Dokter Daniel pamit karena harus operasi jam sembilan. Selepas rombongannya pergi aku semakin bersemangat.
"Serena cepat bersekan barang kita yang ada di sini. Aku ingin segera pulang."
"Andreas, kenapa buru-buru?" Tanya mama.
"Hanya sudah rindu kamarku. Apa masih seperti dulu?"
"Ah iya, Nin tolong suruh ibu Pur bersihkan kamar Andreas. Tentu kamarmu masih seperti dulu, hanya sedikit kotor."
"Baik nyonya, " Nin asisten baru mama yang belum ku lihat sebelum aku koma pergi keluar.
Mama kemudian mengeluarkan handphone. Kulihat handphone mama begitu besar dan tidak ada tombol apa pun. Hanya layar.
"Wah ini handphone jaman sekarang?" Aku terkekeh mendengar pertanyaanku sendiri. "Rasanya aku seperti manusia yang berpindah dengan mesin waktu."
Kulihat mama tidak meresponku, hanya sibuk dengan handphone. Aku memberikan ruang untuk mama. Mungkin ada hal yang harus beliau lakukan.
Mama mengangkat kepalanya setelah cukup lama mengoprasikan handphonenya. Beliau sadar bahwa aku menunggunya dan menjadi tak enak.
"Maafkan aku Andreas, ada hal yang harus mama sampaikan pada orang rumah."
"Iya mama."
"Sudah baca surat dari papa?" Aku mengangguk.
"Apa kata papa?"
"Papa bilang itu rahasia kami berdua he-he."
"Kenapa kamu pelit sama mama?"
"Bukan pelit, tapi ini tentang janji antara laki-laki."
"Ya, ya, ya. "
"Serena kamu belum mengemas barang-barang kita?" Kutanyakan lagi kepada Serena karena ia masih duduk di sofa bersama Kina asisten mama yang sudah bekerja cukup lama.
Serena terlihat bingnung. "Ah iya-iya dok."
"Serena?" Mama memanggil Serena.
"Iya nyonya,"
"Jangan sampai ada barang yang tertinggal. Kita pulang setelah kamar Dokter Andreas rapi di rumah."
***
Rumah ini masih sama seperti tujuh tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Bahkan warna catnya tetap sama. Melihat kembali rumah ini setidaknya membuat hatiku hangat lagi setelah sebelumnya mendengar cerita dari mama bahwa Anna, kekasihku sudah menikah dengan pria lain.
Wajar saja tujuh tahun terlalu lama untuk menunggu. Aku memaklumi. Hanya sekedar itu yang baru kutanyakan pada mama karena aku takut hatiku kewalahan dengan kesedihanku. Nanti akan ku cari tahu dengan siapa dan kapan Anna menikah setelah sampai rumah.
Mobil yang kami tumpangi masuk ke garasi. Kulihat di halaman depan ada ayunan dan prosotan.
Tidak salah lagi ini pasti mainan yang disediakan keluarga kami untuk anak Andrew.
"Apa Andrew sudah menikah dan punya anak?" Kupastikan lagi pada mama.
"Iya." jawab mama singkat.
Ketika aku hendak bertanya lagi mobil kami sudah sampai di depan pintu rumah. Tigacasisten rumah tangga, dua orang supir hingga dua orang tukang kebun menyambut kami di pintu.
Semuanya hampir ku kenali kecuali seorang sopir yang tak ku kenali. Aku turun di bantu Serena karena meski pun mama bugar dalam usianya yang sudah 65 tahun tapi terlalu beresiko untuk menopang orang lain.
"Selamat datang dokter Andreas." Ibu Pur menyapaku. Dia pasti sekarang kepala asisten rumah tangga menggantikan ibu Lin.
"Terima kasih ibu Pur. Anda masih terlihat cantik seperti dulu." Aku bercanda kepadanya.
"Dokter memang pandai mencarikan suasan seperti dulu. Makanan kesukaan dokter sudah kami siapkan"
Kami berjalan masuk ke dalam rumah. Beberapa barang tambahan mengisi rumah ini. Memberikan kehangatan.
"Andreas, apa kamu sudah lapar?" Tanya mama.
"Lapar gak lapar aku harus segera makan masakan rumah ini. Karena ibu Pur dan asisten lainnya sudah masak makanan kesukaanku."
Aku makan cukup banyak. Sup ayam jahe yang menghangatkan tubuh. Cocok untuk pemulihan dan tentunya bikin tidur pulas. Benar saja selepas makan aku mengantuk dan tidur cukup lama.
Aku terbangun jam lima sore. Hampir empat jam aku tidur siang. Kupanggil Serena untuk menyiapkan keperluan mandi dan bajuku. Kemudian aku mandi.
Selepas mandi aku baru terpikir kenapa aku tidak melihat keponakanku.
"Ah iya mungkin sekolah. Harusnya sekarang dia sudah pulang." Ku kancingkan baju piyamaku sambil bercermin.
Samar terdengar ada keributan dari luar. Aku penasaran ingin melihat, saat hendak berjalan ke arah pintu tiba-tiba pintu kamar terbuka.
Pemandangan pertama yang kulihat adalah Serena mencoba menghalangi Andrew masuk. Mama kemudian menyusul dari luar.
"Ada apa ini?"
"Kamu gak bisa tinggal di rumah ini Andreas." Suara Andrew tegas dan singkat masih sepert dulu.
"Apa maksudmu?"
"Kamu akan pindah ke rumahmu."
"Rumahku yang mana, dan kenapa kamu berbicara seperti itu? Seolah ini rumahmu. Ini rumah papa."
"Tidak Andreas, sekarang ini rumahku. Aku sudah membelinya darimu dan dari mama. Sekarang kamu bisa tinggal di rumahmu."
"Kapan aku memiliki rumah ini dan kapan menjualnya?"
"Ceritanya panjang, besok pengacara papa akan datang ke rumahmu, yang terpenting sekarang kamu pindah. "
"Kamu pulang-pulang dari luar negeri malah gak punya perasaan. Adikmu baru sadar dari koma selama tujuh tahun bukannya di rawat malah kamu usir." Mama geram.
"Tentu saja aku mengusir dia karena mama mengusir Anna dan Key. Bagaimana ceritanya istri dan anak pemilik rumah diusir karena tamu?"
"Andrew!"
"Dia terlalu mama manja, sudah saatnya dia hidup keras."
Percakapan macam apa ini? Otakku belum mampu mencerna topik mana pun.
"Anna siapa maksudmu?" Dari semua hal belum bisa dicerna oleh pikiranku inilah yang benar-benar ingin ku ketahui.
"Mama belum bilang ke Andreas?"
"Kapan kalian menikah?"
"Tujuh tahun lalu."
"Andrew!" Mama membentak Andrew lagi.
"Jadi kalian menikah disaat aku koma?"
Tidak ada yang menjawab begitu juga dengan Andrew. Pertanyaan yang memang tidak perlu kutanyakan karena memang jawabannya iya. Mereka menikah disaat aku pertama kali terbujur kaku. Anna, aku sangat sedih ketika mendengar kau menikah dengan pria lain tetapi sekarang aku marah karena lelaki yang kau nikahi adalah kakakku. Terlebih itu dilakukan masih di tahun pertama aku koma. Dia tidak menungguku sama sekali.
"Mana Anna?" Suaraku marah.
"Apa hakmu menanyakan isteri orang lain?" Berbicara tanpa ekspresi.
"Brengksek kamu!"
"Serena bawa barang-barangku." Aku marah. Diam di rumah ini membuat harga diriku tak ada lagi. Dia mengambil rumah dan kekasihku. Brengsek kau Andrew!
Serena kebingungan. "Serena cepat!" Bentakku lagi. Dia kemudian mengambil koper yang tadi kami bawa dari rumah sakit. Koper itu terbuka namun isinya belum sepenuhnya keluar.
Entah kekuatan dari mana. Aku berjalan tegap keluar rumah ini tanpa tertatih-tatih.
"Andreas mama mohon jangan pergi." Mama berjalan mengikuti langkahku.
"Aku tak sudi harus tinggal bersama saudara yang bahagia di atas penderitaanku atau bersama mantan kekasihku yang sama brengseknya." Aku berbicara sambil berjalan.
"Kina, Nin kemasi barang saya!" Mama meneriaki dua asistennya.
"Baik nyonya."
"Kina, Nin jangan sentuh barang nyonya besar sedikit pun kalau kalian mau ku pecat." Ku dengar suara Andrew masih di dalam kamarku.
"Mama akan terus bersamamu Andreas, walau pun tanpa apa pun yang kupunya, mama ingin mengurusmu."
"Jika mama berani pergi hari ini dengan Andreas aku pastikan mama tidak akan bertemu dengan Key lagi."
Mama menangis sambil terus berjalan bersamaku. Namun aku tahu ini tak benar. Mama memerlukan dua asistennya, barang-barangnya, obat-obatannya juga cucunya.
"Ma, jangan ikuti aku." Aku berbicara pelan. "Besok kita bertemu lagi."
Ketika aku sampai di luar Pak Bardi sopir ayah dulu sudah berdiri membukakan pintu mobil.
"Silahkan dokter, akan saya antar."
Mama menangis di depan pintu melihat aku pergi tanpa harga diri.
Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali."Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya."Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi.""Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat ma
Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena."Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri."Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang."Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa i
Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku."Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang."Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu."Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun.""Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?""Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Suara ribut dan aroma masakan ternyata juga mengusik tim Wanda. Ketika aku ke sana beberapa sudah ada yang menebak-nebak menu apa yang disediakan dan sebagian lagi tidak sabar untuk makan. "Bagaimana ada kendala?" Tanyaku pada Wanda yang sedang sibuk mengambil data dari leptop Natalie. "Belum sama sekali karena kami juga belum memulainya. Kami baru saja mengambil data-data di leptop." "Kalian bisa makan dulu kalau setting makan siangnya sudah selesai ya." Wanda setuju dan menyuruh mahasiswa-mahasiwinya untuk makan secara bergantian sebelum memulai bekerja. Sementara setengah mahasiswanya makan setengah lagi bersaman Wanda sibuk mencetak dan membaca data-data keuangan yang akan diaudit. Aku memutuskan untuk menunggu Wanda selesai melakukan tugasnya. Aku ingin makan bersama dia. Aku dan Wanda adalah teman satu kampus. Kami berbeda jurusan namun dipertemukan dikegiatan organisasi, organisasi itulah yang juga mempertemukanku dengan Anna. H
Matahari hampir hilang ketika aku keluar dari Tower 11 bersama Serena. Aku pergi terlebih dahulu setelah sebelumnya membahas kinerja perusahaan bersama tim desain dan tim redaksi. Ketika aku pamit kepada Wanda yang masih sibuk mengecek hasil auditan murid-muridnya dia memperkenalkanku pada Sean. Seorang mahasiswa yang diberi kepercayaan mengetuai tim audit ini. "Jadi jika ada apa-apa kamu bisa langsung menghubunginya dan sebaliknya dia juga menghubungimu." Ucap Wanda. "Aku tidak akan setiap hari ke sini karena harus bekerja dan mengajar juga." Tambah Wanda. Setelah Sean bertukar nomor telepon dengan Serena kami pamit. Sesuai janjiku tadi pagi aku ingin membeli sebuah handphone terbaru, untuk itu kami pergi ke sebuah mall yang tak jauh dari lokasi Tower 11. "Merk apa yang bagus dan paling terbaru?" Aku bertanya kepada penjaga toko ketika sampai disebuah toko HP. "Mari sebelah sini pak." Penjaga toko itu mengajakku ke sebua
Entah mengapa aku berlari tanpa arah seperti orang yang ketakutan. Padahal dalam hal ini aku tidak salah apa pun. Aku tidak pernah dengan sengaja membuat diriku kecelakaan atau koma selama tujuh tahun. Kalianlah yang seharusnya malu dan meminta maaf. Mengetahui dia bisa tertawa lepas dengan pria lain seperti tadi membuat hatiku hancur dan aku tidak ingin melihat pemandangan itu. Andrew kehidupanmu sungguh sempurna, harusnya akulah yang ada diposisimu itu. "Pak Andreas," tiba-tiba ada yang menarik tangan dan memelukku. Aku terkejut tapi tidak melepaskan pelukan itu karena pelukannya begitu menenangkan. Aku sadar sekarang sedang berada di parkiran mobil lantai 5 dan orang yang memelukku adalah Serena. Ku lihat barang bawaan kami berceceran di lantai. Serena berkata pelan tanpa henti. "Tenang pak saya ada di sini, tenang." Aku hendak menyudahi pelukan ini tapi suara Serena, pelukannya dan gerakan tangan kanannya yang menepuk-nepuk pundakku menaha
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah selesai rapat dengan tim Help Dok! Hari ini bagiku adalah hari terbaik setelah aku bangun dari koma selama 7 tahun. Hari di mana awal mula pembalasanku terhadap Andrew yang telah merebut semuanya dariku.Aku harus mendapatkannya kembali! Jika aku tidak bisa mendapatkannya kembali maka aku akan menghancurkannya saja. Selanjutnya adalah Anna, jika aku tidak mendapatkannya, bukan-bukan jika aku tidak menginginkannya maka aku akan menghancurkannya.Bukankah Anna telah menghancurkan rencana kami dan harapan kami? Maka tidak salah jika aku juga menghancurkan harapannya.Siaran di televisi menghentikan lamunanku. Live konfrensi perss rumah sakit Health. Di televisi berukuran 30 inch yang terpasang di dinding memperlihatkan Andrew bersama kuasa hukum dan tiga petinggi lainnya melakukan konfrensi perss."Selamat siang semuanya. Perkenalkan saya Andrew direktur utama rumah sakit Health.""Posisi yang harusnya menjad
Kami sampai di pintu masuk sebuah apartemen yang menjadi lokasi pertemuan kami dengan Siska. Hari ini pak Badri ku perintahkan untuk libur, lebih tepatnya agar pertemuan ini tidak diketahui oleh siapa pun. Pak Badri sendiri merupakan supir yang ditugaskan oleh Andrew untuk mengantarku, jadi bisa jadi dia melaporkan banyak hal tentang kegiatanku pada Andrew. Serena membunyikan bel, tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Siska berpakaian santai dengan kaos oblong warna putih tipis dan rok slim fit di bawah lutut. "Silahkan masuk." "Terima kasih." Ucap serena. Aku membalasnya dengan anggukan santai. Apartemen itu berdesain minimalis. Ketika masuk ruangan langsung terlihat dapur. Lalu ada ruang televisi beserta meja makan. Ketiga tempat itu tak bersekat. Ada dua kamar tidur di ruangan itu dan satu kamar mandi. Siska mengenalkan kami pada dua orang temannya yang berada di sana Helen dan Jonny. "Pak ini Helen seba
Meski pun ini Minggu pagi tetapi aku dan Serena tidak terdiam diri di rumah. Kami masih harus keluar bertemu dengan pak Jundi, pengacara Daily Health. Pertemuan ini di janjikan semalam saat kami bertemu di acara Launcing. Pak Jundi memberi tahu jika orang-orang yang menggelapkan uang Daily Helath sudah ditangkap lengkap beserta barang bukti yang di dapatkan dari barang-barang di ruangan Sonny dan Natalie sendiri. Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mempercayakan kasus ini pada pak Jundi. Aku hanya ingin memastikan langsung kegegabahan Andrew dalam bekerja. Hingga masalah seperti ini saja tidak bisa terdeteksi olehnya dalam tujuh tahun. Setelah aku benar-benar yakin ini merupakan kasus korupsi aku segera bergegas pergi ke klinik dokter Daniel untuk melakukan pengecekan. Sementara itu Serena ku minta untuk pulang ke rumah. "Saya tidak mau meninggalkan Anda sendirian, saya khawatir jika kejadian seperti di rumah sakit terjad