Ketika Andreas sadar dari koma selama tujuh tahun, kehidupannya sudah banyak berubah. Apa yang ia miliki dulu sudah jadi milik orang lain bahkan calon istri yang akan ia nikahi. Dia menikah dengan pria lain, pria lain yang buka orang asing baginya. Kakak kandungnya sendiri. Andreas tak habis pikir mengapa Ana dan Andrew tega melakukan itu disaat ia terbaring setelah kecelakaan. Andreas marah dan bersumpah mengambil semua yang ia punya dulu dan meninggalkan luka yang sama untuk mereka.
View MoreMataku terbuka, ruangan ini terasa sangat asing. Langit-langit berwarna putih, suara detak beraturan yang asing, suara langkah kaki dari kejauhan, bau menyengat yang aku kenali. Ah, iya, ini di rumah sakit. Apa aku sedang berada di ruang peraktekku? Tapi sedang apa? Kenapa aku berbaring?
Aku mencoba untuk bangun tapi rasanya tak ada tenaga. Bola mata kuarahkan ke samping kanan agar bisa melihat lebih jauh. Terlihat pintu yang tertutup, kemudian ku arahkan ke sebelah kiri, kulihat jendela dan sofa. Tunggu sebentar, sepertinya aku melihat ada sesuatu di atas sofa. Ada sesuatu tertutup kain. Kain itu bergerak lebih tepatnya menggeliat, itu adalah seseorang.
*Suara handphone berbunyi*
Sosok dalam selimut itu terganggu karena suara handphone tadi, ia kemudian mengangkatnya.
"Hallo," ucapnya.
Ternyata suara wanita.
"Iya, nanti siang aku transfer. Dah kumatikan, ya." Wanita itu mematikan telepon.
Wanita itu keluar dari dalam selimut. Orang yang tidak ku kenal. Rambutnya acak-acakan namun wajahnya tetap terlihat imut. Usainya mungkin sekitar dua puluh tahunan. Masih muda.
"Permisi." Suara yang ku keluarkan sungguh pelan.
"Hoaaa." Dia menguap berbarengan denganku yang menyapanya sehingga menguapnya tak selesai. Kasihan.
"Aaa!" Matanya terbelalak melihatku.
Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya benar.
"Dokter Anda sudah sadar?" bertanya histeris.
Dia berjalan setengah berlari ke arahku. Kemudian memencet tombol bantuan ke ruang perawat dengan cepat.
Tak berapa lama seorang perawat masuk berjalan cepat.
"Ners, dokter Andreas sadar," ujarnya.
Aku heran mendengar perkataan wanita itu. Sadar? Memangnya aku baru pingsan?
Perawat itu mendekat, ia menanyakan beberapa pertanyaan padaku.
"Dokter, apa Dokter bisa berbicara?"
"Iya," Jawabku.
Sungguh pertanyaan yang aneh.
"Dokter, apa Dokter ingat siapa nama Anda?"
"Iya." Lagi-lagi pertanyaan aneh.
"Nama Anda siapa?"
"Andreas Adrison."
"Pekerjaan Anda?"
"Saya dokter bedah rumah sakit Health."
"Iya, sekarang Dokter sedang berada di rumah sakit itu. Kalau nama ayah Anda?"
"Markus Adrison."
"Apa yang Anda rasakan sekarang?"
"Saya haus dan lemas."
"Nanti kita minum, ya. Dokter bisa menggerakan jari tangan?" Aku mencoba menggerakan jari tangan. Berat tetapi bisa. Perawat terus mencatat kondisiku sambil terus bertanya.
"Maaf ya, Dok." Perawat menyibakkan selimut di kakiku.
"Kalau jari kakinya bisa digerakan, Dok?"
Lebih berat dari jari tangan namun aku berhasil menggerakkannya.
Perawat kembali menutup kakiku. Dia kemudian berbicara pada wanita yang belum ku ketahui siapa dia.
"Berikan minum beberapa sesendok setiap sepuluh menit sekali. Saya akan menghubungi dokter Daniel dulu."
"Iya, Ners."
Perawat itu pergi.
Wanita itu menuruti apa yang perawat katakan. Dia menuangkan air ke gelas lalu menyendokannya tiga kali kepadaku. Tenggorokanku terbasahi, rasanya segar.
"Siapa kamu?" Pertanyaan yang sejak tadi ingin ku tanyakan.
"Saya Serena, Dok. Anak kepala asisten di rumah Anda." Mataku terbelalak mendengar jawaban wanita ini. Tidak mungkin dia Serena. Serena yang ku ingat adalah gadis kecil berusia dua belas tahun.
"Dokter pasti tidak ingat, dokter koma sudah tujuh tahun," ujar Serena.
"Tujuh tahun?" Aku berusaha mencerna perkataan Serena namun yang terjadi kepalaku malah linu.
Serena menutup mulutnya menyadari ia melakukan kesalahan. Ia panik dan menekan tombol emergency lagi.
Perawat tadi akhirnya datang kemudian memberikanku suntikan hingga aku tenang dan terlelap.
***
Aku membuka mataku kembali, masih di ruangan yang sama. Ternyata ini bukanlah mimpi. Aku harus mulai menerima kenyataan. Pertanyaanku sekarang, bagaimana aku bisa koma?
Serena masih berada di sini. Ia duduk di sofa sedang sibuk dengan ponselnya.
"Serena," panggilku.
Serena terkejut mengetahui aku sudah sadar lagi. Kemudian ia sigap mendekatiku.
"Posisikan kasurku duduk!" Perintahku.
Serena menekan tombol di samping ranjang. Hal baru yang ku lihat.
"Apa Anda ingin minum?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kemudian dia membawakan minum untukku. Aku nurut ketika Serena memberikanku minum.
Ku sadari Serena telah berganti seragam asisten rumah tangga berwarna hitam khas keluargaku.
Aku terdiam sejenak setelah menyelesaikan minum. Aku berusaha menenangkan diri agar setiap kata dari Serena nanti tidak membuat ku shock lagi.
"Anda baik-baik saja, Dok?"
"Iya."
"Ada yang Anda perlukan?"
"Duduklah, Serena!"
Serena menuruti perintahku.
"Bagaimana aku bisa koma selama tujuh tahun, Serena?"
Serena menelan ludah. Ada sebuah ketakutan untuk menjawab pertanyaanku.
"Jawab Serena! Aku sudah siap dengan semua ceritamu," pintaku.
Serena menatapku, memastikan apa aku benar-benar siap.
"Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, Dok."
"Apa saja yang terjadi selama tujuh tahun ini?"
Serena terlihat gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir.
Suara pintu terbuka menghentikan perbincangan kami. Dokter Daniel datang bersama beberapa perawat termsuk perawat jaga tadi.
"Dokter Andreas apa Anda mengingat saya?" Tanyanya.
Meskipun wajahnya terlihat lebih tua aku jelas mengingat jika pria ini adalah dokter Daniel. Kami masuk rumah sakit di tahun yang sama. Dia seusia denganku tetapi ia terlihat begitu tua? Oiya ini sudah tujuh tahun, sudah pasti banyak perubahan.
Aku juga penasaran bagaimana rupaku sekarang.
"Saya ingat Anda, Dok. Ngomong-ngomong saya ingin melihat wajah saya." Aku berbicara ke Serena.
"Akan saya ambilkan kaca." Serena membuka lemari yang berada di seberang ranjang. Ia merogoh pouch yang berisi alat make up dan mengeluarkan sebuah kaca. Kemudian dia memberikannya padaku.
Aku menatap cermin. Kemana wajahku yang kurawat? Ini siapa? Sungguh tak ku kenali, lelaki cungkring mengerikan ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa bisa aku koma selama tujuh tahun?" Aku melupakan rupaku dan mulai penasaran dengan alasanku di sini.
"Apa Anda tak ingat, Dok?" Tanya dokter Daniel.
"Sama sekali tidak, tetapi Serena memberi tahuku jika Aku mengalamo kecelakaan."
"Tujuh tahun lalu Anda masuk ke UGD karena mengalami kecelakaan, Anda tertabrak sebuah mobil container," jelas dokter Daniel.
Aku mencoba mengingat kejadian itu. Sayangnya, tak ada sedikitpun yang terlintas.
"Jangan memaksakan diri, Dok." Dokter Daniel memegang pundakku.
"Dokter, saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut bagaiman kondiri Anda."
"Silahkan, Dok."
Dokter Daniel kemudian mengecek kedua mataku dengan senter. Setelah itu dia menggantungkan telapak tangannya di udara.
"Apakah Anda bisa menyentuh tangan saya?" tanya dokter Daniel.
Harusnya ini menjadi hal yang mudah. Tapi ternyata tidak bagiku yang merupakan pasien sadar koma. Rasanya berat sekali mengangkat tangan. Jemariku perlahan bergerak. Berarti fungsi otak memerintah jari masih bekerja. Walau sangat lambat tetapi tangan ini terus terangkat.
Bruk. Tanganku terkulai sebelum sempat menyentuh tangan dok Daniel.
"Gak masalah, nanti atau besok kita coba lagi. Kalau kaki bagaimana apa Anda bisa menggerakannya?" Dokter Daniel menyibakkan selimutku.
Sudah sekuat tenaga aku berusaha mengangkat kaki. Namun, yang terjadi hanya gerakan kecil yang mampu dihasilkan oleh jari kaki.
"Dikasih minum setiap sepuluh menit dengan takaran yang semakin meningkat ya Serena." dokter Daniel berbicara pada Serena.
"Baik, Dok," jawab Serena.
"Ners, segera jadwal pemeriksaan MRI, CT scan, darah dan EEG."
"Baik, Dok," jawab salah seorang perawat.
"Nanti kalau sudah makan dicoba bergerak perlahan, ya. Kalau gak ada kemajuan kita harus fisioterapi."
Aku mengangguk
"Saya tinggal dulu, ya, Dokter Andreas."
"Baik, Dok. Terima kasih," jawabku.
"Sama-sama. Semoga lekas pulih. "
Dokter Daniel bersama rombongan perawat pergi meninggalkan ruangan. Serena masih berdiri di sampingku dengan setia.
"Dimana tuan dan nyonya besar?" tanyaku.
"Nyonya sudah saya hubungi mungkin sebentar lagi akan sampai. Apakah Dokter mau minum atau makan?"
"Iya, keduanya boleh."
Kemudian Serena menyiapkan makananku. Bubur sayur dan ayam. Dia menyuapiku. Aku lebih banyak diam ketika sedang makan.
Tepat setelah bubur habis pintu kamar terbuka. Mama datang bersama dua asistennya. Wajah mama terlihat shock bercampur bahagia. Ia berlinangan air mata saat tiba di ranjang.
"Anakku, kau benar-benar sadar, Nak?" Mama ingin memeluku namun terlihat hati-hati.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Mama memegang tanganku. Hangat.
"Mama yakin kamu pasti bangun lagi." Penuh kebahagiaan bercampur air mata.
"Papa di mana, Mah?" tanyaku.
Mama tidak menjawab dengan cepat.
"Anakku selama tujuh tahun kamu koma banyak yang terjadi. Akan mama ceritakan satu persatu kalau kamu sudah siap."
Aku menelan ludah mendengar pernyataan mama. Pasti banyak hal yang tak bagus yang akan beliau ceritakan.
Aku menatap mama mantap.
"Ma, sekarang aku sudah siap," ucapku mantap.
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah selesai rapat dengan tim Help Dok! Hari ini bagiku adalah hari terbaik setelah aku bangun dari koma selama 7 tahun. Hari di mana awal mula pembalasanku terhadap Andrew yang telah merebut semuanya dariku.Aku harus mendapatkannya kembali! Jika aku tidak bisa mendapatkannya kembali maka aku akan menghancurkannya saja. Selanjutnya adalah Anna, jika aku tidak mendapatkannya, bukan-bukan jika aku tidak menginginkannya maka aku akan menghancurkannya.Bukankah Anna telah menghancurkan rencana kami dan harapan kami? Maka tidak salah jika aku juga menghancurkan harapannya.Siaran di televisi menghentikan lamunanku. Live konfrensi perss rumah sakit Health. Di televisi berukuran 30 inch yang terpasang di dinding memperlihatkan Andrew bersama kuasa hukum dan tiga petinggi lainnya melakukan konfrensi perss."Selamat siang semuanya. Perkenalkan saya Andrew direktur utama rumah sakit Health.""Posisi yang harusnya menjad
Kami sampai di pintu masuk sebuah apartemen yang menjadi lokasi pertemuan kami dengan Siska. Hari ini pak Badri ku perintahkan untuk libur, lebih tepatnya agar pertemuan ini tidak diketahui oleh siapa pun. Pak Badri sendiri merupakan supir yang ditugaskan oleh Andrew untuk mengantarku, jadi bisa jadi dia melaporkan banyak hal tentang kegiatanku pada Andrew. Serena membunyikan bel, tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Siska berpakaian santai dengan kaos oblong warna putih tipis dan rok slim fit di bawah lutut. "Silahkan masuk." "Terima kasih." Ucap serena. Aku membalasnya dengan anggukan santai. Apartemen itu berdesain minimalis. Ketika masuk ruangan langsung terlihat dapur. Lalu ada ruang televisi beserta meja makan. Ketiga tempat itu tak bersekat. Ada dua kamar tidur di ruangan itu dan satu kamar mandi. Siska mengenalkan kami pada dua orang temannya yang berada di sana Helen dan Jonny. "Pak ini Helen seba
Meski pun ini Minggu pagi tetapi aku dan Serena tidak terdiam diri di rumah. Kami masih harus keluar bertemu dengan pak Jundi, pengacara Daily Health. Pertemuan ini di janjikan semalam saat kami bertemu di acara Launcing. Pak Jundi memberi tahu jika orang-orang yang menggelapkan uang Daily Helath sudah ditangkap lengkap beserta barang bukti yang di dapatkan dari barang-barang di ruangan Sonny dan Natalie sendiri. Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mempercayakan kasus ini pada pak Jundi. Aku hanya ingin memastikan langsung kegegabahan Andrew dalam bekerja. Hingga masalah seperti ini saja tidak bisa terdeteksi olehnya dalam tujuh tahun. Setelah aku benar-benar yakin ini merupakan kasus korupsi aku segera bergegas pergi ke klinik dokter Daniel untuk melakukan pengecekan. Sementara itu Serena ku minta untuk pulang ke rumah. "Saya tidak mau meninggalkan Anda sendirian, saya khawatir jika kejadian seperti di rumah sakit terjad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments