Mataku terbuka, ruangan ini terasa sangat asing. Langit-langit berwarna putih, suara detak beraturan yang asing, suara langkah kaki dari kejauhan, bau menyengat yang aku kenali. Ah, iya, ini di rumah sakit. Apa aku sedang berada di ruang peraktekku? Tapi sedang apa? Kenapa aku berbaring?
Aku mencoba untuk bangun tapi rasanya tak ada tenaga. Bola mata kuarahkan ke samping kanan agar bisa melihat lebih jauh. Terlihat pintu yang tertutup, kemudian ku arahkan ke sebelah kiri, kulihat jendela dan sofa. Tunggu sebentar, sepertinya aku melihat ada sesuatu di atas sofa. Ada sesuatu tertutup kain. Kain itu bergerak lebih tepatnya menggeliat, itu adalah seseorang.
*Suara handphone berbunyi*
Sosok dalam selimut itu terganggu karena suara handphone tadi, ia kemudian mengangkatnya.
"Hallo," ucapnya.
Ternyata suara wanita.
"Iya, nanti siang aku transfer. Dah kumatikan, ya." Wanita itu mematikan telepon.
Wanita itu keluar dari dalam selimut. Orang yang tidak ku kenal. Rambutnya acak-acakan namun wajahnya tetap terlihat imut. Usainya mungkin sekitar dua puluh tahunan. Masih muda.
"Permisi." Suara yang ku keluarkan sungguh pelan.
"Hoaaa." Dia menguap berbarengan denganku yang menyapanya sehingga menguapnya tak selesai. Kasihan.
"Aaa!" Matanya terbelalak melihatku.
Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya benar.
"Dokter Anda sudah sadar?" bertanya histeris.
Dia berjalan setengah berlari ke arahku. Kemudian memencet tombol bantuan ke ruang perawat dengan cepat.
Tak berapa lama seorang perawat masuk berjalan cepat.
"Ners, dokter Andreas sadar," ujarnya.
Aku heran mendengar perkataan wanita itu. Sadar? Memangnya aku baru pingsan?
Perawat itu mendekat, ia menanyakan beberapa pertanyaan padaku.
"Dokter, apa Dokter bisa berbicara?"
"Iya," Jawabku.
Sungguh pertanyaan yang aneh.
"Dokter, apa Dokter ingat siapa nama Anda?"
"Iya." Lagi-lagi pertanyaan aneh.
"Nama Anda siapa?"
"Andreas Adrison."
"Pekerjaan Anda?"
"Saya dokter bedah rumah sakit Health."
"Iya, sekarang Dokter sedang berada di rumah sakit itu. Kalau nama ayah Anda?"
"Markus Adrison."
"Apa yang Anda rasakan sekarang?"
"Saya haus dan lemas."
"Nanti kita minum, ya. Dokter bisa menggerakan jari tangan?" Aku mencoba menggerakan jari tangan. Berat tetapi bisa. Perawat terus mencatat kondisiku sambil terus bertanya.
"Maaf ya, Dok." Perawat menyibakkan selimut di kakiku.
"Kalau jari kakinya bisa digerakan, Dok?"
Lebih berat dari jari tangan namun aku berhasil menggerakkannya.
Perawat kembali menutup kakiku. Dia kemudian berbicara pada wanita yang belum ku ketahui siapa dia.
"Berikan minum beberapa sesendok setiap sepuluh menit sekali. Saya akan menghubungi dokter Daniel dulu."
"Iya, Ners."
Perawat itu pergi.
Wanita itu menuruti apa yang perawat katakan. Dia menuangkan air ke gelas lalu menyendokannya tiga kali kepadaku. Tenggorokanku terbasahi, rasanya segar.
"Siapa kamu?" Pertanyaan yang sejak tadi ingin ku tanyakan.
"Saya Serena, Dok. Anak kepala asisten di rumah Anda." Mataku terbelalak mendengar jawaban wanita ini. Tidak mungkin dia Serena. Serena yang ku ingat adalah gadis kecil berusia dua belas tahun.
"Dokter pasti tidak ingat, dokter koma sudah tujuh tahun," ujar Serena.
"Tujuh tahun?" Aku berusaha mencerna perkataan Serena namun yang terjadi kepalaku malah linu.
Serena menutup mulutnya menyadari ia melakukan kesalahan. Ia panik dan menekan tombol emergency lagi.
Perawat tadi akhirnya datang kemudian memberikanku suntikan hingga aku tenang dan terlelap.
***
Aku membuka mataku kembali, masih di ruangan yang sama. Ternyata ini bukanlah mimpi. Aku harus mulai menerima kenyataan. Pertanyaanku sekarang, bagaimana aku bisa koma?
Serena masih berada di sini. Ia duduk di sofa sedang sibuk dengan ponselnya.
"Serena," panggilku.
Serena terkejut mengetahui aku sudah sadar lagi. Kemudian ia sigap mendekatiku.
"Posisikan kasurku duduk!" Perintahku.
Serena menekan tombol di samping ranjang. Hal baru yang ku lihat.
"Apa Anda ingin minum?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kemudian dia membawakan minum untukku. Aku nurut ketika Serena memberikanku minum.
Ku sadari Serena telah berganti seragam asisten rumah tangga berwarna hitam khas keluargaku.
Aku terdiam sejenak setelah menyelesaikan minum. Aku berusaha menenangkan diri agar setiap kata dari Serena nanti tidak membuat ku shock lagi.
"Anda baik-baik saja, Dok?"
"Iya."
"Ada yang Anda perlukan?"
"Duduklah, Serena!"
Serena menuruti perintahku.
"Bagaimana aku bisa koma selama tujuh tahun, Serena?"
Serena menelan ludah. Ada sebuah ketakutan untuk menjawab pertanyaanku.
"Jawab Serena! Aku sudah siap dengan semua ceritamu," pintaku.
Serena menatapku, memastikan apa aku benar-benar siap.
"Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, Dok."
"Apa saja yang terjadi selama tujuh tahun ini?"
Serena terlihat gelagapan dengan pertanyaanku yang terakhir.
Suara pintu terbuka menghentikan perbincangan kami. Dokter Daniel datang bersama beberapa perawat termsuk perawat jaga tadi.
"Dokter Andreas apa Anda mengingat saya?" Tanyanya.
Meskipun wajahnya terlihat lebih tua aku jelas mengingat jika pria ini adalah dokter Daniel. Kami masuk rumah sakit di tahun yang sama. Dia seusia denganku tetapi ia terlihat begitu tua? Oiya ini sudah tujuh tahun, sudah pasti banyak perubahan.
Aku juga penasaran bagaimana rupaku sekarang.
"Saya ingat Anda, Dok. Ngomong-ngomong saya ingin melihat wajah saya." Aku berbicara ke Serena.
"Akan saya ambilkan kaca." Serena membuka lemari yang berada di seberang ranjang. Ia merogoh pouch yang berisi alat make up dan mengeluarkan sebuah kaca. Kemudian dia memberikannya padaku.
Aku menatap cermin. Kemana wajahku yang kurawat? Ini siapa? Sungguh tak ku kenali, lelaki cungkring mengerikan ini.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa bisa aku koma selama tujuh tahun?" Aku melupakan rupaku dan mulai penasaran dengan alasanku di sini.
"Apa Anda tak ingat, Dok?" Tanya dokter Daniel.
"Sama sekali tidak, tetapi Serena memberi tahuku jika Aku mengalamo kecelakaan."
"Tujuh tahun lalu Anda masuk ke UGD karena mengalami kecelakaan, Anda tertabrak sebuah mobil container," jelas dokter Daniel.
Aku mencoba mengingat kejadian itu. Sayangnya, tak ada sedikitpun yang terlintas.
"Jangan memaksakan diri, Dok." Dokter Daniel memegang pundakku.
"Dokter, saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut bagaiman kondiri Anda."
"Silahkan, Dok."
Dokter Daniel kemudian mengecek kedua mataku dengan senter. Setelah itu dia menggantungkan telapak tangannya di udara.
"Apakah Anda bisa menyentuh tangan saya?" tanya dokter Daniel.
Harusnya ini menjadi hal yang mudah. Tapi ternyata tidak bagiku yang merupakan pasien sadar koma. Rasanya berat sekali mengangkat tangan. Jemariku perlahan bergerak. Berarti fungsi otak memerintah jari masih bekerja. Walau sangat lambat tetapi tangan ini terus terangkat.
Bruk. Tanganku terkulai sebelum sempat menyentuh tangan dok Daniel.
"Gak masalah, nanti atau besok kita coba lagi. Kalau kaki bagaimana apa Anda bisa menggerakannya?" Dokter Daniel menyibakkan selimutku.
Sudah sekuat tenaga aku berusaha mengangkat kaki. Namun, yang terjadi hanya gerakan kecil yang mampu dihasilkan oleh jari kaki.
"Dikasih minum setiap sepuluh menit dengan takaran yang semakin meningkat ya Serena." dokter Daniel berbicara pada Serena.
"Baik, Dok," jawab Serena.
"Ners, segera jadwal pemeriksaan MRI, CT scan, darah dan EEG."
"Baik, Dok," jawab salah seorang perawat.
"Nanti kalau sudah makan dicoba bergerak perlahan, ya. Kalau gak ada kemajuan kita harus fisioterapi."
Aku mengangguk
"Saya tinggal dulu, ya, Dokter Andreas."
"Baik, Dok. Terima kasih," jawabku.
"Sama-sama. Semoga lekas pulih. "
Dokter Daniel bersama rombongan perawat pergi meninggalkan ruangan. Serena masih berdiri di sampingku dengan setia.
"Dimana tuan dan nyonya besar?" tanyaku.
"Nyonya sudah saya hubungi mungkin sebentar lagi akan sampai. Apakah Dokter mau minum atau makan?"
"Iya, keduanya boleh."
Kemudian Serena menyiapkan makananku. Bubur sayur dan ayam. Dia menyuapiku. Aku lebih banyak diam ketika sedang makan.
Tepat setelah bubur habis pintu kamar terbuka. Mama datang bersama dua asistennya. Wajah mama terlihat shock bercampur bahagia. Ia berlinangan air mata saat tiba di ranjang.
"Anakku, kau benar-benar sadar, Nak?" Mama ingin memeluku namun terlihat hati-hati.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Mama memegang tanganku. Hangat.
"Mama yakin kamu pasti bangun lagi." Penuh kebahagiaan bercampur air mata.
"Papa di mana, Mah?" tanyaku.
Mama tidak menjawab dengan cepat.
"Anakku selama tujuh tahun kamu koma banyak yang terjadi. Akan mama ceritakan satu persatu kalau kamu sudah siap."
Aku menelan ludah mendengar pernyataan mama. Pasti banyak hal yang tak bagus yang akan beliau ceritakan.
Aku menatap mama mantap.
"Ma, sekarang aku sudah siap," ucapku mantap.
Mama diam cukup lama hingga akhirnya memecah keheningan di ruangan ini. "Cepat atau lambat, dari Mama atau bukan, kamu pasti akan mengetahui juga keadaan sekarang. Akan Mama beri tahu satu per satu, agar kamu tidak tekejut," tuturnya. Meskipun penasaran apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, tapi aku menerima keputusan mama tanpa mendebatnya. Mama pasti memikirkan resiko kesehatanku. "Mama akan jawab pertanyaanmu tentang papa." Mama menarik napas panjang, ia seperti menahan sesak. "Setelah kamu kecelakaan kesehatan papa mulai menurun. Beliau kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Delapan bulan kemudian papa meninggal. " "Papa meninggal?" Rasanya dadaku menjadi sesak. Ku pegang dadaku. Mama memegang tanganku yang berada di kasur secara tiba-tiba. Hal itu ternyata membuat dadaku tidak terlalu sesak lagi dan perlahan aku kembali bernapas normal. Aku melihat tanganku yang digenggam mama. Genggaman tangannya memberiku kekuatan. Kem
Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku. Aku langsung menatap Serena. Entah ekspresi apa yang kuberikan padanya saat itu karena spontan ia melepaskan genggaman. Serena langsung gelagapan. "Maafkan saya, Dokter. Saya hanya meniru apa yang nyonya besar tadi lakukan ketika menenangkan Anda. Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya takut Anda seperti tadi pagi."Jelas Serena begitu cepat. Gadis yang nampak penakut seperti anak anjing di tempat baru ini ternyata adalah gadis yang cerdas. Ia mangaplikasikan ilmu yang dia lihat. "Aku tidak marah, Serena. Aku hanya terkejut," terangku. Padahal aku sudah menjelaskan tidak marah, tetapi Serena masih terlihat panik. Ia mengibas-ngibas tangannya. Ku genggam tangan Serena yang sedang tak karuan sebagai upaya menenangkannya. "Tenang Serena, aku tidak marah kepadamu. Aku hanya terkejut. Tenanglah!" Bukan semakin tenang ia malah semakin panik dan melepas cepat tanganku.
Dokter Daniel pamit karena harus operasi jam sembilan. Selepas rombongannya pergi aku semakin bersemangat."Serena cepat bersekan barang kita yang ada di sini. Aku ingin segera pulang.""Andreas, kenapa buru-buru?" Tanya mama."Hanya sudah rindu kamarku. Apa masih seperti dulu?""Ah iya, Nin tolong suruh ibu Pur bersihkan kamar Andreas. Tentu kamarmu masih seperti dulu, hanya sedikit kotor.""Baik nyonya, " Nin asisten baru mama yang belum ku lihat sebelum aku koma pergi keluar.Mama kemudian mengeluarkan handphone. Kulihat handphone mama begitu besar dan tidak ada tombol apa pun. Hanya layar."Wah ini handphone jaman sekarang?" Aku terkekeh mendengar pertanyaanku sendiri. "Rasanya aku seperti manusia yang berpindah dengan mesin waktu."Kulihat mama tidak meresponku, hanya sibuk dengan handphone. Aku memberikan ruang untuk mama. Mungkin ada hal yang harus beliau lakukan.Mama mengangkat kepalanya setelah cukup lama
Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali."Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya."Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi.""Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat ma
Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena."Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri."Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang."Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa i
Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku."Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang."Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu."Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun.""Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?""Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah selesai rapat dengan tim Help Dok! Hari ini bagiku adalah hari terbaik setelah aku bangun dari koma selama 7 tahun. Hari di mana awal mula pembalasanku terhadap Andrew yang telah merebut semuanya dariku.Aku harus mendapatkannya kembali! Jika aku tidak bisa mendapatkannya kembali maka aku akan menghancurkannya saja. Selanjutnya adalah Anna, jika aku tidak mendapatkannya, bukan-bukan jika aku tidak menginginkannya maka aku akan menghancurkannya.Bukankah Anna telah menghancurkan rencana kami dan harapan kami? Maka tidak salah jika aku juga menghancurkan harapannya.Siaran di televisi menghentikan lamunanku. Live konfrensi perss rumah sakit Health. Di televisi berukuran 30 inch yang terpasang di dinding memperlihatkan Andrew bersama kuasa hukum dan tiga petinggi lainnya melakukan konfrensi perss."Selamat siang semuanya. Perkenalkan saya Andrew direktur utama rumah sakit Health.""Posisi yang harusnya menjad
Kami sampai di pintu masuk sebuah apartemen yang menjadi lokasi pertemuan kami dengan Siska. Hari ini pak Badri ku perintahkan untuk libur, lebih tepatnya agar pertemuan ini tidak diketahui oleh siapa pun. Pak Badri sendiri merupakan supir yang ditugaskan oleh Andrew untuk mengantarku, jadi bisa jadi dia melaporkan banyak hal tentang kegiatanku pada Andrew. Serena membunyikan bel, tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Siska berpakaian santai dengan kaos oblong warna putih tipis dan rok slim fit di bawah lutut. "Silahkan masuk." "Terima kasih." Ucap serena. Aku membalasnya dengan anggukan santai. Apartemen itu berdesain minimalis. Ketika masuk ruangan langsung terlihat dapur. Lalu ada ruang televisi beserta meja makan. Ketiga tempat itu tak bersekat. Ada dua kamar tidur di ruangan itu dan satu kamar mandi. Siska mengenalkan kami pada dua orang temannya yang berada di sana Helen dan Jonny. "Pak ini Helen seba
Meski pun ini Minggu pagi tetapi aku dan Serena tidak terdiam diri di rumah. Kami masih harus keluar bertemu dengan pak Jundi, pengacara Daily Health. Pertemuan ini di janjikan semalam saat kami bertemu di acara Launcing. Pak Jundi memberi tahu jika orang-orang yang menggelapkan uang Daily Helath sudah ditangkap lengkap beserta barang bukti yang di dapatkan dari barang-barang di ruangan Sonny dan Natalie sendiri. Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mempercayakan kasus ini pada pak Jundi. Aku hanya ingin memastikan langsung kegegabahan Andrew dalam bekerja. Hingga masalah seperti ini saja tidak bisa terdeteksi olehnya dalam tujuh tahun. Setelah aku benar-benar yakin ini merupakan kasus korupsi aku segera bergegas pergi ke klinik dokter Daniel untuk melakukan pengecekan. Sementara itu Serena ku minta untuk pulang ke rumah. "Saya tidak mau meninggalkan Anda sendirian, saya khawatir jika kejadian seperti di rumah sakit terjad