedang berada di kelas 4 SD nampak menghela nafas lalu melepaskan pegangan tanganku.

"Kenapa Nak, apakah kamu keberatan?"

"Aku juga takut kalau Om Wira bukan ayah yang baik untuk aku dan adikku?"

"Kenapa bisa takut?"

"Orang yang kita kenal dalam waktu lama saja bisa membuat kita sedih apalagi orang yang baru Bunda," ujarnya lirih.

Aku tak percaya bahwa Raisa Putri kecilku sudah tumbuh dan dia menjadi sedewasa ini pikirannya. Kalimatnya membuatku terkesiap.

"Jadi ... Gimana, Nak?"

"Bunda nikah aja sama orang yang Bunda suka, aku tidak melarang," ujarnya sambil membalikkan badan dan merebahkan diri di pembaringannya.

"Tapi bunda menangkap kalo kamu ragu, Bunda tidak akan melakukan apa yang membuatmu tidak suka."

"Kalau Bunda sulit percaya kepada Om Rafiq, maka aku pun sulit ke percaya kepada Om Wira."

"Dia pria yang baik kok," sanggahku.

"Dia baik bagi Bunda, tapi belum tentu bagi kami berdua. Jika Bunda tetap ingin menikah, ya menikahlah, tapi aku dan adik akan tetap tinggal dengan nenek."

Dari nada bicaranya aku tahu jika Raisa tidak setuju dengan pernikahan ini. Dia bahkan menolak untuk tinggal bersamaku, dan itu akan membuat hatiku sedih dan teriris-iris. Tujuanku membangun rumah tangga untuk membahagiakan keluarga kecilku, namun jika kedua anakku tidak bahagia, untuk apa aku melakukan semua ini.

Mengesampingkan kebahagiaan sendiri mungkin adalah hal yang masuk akal saat ini, jika ada hal yang membuat Rayan dan Raisa tidak bahagia, maka aku harus menghindarinya.

"Kalau begitu, Bunda tidak akan menikah dengan siapa pun kalau Raisa Tidak setuju," bisikku sambil membelai kepalanya.

"Kenapa?" Putriku membalikkan badannya.

"Bunda hanya ingin kalian bahagia."

"Tapi Bunda yang jadi sedih," balasnya ragu.

"Tidak. Bunda tidak sedih kok." Aku menyanggah dugaannya.

"Tadi ketika Om Wira datang dan bicara dengan kakek, Bunda sangat bahagia dan terus tersenyum, sekarang setelah Bunda terkena hujan dan mengganti pakaian kenapa Bunda berubah pikiran?" Rupanya ia menyimak semua gerak-gerikku.

"Bunda hanya meminta pendapatmu,dan apa yang menurutmu tidak boleh maka tidak akan Bunda lakukan.

"Bunda boleh kok menikah,tapi untuk sementara aku tidak ingin serumah dulu dengan suami baru Bunda."

"Tapi nenek akan kesulitan mengurus kamu, dia sudah tua dan mulai mengeluh sakit sakit," balasku.

"Aku Janji tidak akan merepotkan nenek."

"Entahlah, Nak, Bunda jadi bimbang. Tapi kamu istirahat aja ya, tidur, karena besok harus ke sekolah lagi," ujarku sambil mengecup pipinya.

**

Kicau burung di pagi ini terasa berbeda dari sebelumnya, atau sinar mentari yang lebih hangat dan memicu semangat, sebuah gairah baru untuk bangkit dan membenahi diri.

"Sebaiknya kamu tetap di sini Nduk, jangan pulang dulu ke rumah kamu, sampai keadaan tenang dan hari pernikahan kalian dekat."

"Mungkin masih lama Bu, Wira juga harus meyakinkan kedua orang tuanya."

Balasku sambil menuangkan susu hangat untuk Raisa sarapan.

Tak lama kemudian Bapak dan kedua anakku bergabung dan kami menikmati sarapan dengan ceria.

"Kalau tidak salah semalam Bapak melihat sebuah cincin biru di jarimu," uja r bapak sambil mengernyit dan melihat tanganku.

"Oh, itu, anu ... Aku menyimpannya Pak karena itu adalah cincin mahal."

"Tapi cincin itu adalah pengikat dan simbol bahwa orang lain tidak boleh mendekatimu lagi."

"Ah, tidak apa, Pak." Aku tertawa getir, " aku akan membenahi kedua anakku dan mengemasi barang, karena aku berencana untuk kembali ke rumah."

"Meski rumah kalian tidak terlalu jauh dan ada di perbatasan kota ini, tetap saja Bapak khawatir dengan keamanan kalian."

"Aku juga punya pembantu dan sopir yang akan menjaga rumah, Pak," jawabku sambil menyentuh ujung tangannya.

"Kamu yakin mau pulang?"

"Iya."

"Apa karena kau ingin leluasa bertemu dengan calon suamimu?"

"Ti-tidak, Pak." Aku melirik orang tuaku dan kedua anakku bergantian dengan salah tingkah.Aku hanya malu kepada Raisa dan mencoba untuk mengalihkan pikiran anakku bahwa aku tidak mungkin melakukan hal demikian.

"Lalu?"

"Hanya mau lebih dekat dengan toko aja Pak, lagipula minggu-minggu ini pesanan pelanggan semakin melonjak," balasku.

"Baiklah, tak apa jika itu yang kamu mau, tapi tetap telepon Bapak," ujarnya sambil mengesap kopi.

Setelah mengemasi barang dan memakaikan Raisa seragam karena aku akan langsung mengantarkannya ke sekolah, sekaligus kembali ke rumah, akhirnya aku berpamitan Pada Bapak dan Ibu kemudian langsung meluncur pulang.

Rupanya di jalan aku berpapasan dengan mobil Wira dan tentu saja mobil itu memutar arah dan mengikutiku dari belakang.

Kuhentikan mobil di depan gerbang sekolah Raisa lalu menurunkan putriku, ternyata Wira pun ikut turun lalu menyapa kami.

"Hai Raisa, hai Rayan," sapanya pada balitaku yang sedang duduk di jok depan.

"Hai, Om," balas Raisa tanpa ekspresi.

" Tadinya Om Wira ingin menjemputmu ke tempat kakek dan mengantarmu ke toko buku terbaru dan membeli sebuah note yang sampulnya bisa menyala." Wira terihat antusias.

"Gak usah Om, aku udah punya," balas Raisa tanpa mau menatap wajah Wira.

Aku yang merasa tidak enak langsung tersenyum dan meminta Raisa untuk bersikap ramah kepada Wira.

"Disalamin dong, Omnya, Kak," pintaku sementara anakku terlihat ragu tak bergeming di tempatnya.

"Oh, gak apa, mungkin Raisa belum begitu kenal, gimana kalo kita makan dimsum siang nanti Raisa?"

"Gak usah Om, aku ada les ekstra."

"Oh, kalo malam?"

"Aku belajar."

"Baik, deh, kalo gitu om tunggu Raisa senggang aja," balasnya sambil berlutut di depan Raisa.

"Aku masuk ya, Bunda," ujarnya sambil melambai kecil dan segera berlari masuk ke halaman sekolahnya.

"Pelan-pelan, Nak," ujarku.

"Jannah ... Raisa, aku tahu hatinya masih ragu dengan kehadiranku," ujarnya dengan tatapan menerawang.

"Perlahan saja." Aku menyentuh bahunya sambil tersenyum dan dia juga membalasnya.

"Oh ya, cincinmu mana?"

Oh ... Astaga, apa yang harus aku katakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status