Share

123

Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.

Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria.

"Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku.

"Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku.

"Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku.

"Ada Mas," jawabku pelan.

"Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat.

"Iya, tapi ...."

"Kenapa?" Dia menangkap keraguanku.

"Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya.

"Kenapa?"

Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami.

" Ehem, kamu ada di sini?"

"I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq.

"Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak.

"Oh, baik, Pak." Mas Rafiq mengikuti langkah Bapak ke dalam sambil melirikku dan mengulas senyum tipis.

"Duduk dulu ya, Mas, aku bikinin teh," ujarku memecah kekakuan antara Bapak dan mantan suamiku itu.

Aku kembali membawakan teh ketika Bapak membuka pembicaraan dengan mantan suamiku itu.

"Bapak sudah dengar rencana rujuk kalian, bapak ingin mendengar dari kamu," ujar Bapak.

"Ya Benar, saya ingin kembali kepada Jannah, membangun kembali ..."

"Membangun apa?! Kamu tidak tahu betapa hancurnya anak saya ketika pertama kali tahu kamu poligami, kamu tidak tahu betapa anak saya menderita dalam diam, meski dia tak memberi tahu saya, saya tahu dia amat sengsara. Sepanjang hari dia terus bersedih meski di depan saya dia memaksakan senyumnya, kamu tahu itu?"

"Maafkan saya, Pak, justru sekarang saya ingin memperbaiki semuanya."

"Apa yang ingin kamu perbaiki? Ketika anak saya terluka, kamu pikir kami orang tua tidak merasakan sakit?" Bapak menatap tajam padanya, " selama ini aku diam saja, aku membiarkanmu bertemu anakmu dan bergaul dengan Jannah, tapi untuk menikah, TIDAK!"

"Saya mohon Pak, saya akan lakukan apa saja demi mendapatkan kembali keluarga kecil saya," pinta Mas Rafiq memelas sambil menjatuhkan diri di kaki Bapak.

"Saya pun akan melakukan apa saja demi melindungi kenyamanan dan kebahagiaan anak cucu saya." Kali ini ucapan Bapak seolah olah menggetarkan dinding rumah.

"Minumlah tehmu, saya masuk dulu," kata Bapak sambil bangkit yang kupahami maksudnya adalah mengusir Mas Rafiq pergi.

"Bapak saya akan menebus kesalahan saya." Mas Rafiq masih memelas.

"Kau tahu kenapa saya membuka hati untuk Wira?"

Mas Rafiq menggeleng dengan raut ingin tahu.

"Itu karena saya ingin anak saya melanjutkan hidupnya dan tidak teringat kamu lagi, saya akan menerima laki-laki baik mana saja, kecuali, kamu!"

"Kenapa Bapak baru mengatakannya sekarang ...."

"Karena saya sudah tak tahan lagi, mengerti!"

"Beri saya kesempatan untuk menjadi lebih baik, Pak."

Bapak hanya menatap tajam pada Ayah Rayan untuk beberapa detik lalu masuk ke ruang tengah.

"Mas ..." Kuhampiri Mas Rafiq yang tertunduk lesu di depan kursi Bapak tadi.

Ia mendongak padaku dengan ekspresi sedih.

"Kupikir sikap bapak yag baik selama ini tidak menyimpan sakit hati," gumamnya sedih.

"Maafkan Bapak, Mas, Mas maklumi jika Bapak sudah sangat mencemaskan kami," balasku.

"Ya, aku mengerti."

"Jannah ...." Panggilan Bapak mengudara.

"Iya, Pak."

"Masuk, Nduk, itu anakmu kayaknya popoknya kotor, ganti dulu," suruhnya.

"Iya, Pak, sebentar."

"Sekarang! Rayan nangis!" tekannya dengan maksud agar aku segera masuk dan meninggalkan mantan suamiku.

Aku masuk ke dalam dengan isyarat mohon maaf pada Mas Rafiq entah saat itu dia masih menunggu atau langsung pergi, aku tak tahu karena kesibukanku yang harus mengurusi kedua anak yang minta dimandikan.

*

"Jangan terlalu keras tho, Pak, kasihan Nak Rafiq, Jannah juga," ujar Ibu ketika menghidangkan kopi di meja, sedang aku mendengar percakapan mereka.

"Bapak melakukan ini demi kebaikan Jannah," jawab Bapak sambil menerawang.

"Kalo Jannah masih bahagia dan mencintai Nak Rafiq bagaimana Pak?"

"Aku gak setuju, Bu."

"Bapak tega melihat Jannah seumur hidup menyendiri seperti itu, anak anak dia tanpa ayahnya?"

"Enggak juga, Bu. Bapak yakin suatu hari akan ada kebahagiaan buat anak kita," jawab Bapak.

"Kalo dia cintanya mentok sama Dokter itu?"

"Mantan Dokter," ujar Bapak meralatnya.

"Iya, iya, seperti yang Bapak sebutkan." Ibu mengalah.

"Pria itu plin plan, manja, dan selalu menuruti keinginan ibunya, ketika ditinggal Jannah, dia stress dan memilih mabuk mabukan, itu tidak dewasa sekali 'kan Bu? Belum lagi dia dipecat dari rumah sakit, dan pernah berselingkuh. kini dia jadi pengangguran memangnya dia mau kasih makan anak kita pake apa?"

"Lho, Nak Rafiq punya banyak bisnis Pak."

"Bisnisnya atau bisnis ibunya, sekaya apapun dia kalo belum memiliki prinsip, percuma!

"Beri kesempatan Pak," bujuk Ibu.

"Tidak, kalo Jannah tak bisa menemukan jodoh sendiri, maka Bapak yang akan carikan untuknya!"

Dari balik dinding aku mendengar percakapan kedua orang tuaku dengan napas tertahan. Baru kemarin aku akan membuka hati untuk Mas Rafiq menjadi suamiku, kini aku harus menerima pil pahit penolakan orang tuaku.

Membayangkan Bapak akan mencarikan jodoh saya aku sudah bergidik dan berat hati, apalagi harus menikah dan membina rumah tangga dengan orang yang belum kukenal seluk beluknya sedikit pun.

"Besok akan kubicarakan hal ini degan Jannah," ujar Bapak yang terakhir terdengar olehku karena setelahnya aku masuk ke kamar dan merebahkan diri peraduan, melabuhkan penat tubuh dan lelah pikiran.

**

"Kamu ingat Haji Sahabudin sepupu Bapak yang dulu sering kita kunjungi di kampung dulu?"

"Iya, Pak."

"Nah dia punya anak seorang PNS pegawai kantor desa, namanya Bima." Bagikan

Bapak membuka percakapan di pagi hari ini denganku.

"Terus kenapa Pak?" tanyaku dengan dada berdebar, meski aku tahu sendiri apa yang akan bapak katakan.

Kucoba menebak, apakah beliau akan mengatakan bahwa akan mengunjungi ke kampung dan membicarakan tentangku, atau rencana menjodohkan. Entahlah ....

"Mereka akan datang melamar, tinggal menunggu tanggal dan kesiapan kamu saja."

"Apa?" Mataku membulat sempurna tak sanggup menutupi keterkejutan.

"Bapak sudah bicarakan ini dari dulu, dan akhirnya Nak Bima menyetujui untuk mencoba ta'aruf atau mencoba saling mengenal dulu denganmu."

"Tapi Bapak tak pernah membahasnya denganku," protesku.

"Aku belum sempat, sudah lama bapak berdiskusi dengan Haji Sahab, dan akhirnya dia memberikan restunya, aku yakin kamu akan bahagia karena pemuda itu pria baik dan Sholeh."

"Ada garansi buat Jannah akan bahagia Pak,". Tanyaku.

"Semua itu terserah kamu membawa dan menyikapinya seperti apa."

Bapak mengesap kopi dengan perlahan.

"Bapak akan memutuskan dalam waktu dekat jadi pertimbangkanlah."

"Dalam Islam, bukankah janda berhak menentukan pilihan?" Aku mencoba menunjukkan keberatan.

"Kalo ternyata pria itu baik, dan kamu menyia-nyiakannya demi pria yang gak baik? Yang menyesal siapa?"

Aku tercekat mendengarnya.

"Bagaimana kalo orang yang kamu kejar ternyata tidak lebih baik daripada orang yang menunggumu, sebaiknya shalatlah istikharah, agar kau menemukan jawaban. Jangan keraskam hatimu dan memutuska sendiri, anakmu butuh Bapak untuk memgayomi mereka."

"Tapi ... Aku janda Pak, pemuda itu apa mau dengan ibu dua orang anak?"

"Dia setuju."

"Mungkin juga terpaksa Pak," ujarku.

"Dia sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan," jawab Bapak.

"Kenapa Pak ingin segera Aku menikah, kesannya jadi terburu-buru Pak, lagipula kurasa aku lebih dewasa dari pemuda yang bernama Bima itu."

"Kedewasaan tidak tergantung dari umur dan lingkungan tapi datangnya dari diri sendiri da pengetahuan."

Bimbang memang, mendengar permintaan Bapak, hatiku masih berat kepada Mas Rafiq dan juga menimbang bahwa anak-anak belum tentu akan bahagia jika pemuda itu yang menjadi suamiku.

Ditambah lagi seingatku Raisa hanya menginginkan Mas Rafiq sebagai ayahnya lagi.

Ah, kepalaku mendadak berat.

"Tak tunggu jawabannya dalam 3 hari ya," ujar Bapak sambil bangkit dari kursinya dan menuju kandang merpati kesayangannya.

Yang berat adalah ketika Bapak sudah mengambil keputusan maka istri dan anaknya harus menganggap itu sebagai titah yang harus dilaksanakan. Tidak boleh diganggu gugat apalagi dibantah.

Bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status