Mama diam cukup lama hingga akhirnya memecah keheningan di ruangan ini.
"Cepat atau lambat, dari Mama atau bukan, kamu pasti akan mengetahui juga keadaan sekarang. Akan Mama beri tahu satu per satu, agar kamu tidak tekejut," tuturnya.
Meskipun penasaran apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, tapi aku menerima keputusan mama tanpa mendebatnya. Mama pasti memikirkan resiko kesehatanku.
"Mama akan jawab pertanyaanmu tentang papa." Mama menarik napas panjang, ia seperti menahan sesak.
"Setelah kamu kecelakaan kesehatan papa mulai menurun. Beliau kelelahan dan terlalu banyak pikiran. Delapan bulan kemudian papa meninggal. "
"Papa meninggal?" Rasanya dadaku menjadi sesak. Ku pegang dadaku.
Mama memegang tanganku yang berada di kasur secara tiba-tiba. Hal itu ternyata membuat dadaku tidak terlalu sesak lagi dan perlahan aku kembali bernapas normal.
Aku melihat tanganku yang digenggam mama. Genggaman tangannya memberiku kekuatan. Kemudian mama mengelus punggung tanganku.
"Jangan terlalu bersedih." Sambil terus mengelus punggung tangan.
Biar pun mama bilang begitu air mataku tetap keluar. Aku merasa bersalah karena tidak bisa bersama papa disaat terakhirnya.
"Papa menuliskan beberapa surat untukmu." Mama mengelap mataku dengan tisu dari dalam tasnya.
"Surat apa, Ma?" Tanyaku ketika kesedihan sudah terkuasai.
"Surat nasihat untukmu. Seperti halnya Mama, papa juga sangat yakin suatu saat kamu akan bangun."
Aku memejamkan mataku. Mengatur napas dan emosiku. Aku ingin sekali membaca surat itu, tapi untuk mengangkat tangan saja aku belum mampu.
Mama mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih.
"Mama yakin kamu ingin membacanya sendiri."-Mama meletakan surat itu di bawah bantalku-"cepatlah pulih Andreas."
Sekarang yang ada dipikiranku hanya pulih. Aku ingin membaca surat dari papa.
***
Hari ini mama menemaniku seharian. Mengurusiku seperti aku kecil dulu. Menyuapi, menemani melakukan tes kesehatan hingga mengelap tubuhku. Kami bernostalgia. Mama banyak bercerita tentang masa kecil kami. Tentang aku dan kakakku, Andrew.
"Dulu, Mama tidak sempat mengurus kakakmu seperti mengurusmu karena sibuk membangun rumah sakit ini bersama papa dan juga pada saat kakakmu berusia lima bulan mama hamil kamu. Nenek yang kesepian dan khawatir akan gizi Andrew membawa dia tinggal di rumahnya.
"Setalah usiamu tiga tahun Mama memutusakan untuk berhenti bekerja di rumah sakit dan fokus pada kalian berdua, tapi nenek ternyata tidak merelakan Andrew untuk mama bawa. Baru setelah nenek meninggal Andrew kembali ke rumah."
"Waktu itu aku sangat canggung pada Andrew. Rasanya tiba-tiba punya kakak itu aneh, walaupun begitu aku sangat senang karena aku tidak sendirian."
"Iya, kalian berdua canggung. "
"Aku rasa dia masih canggung sampai SMA, tapi perlahan ketika kami satu kampus dia mulai membuka dirinya padaku. Namun, itu gak lama, tiba-tiba dia berhenti kuliah dan menjauhiku bahkan seperti membenciku."
"Mama sangat menyayangi kalian berdua. Kamu harus tahu, apa pun yang terjadi kalian adalah anak Mama. Kalian yang paling berharga." Mama mengusap rambutku.
Semakin siang, kondisi tubuhku semakin pulih. Aku sudah bisa mengangkat kedua tanganku dan juga sudah bisa duduk, walaupun masih perlu bantuan.
"Ma, pulanglah sudah jam sembilan malam loh," kataku ketika mama mulai terlihat mengantuk.
"Mama pengen nginep aja."
"Kalau Mama nginep di sini Serena tidur di mana?"
Mama terkekeh. "Iya juga, ya."
Mama melihat jam tangannya. "Mama masih sangat rindu berbincang-bincang sama kamu sebenernya."
"I know." Kutatap mama penuh kepercayaan. Tatapan yang tidak bisa membuat mama membantah ketika ku sarankan hal apa pun untuk dirinya.
"Oke-oke, Mama pulang." Mama turun dari ranjang kemudian memeluku dan mencium keningku.
"Tidur yang nyenyak dear."
"Hati-hati di jalan."
"Besok Mama ke sini lagi."
"Kunantikan."
Mama berjalan ke arah pintu. Ketika berpapasan dengan Serena beliau berpesan.
"Jaga dokter Andreas baik-baik," perintah mama penuh ketegasan.
"Baik, Nyonya Besar." Serena membungkuk.
"O iya, Ma,"-aku memanggil mama sebelum beliau keluar ruangan.-"ngomong-ngomong di mana Andrew?"
"Dia berada di luar kota. Nanti setelah pulang dia pasti menemuimu." Mama menjawab tanpa menoleh.
Kemudian mama dan dua asistennya keluar ruangan. Tinggal aku berdua lagi dengan Serena.
Serena mendekat.
"Dokter. Anda harus istirahat juga. Mari saya bantu untuk tidur," pinta Serena.
"Sebentar Serena, aku ingin membaca surat dari tuan besar sebelum tidur. Tolong ambilkan di bawah bantal."
Serena langsung melakukan yang kuperintahkan tanpa membantah apa pun.
"Ini, Dokter." Serena menyodorkan surat.
"Terima kasih, kamu bisa istirahat dulu."
"Panggil saya jika butuh sesuatu."
Kuamati surat yang kata mama dibuat untukku. Amplop putih sederhana dengan tulisan angka 1.
Kubaca surat itu dengan hati yang lapang.
Terima kasih sudah membuka surat ini anakku, Andreas yang selalu ku banggakan. Hari ini lagi-lagi kamu membuat Papa bangga kepadamu karena kamu mampu bangun kembali. Jika Papa tidak bisa menemanimu ketika kamu membuka mata janganlah sedih atau kecewa atau marah. Ini adalah keputusan Tuhan yang terbaik.
Andreas, mungkin ketika kamu bangun banyak hal berubah tapi Papa yakin apa pun yang terjadi kamu tidak akan pernah terpuruk. Kamu harus bangkit dan memulai hidupmu kembali. Papa yakin kamu akan selalu membanggakan untuk kami.
Jaga ibumu dan kakakmu. Andrew memang terlihat kuat dan tegas, tapi kamu harus tahu jika hatinya jauh lebih rapuh daripada kamu. Dia besar dengan didikan nenek yang sangat tegas. Dia dipaksa untuk tidak terlihat lemah dalam keadaan apa pun. Sedangkan kamu tumbuh penuh cinta dengan ibumu. Kamu mampu memperlihatkan sisi sedih dan bahagiamu.
Terima kasih anakku yang selalu membanggakan.
Salam dari Papamu.
Setelah membaca surat itu aku merasa kembali sedih karena disaat saat terakhirnya aku tidak bisa menemani papa. Aku teringat lagi isi surat papa yang mengatakan aku tidak boleh sedih.
Tidak. Aku tidak boleh terlalu sedih. Kalau terlalu sedih keadaanku akan down. Aku harus tetap bahagia.
"Serena." kupanggil Serena untuk mengalihkan perhatianku dari rasa sedih.
Serena berjalan mendekatiku.
"Serena duduklah! Aku ingin bertanya."
"Tapi Dokter, saya tidak punya hak untuk menceritakan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini. Biarlah nyonya besar yang bercerita." Serena terlihat panik.
Aku tertawa melihat ekspresinya.
"Duduklah! Aku tidak akan mencari tahu tentang kehidupanku. Aku ingin tahu tentang kamu, Serena," Ucapku meyakinkan Serena.
Wajah Serena memerah karena malu.
"Maafkan saya, Dokter." Serena duduk di kursi dekat ranjang.
"Boleh aku tahu tentang kamu?"
Dia mengangguk dengan wajah menunduk.
"Berapa sekarang usiamu?"
"Saya dua puluh tahun, Dok."
"Tidak kuliah?"
Serena menjawab dengan gelengan kepala.
"Sejak kapan kamu menjagaku?"
"Dua tahun yang lalu."
"Lima tahun sebelumnya siapa?"
"Ibu saya, Dokter."
"Ibu Lin? "-Serena mengangguk.-"Bagaimana kabar ibu Lin sekarang?"
"Ibu sudah meninggal dua tahun lalu."
Deg. Lagi-lagi salah satu orang yang terpenting dihidupku meninggal. Ibu Lin adalah orang yang mengurusku sejak bayi hingga aku dewasa. Bahkan sebelum meninggal ternyata ibu Lin tetap menjadi penjagaku.
Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku.
Lamunanku buyar. Aku tersadarkan karena tiba-tiba Serena menggenggam tanganku. Aku langsung menatap Serena. Entah ekspresi apa yang kuberikan padanya saat itu karena spontan ia melepaskan genggaman. Serena langsung gelagapan. "Maafkan saya, Dokter. Saya hanya meniru apa yang nyonya besar tadi lakukan ketika menenangkan Anda. Saya tidak bermaksud lancang. Saya hanya takut Anda seperti tadi pagi."Jelas Serena begitu cepat. Gadis yang nampak penakut seperti anak anjing di tempat baru ini ternyata adalah gadis yang cerdas. Ia mangaplikasikan ilmu yang dia lihat. "Aku tidak marah, Serena. Aku hanya terkejut," terangku. Padahal aku sudah menjelaskan tidak marah, tetapi Serena masih terlihat panik. Ia mengibas-ngibas tangannya. Ku genggam tangan Serena yang sedang tak karuan sebagai upaya menenangkannya. "Tenang Serena, aku tidak marah kepadamu. Aku hanya terkejut. Tenanglah!" Bukan semakin tenang ia malah semakin panik dan melepas cepat tanganku.
Dokter Daniel pamit karena harus operasi jam sembilan. Selepas rombongannya pergi aku semakin bersemangat."Serena cepat bersekan barang kita yang ada di sini. Aku ingin segera pulang.""Andreas, kenapa buru-buru?" Tanya mama."Hanya sudah rindu kamarku. Apa masih seperti dulu?""Ah iya, Nin tolong suruh ibu Pur bersihkan kamar Andreas. Tentu kamarmu masih seperti dulu, hanya sedikit kotor.""Baik nyonya, " Nin asisten baru mama yang belum ku lihat sebelum aku koma pergi keluar.Mama kemudian mengeluarkan handphone. Kulihat handphone mama begitu besar dan tidak ada tombol apa pun. Hanya layar."Wah ini handphone jaman sekarang?" Aku terkekeh mendengar pertanyaanku sendiri. "Rasanya aku seperti manusia yang berpindah dengan mesin waktu."Kulihat mama tidak meresponku, hanya sibuk dengan handphone. Aku memberikan ruang untuk mama. Mungkin ada hal yang harus beliau lakukan.Mama mengangkat kepalanya setelah cukup lama
Pak Badri membawa aku dan Serena ke rumah lama kami. Rumah sebelum papa dan mama sukses memiliki rumah sakit Health.Rumah ini memang jauh lebih kecil dari rumah yang baru kutinggalkan tadi tapi rumah ini sama terawat dan layak untuk ditinggali."Sudah sampai dokter, ayo kita turun." Serena mengajakku turun karena aku hanya melamun menatap rumah ini.Pak Badri menemani dan membantu membawakan koper kami ke dalam rumah dan pamit setelah memasukannya."Besok saya akan ada di sini jam tujuh pagi. Siapa tahu dokter atau Serena mau pergi.""Iya pak. Terima kasih." Serena yang menjawab karena aku langsung masuk ke dalam rumah melihat-lihat.Keadaan di rumah sangat bersih seperti sengaja dibersihkan untuk kedatanganku.Aku tak begitu ingat kapan pindah dari rumah ini karena saat itu usiaku masih kecil. Katanya kami pindah saat usiaku tiga tahun.Meski tidak dihuni rumah ini tidak terlupakan untuk papa. Setiap satu bulan sekali saat ma
Aku terbangun karena mendengar suara percakapan dari luar. Itu adalah suara mama sedang berbicara dengan Serena."Ma-ma," Aku memanggil mama seperti anak kecil.Mama masuk ke kamar. Wajahnya bagaikan matahari pagi, hangat dan menenangkan. Kemudian ia duduk di kasur. Aku memeluk pinggang mama, meletakan kepalaku di atas pahanya. Aku lelah, rasanya semuanya terlalu mengejutkan, terlalu tidak masuk akal. Dua hari lalu yang ku ingat aku adalah lelaki dengan karir, asmara dan keluarga yang sempurna namun tiba-tiba ketika aku bangun semuanya sudah tidak ada.. Ayahku, pekerjaanku, kekasihku, jabatanku. Semuanya sudah direbut orang lain yaitu kakakku sendiri."Tenang anakku, tenang." Mama mengelus kepalaku.Meski rasanya dunia akan runtuh di samping mama aku merasa tenang."Harta, jabatan bahkan orang yang kita cintai dan mencintai kita bisa pergi kapan saja tapi ketika mereka pergi jangan sampai mengubah kualitas dirimu. Kamu punya mimpi yang luar biasa i
Aku terbangun karena rasa haus. Kulihat jam di dinding menunjukan angka empat. Sontak aku terduduk. Kulihat bajuku sudah berganti piyama dan aku sudah berada di kamarku."Kapan aku pulang?" Ingatan terakhirku adalah aku muntah di kamar mandi rumah sakit.Aku keluar kamar. Ku dengar bunyi-bunyian dari dapur. Serena sedeng memotong kentang."Serena tolong ambilkan air putih." Serena terkejut karena aku berjalan tanpa suara ke dapur.Serena memberiku segelas air putih. Aku meneguk gelas itu hingga kering, kemudian menatap gelas itu."Tadi nyonya besar, tuan Andrew dan dokter Daniel ke sini. Namun sudah pulang lagi sebelum Anda bangun.""Serena aku harus bagaimana sekarang?" Serena tidak menjawab. "Apa aku bisa hidup seperti dulu lagi?""Saya yakin bahwa dokter akan hidup lebih bahagia dari dulu." Serena pergi lagi ke dapur.Perkataan Serena melampaui pikiranku. Bisakah aku yang tak punya apa-apa ini akan jauh lebih bahagia?
Aku duduk di hadapan pusara papa. Menatap batu nisan dengan nama lengkapnya. Tanganku bergetar menahan tangis."Maafkan aku pa ga bisa menemanimu disaat terakhirmu." Permintaan maaf yang sia-sia karena papa tidak bisa mendengarnya.Ku bacakan doa untuk papa sembari tanganku sibuk mencabuti rumput liar.Serena memberiku ranting pohon berisi beberapa helai daun yang baru saja ia petik. "Dokter, kata orang jika daun ini di simpan di atas kuburan maka orang yang berada di dalam kuburan akan merasa teduh karena terpayungi hingga daunnya layu."Aku menerima daun itu dan melakukan apa yang Serena anjurkan."Mari dokter kita pulang. Hari semakin terik, anda bisa kelelahan.""Aku ingin berbicara berdua dengan tuan besar. Kamu duluan saja ke mobil.""Baik dokter." Sebelum bicara ku pastikan Serena pergi menjauh."Papa, aku sudah memutuskan untuk tidak kembali ke rumah sakit. Seperti yang papa katakan, harga diri a
Sebenarnya ingin ku gerbrak langsung meja ini karena mendengar ucapan Sonny yang menyangkut pautkan ketidak mampuan perusahaan dengan biaya rumah sakitku. Tak masuk akal. Kalau memang semiskin ini Daily Health mengapa seberani ini menyewa kantor di Tower 11 yang harganya selangit.Lantaran Sonny membahas soal uang aku langsung saja berpindah topik ke keuangan. "Natalie tolong perlihatkan aset kantor, gaji karyawan dan biaya pengeluaran setiap tahun dan setiap bulannya."Natalie terlihat tak siap untuk memaparkan apa yang aku minta. Ia gelagapan. "Cepat Natalie.""Baik pak akan saya ambil dulu."Natalie tak kunjung kembali juga ke ruangan, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku jadi tak sabar. Ku suruh Bian untuk memanggilnya"Bian kamu panggilkan Natalie! kalau sampai kamu gak berhasil membawa dia dalam waktu lima menit saya pastikan kamu gak akan bekerja di sini lagi.""Baik pak." Bian takut mendengar ancamanku dan buru-buru ke luar rua
Suara ribut dan aroma masakan ternyata juga mengusik tim Wanda. Ketika aku ke sana beberapa sudah ada yang menebak-nebak menu apa yang disediakan dan sebagian lagi tidak sabar untuk makan. "Bagaimana ada kendala?" Tanyaku pada Wanda yang sedang sibuk mengambil data dari leptop Natalie. "Belum sama sekali karena kami juga belum memulainya. Kami baru saja mengambil data-data di leptop." "Kalian bisa makan dulu kalau setting makan siangnya sudah selesai ya." Wanda setuju dan menyuruh mahasiswa-mahasiwinya untuk makan secara bergantian sebelum memulai bekerja. Sementara setengah mahasiswanya makan setengah lagi bersaman Wanda sibuk mencetak dan membaca data-data keuangan yang akan diaudit. Aku memutuskan untuk menunggu Wanda selesai melakukan tugasnya. Aku ingin makan bersama dia. Aku dan Wanda adalah teman satu kampus. Kami berbeda jurusan namun dipertemukan dikegiatan organisasi, organisasi itulah yang juga mempertemukanku dengan Anna. H
Amplop itu berisi akta kelahiran Key yang memang hal wajar diminta pihak sekolah sebagai syarat administrasi. Di dalam akta itu tertulis jika Key anak Marianna dan Andrew Adrison.Lalu mataku menangkap bukti lain."Tepat dugaanku." Aku meremas ujung foto copy akta kelahiran Key."Mereka bisa mengelabui orang lain tapi tidak denganku."Mereka kurang pandai berbohong. Memalsukan nama ayah tapi tidak dengan tanggal lahir Key."Key lahir tujuh bulan setelah aku koma. Kecurigaanku kemarin benar bahwa Key anakku dan ucapan Serena kemarin pasti ini maksudnya."Sebuah ingatan muncul di kepalaku."Andreas nikahin aku!" Samar terdengar suara Anna berteriak lalu setelah itu cahaya putih menyilaukan mataku muncul membuat ingatan itu lenyap. Tak hanya itu ulu hatiku seperti dibogem. Rasanya ingin muntah namun tertahan."Itu pasti ingatan sebelum kecelakaan, Anna memintaku menikahinya karena dia hamil anak kami?" Aku berusaha men
Malam ini adalah malam berat bagi mereka semua. Langit seakan mendukung dengan menurunkan hujan dan petir. Andreas duduk termenung di atas kasur Serena. Kamar berserakan menjadi pemandangan naas yang menggambarkan perasaan Andreas. Serena menghentikan taksi di jalan gang menuju rumahnya. Ia menerobos gelapnya malam, dinginnya air hujan dan kengerian suara petir. Lampu rumah menyala dan terdengar suara tawa adik-adik sepupunya yang sedang menonton televisi. Tawa yang tidak pernah ia dapatkan selama hidup. Sejak kecil ibu meninggalkannya bekerja, sementara ayah sakit jantung. Bahkan sesekali ia menghabiskan malamnya di kamar rawat inap. Badan Serena sudah kuyup ketika sampai di teras rumah. Ia mengetuk rumah dengan perasaan takut kecewa. "Assalamualaikum." Suara tawa itu lenyap seketika di sambung bisikan-bisikan. "Ada yang bilang assalamualaikum." "Siapa-siapa?" "Waalaikumusalam." Suara seorang wanita p
Ketika dokter keluar dari ruangan Andrew juga sudah beradan di sana. Ia sudah kepikiran sejak tadi. Rapat yang agendanya belum terbahas semua sengaja ia hentikan agar bisa turun ke ruang UGD mengetahui kondisi Anna. Namun, meskipun pikirannya sudah campur aduk namun ekspresi wajahnya tetap tenang nyaris tanpa ekspresi. "Dokter bagaimana menantu dan cucu saya?" "Masih harus di pantau Bu, Pak. Ada kontraksi dari janin. Kalau dalam satu jam ke depan ibu Anna masih tinggi tensinya upaya terbaiknya adalah operasi. Kami takut bayi dalam kandungannya juga stress hingga mengeluarkan kotoran. Berbahaya jika bayi buang air besar dalam kandungan karena bisa meracuni air ketuban dan diminum oleh bayi. Harapan kami ibu Anna tidak di operasi, mengingat kandungannya masih delapan bulan." "Kenapa baru delapan bulan ada kontraksi?" Andrew langsung berbaur dengan percakapan keduanya. "Sepertinya efek dari obat yang dikonsumsi ibu Anna." "Obat apa?" Tanya
Kejadian Anna Ruangan UGD di sibukan dengan berbagai pasien yang datang dengan kasus yang harus segera ditangani. Elisa, ibu Andreas baru saja tiba berbarengan dengan Anna yang sedang ditangani oleh dokter. "Apa yang terjadi?" Tanya dokter jaga UGD kepada salah satu asisten Anna bernama Ria. "Tadi anaknya nyonya muda hilang di mall, kami panik cari-cari, terus nyonya muda minta di ambilin obat ini dalam tas. Habis minum obat tau-tau perutnya sakit." Dokter mengambil obat yang di tunjukan Ria. Membaca apa yang tertera dalam label obat itu. "Ini gak boleh dikonsumsi wanita hamil!" Dokter terbelalak mengetahui apa yang tertulis di botol itu. "Saya gak tahu itu apa dok, saya pikir vitamin." Dokter tidak menanggapi bahkan tidak mendengarkan perkataan Ria sampai tuntas. "Ria apa yang terjadi?" "Nyonya besar?" Ria terkejut melihat Elisa yang sudah ada di belakangnya. Ria kemu
Serena keluar membantingkan pintu mobil. Dia tidak seperti Serena yang ku kenal. Dia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. "Serena kenapa kamu begitu marah?" Aku menarik tangannya sebelum dia masuk ke rumah. "Saya tak habis pikir, Anda masih bertanya kenapa saya marah?" Ini adalah sisi ke kanak-kanak an Serena yang baru ku ketahui. Ia seperti seorang gadis yang marah pada kekasihnya lantaran ketahuan selingkuh. Padahal posisi ku adalah bosnya sendiri. "Kamu sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Harusnya kamu tidak semarah ini." "Saya tahu Anda akan balas dendam," . "Serena pelankan suaramu!" Perkataan Serena terhenti oleh pekataanku. Aku menoleh ke belakang melihat pak Badri yang masih berada di mobil seolah penasaran dengan kami yang sedari tadi hanya bungkam dalam perjalanan pulang. Ku beri tanda dia untuk pergi. "Ayo masuk dan duduk!" Suaraku tenang. Kami berdua masuk dan duduk di sofa
"Dari mana saja Anda, Pak?" Serena bertanya padaku dengan tatapan setajam elang. "Saya pergi keluar sebentar." "Ke mana?" Aku tersenyum lebar sambil melewatinya. Senyuman untuk menghilangkan rasa kecil. Pertanyaan dan tatapan Serena membuatku merasa terintimidasi. Padahal dia hanya asistenku yang sebenarnya tidak ada alasan untukku merasakan itu. Bisa jadi karena aku telah berbuat salah kepada Key. Rasa bersalah itulah yang membuat aku terintimidasi oleh pertanyaan Serena. Tidak-tidak! Rasa iba ini hanya akan membuatku lemah lagi. Aku adalah Zoro, perbuatanku sekarang adalah buah dari perlakuan mereka padaku. Ini adil! Ini peradilan. "Pak Andreas, Anda baik-baik saja?" Tanpa kusadari sejak tadi Serena berjalan di sampingku. Pastilah dia membaca raut wajahku yang seperti orang berpikir berat. "Saya ingin makan." "Anda belum makan? Saya pikir Anda sudah makan diluar." Lagi-lagi Serena bertanya tajam. Seperti ibu mengintrogasi ana
Aku kembali ke ruang kerjaku setelah selesai rapat dengan tim Help Dok! Hari ini bagiku adalah hari terbaik setelah aku bangun dari koma selama 7 tahun. Hari di mana awal mula pembalasanku terhadap Andrew yang telah merebut semuanya dariku.Aku harus mendapatkannya kembali! Jika aku tidak bisa mendapatkannya kembali maka aku akan menghancurkannya saja. Selanjutnya adalah Anna, jika aku tidak mendapatkannya, bukan-bukan jika aku tidak menginginkannya maka aku akan menghancurkannya.Bukankah Anna telah menghancurkan rencana kami dan harapan kami? Maka tidak salah jika aku juga menghancurkan harapannya.Siaran di televisi menghentikan lamunanku. Live konfrensi perss rumah sakit Health. Di televisi berukuran 30 inch yang terpasang di dinding memperlihatkan Andrew bersama kuasa hukum dan tiga petinggi lainnya melakukan konfrensi perss."Selamat siang semuanya. Perkenalkan saya Andrew direktur utama rumah sakit Health.""Posisi yang harusnya menjad
Kami sampai di pintu masuk sebuah apartemen yang menjadi lokasi pertemuan kami dengan Siska. Hari ini pak Badri ku perintahkan untuk libur, lebih tepatnya agar pertemuan ini tidak diketahui oleh siapa pun. Pak Badri sendiri merupakan supir yang ditugaskan oleh Andrew untuk mengantarku, jadi bisa jadi dia melaporkan banyak hal tentang kegiatanku pada Andrew. Serena membunyikan bel, tak berapa lama pintu apartemen terbuka. Siska berpakaian santai dengan kaos oblong warna putih tipis dan rok slim fit di bawah lutut. "Silahkan masuk." "Terima kasih." Ucap serena. Aku membalasnya dengan anggukan santai. Apartemen itu berdesain minimalis. Ketika masuk ruangan langsung terlihat dapur. Lalu ada ruang televisi beserta meja makan. Ketiga tempat itu tak bersekat. Ada dua kamar tidur di ruangan itu dan satu kamar mandi. Siska mengenalkan kami pada dua orang temannya yang berada di sana Helen dan Jonny. "Pak ini Helen seba
Meski pun ini Minggu pagi tetapi aku dan Serena tidak terdiam diri di rumah. Kami masih harus keluar bertemu dengan pak Jundi, pengacara Daily Health. Pertemuan ini di janjikan semalam saat kami bertemu di acara Launcing. Pak Jundi memberi tahu jika orang-orang yang menggelapkan uang Daily Helath sudah ditangkap lengkap beserta barang bukti yang di dapatkan dari barang-barang di ruangan Sonny dan Natalie sendiri. Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah mempercayakan kasus ini pada pak Jundi. Aku hanya ingin memastikan langsung kegegabahan Andrew dalam bekerja. Hingga masalah seperti ini saja tidak bisa terdeteksi olehnya dalam tujuh tahun. Setelah aku benar-benar yakin ini merupakan kasus korupsi aku segera bergegas pergi ke klinik dokter Daniel untuk melakukan pengecekan. Sementara itu Serena ku minta untuk pulang ke rumah. "Saya tidak mau meninggalkan Anda sendirian, saya khawatir jika kejadian seperti di rumah sakit terjad