Warn️ing! 18+, harsh word, mental illnes, bloody scenes, carried away, crying and emotional Ini tentang seorang pemuda yang kesepian. Dia yang takut kehilangan, yang takut ditinggalkan lagi. Tentang dia yang selalu memendam segalanya sendirian: lalu ketika ia menemukan sandaran yang tepat, melepaskan adalah hal yang paling mustahil. Di sisi lain, seorang gadis hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang kelam. Dalam perjuangannya melawan rasa cemas, di akhir itu, dia menemukan Juna. Namun, tanpa sebuah alasan yang pasti-rasa cemas itu kembali datang dan dia memutuskan untuk hidup dalam kepura-puraan. asteroid, 2021
Lihat lebih banyak19 Desember 2018 ....
Kalau ditanya hal apa yang paling Tara sukai di dunia ini, jawabannya adalah tidur, makan, tidur, makan, nonton tv sambil ngemil Boncabe satu toples atau seenggaknya permen milkita satu plastik penuh dan ditutup dengan serial Upin Ipin, terakhir semangkuk seblak hot jeletot dapat beli dari perempatan depan komplek.
Tak peduli ia mau tidur se-sore apa, bangunnya tetap saja siang. Paling pagi juga, jam 8 kelewat beberapa menit. Itu pun harus colong-colong tidur. Di meja makan, di kamar mandi sambil gosok gigi atau bahkan di mobil sambil disetirin kakaknya menuju kampus.
Tapi enggak bakal terjadi hari ini deh kayaknya. Sebab hari ini Tara bangun jam 9 kelewat 19 menit, sementara kelasnya dimulai pukul 9 lewat 30. Gadis itu kontan terbangun dan secepat kilat menyambar handuk, lantas masuk ke kamar mandi.
Terima kasih terima kasih saja kepada penghuni rumah yang mau mengalah dan memberikan kamar berkelengkapan bathroom untuk Tara. Yah, soalnya orang-orang rumah juga tahu sih, Tara paling tidak bisa bangun pagi. Sudah jadi langganan anak itu terburu-buru macam dikejar setan, paling sedikit tiga kali dalam satu bulan.
"PAPAAAA!!! TIRTA, OOOOOMM!!!" Dari lantai dua, gadis itu berjalan menapaki tangga dengan satu tangan sibuk memakai anting. Sementara satu tangan lainnya mengacak-acak tas tangan, entah mencari apa.
Ayah dan Omnya yang lagi memasak di dapur (karena dapur berada di pojok dan berdekatan dengan tangga) otomatis melihat ke arah gadis itu.
"Eh, hati-hati bisa ja—" belum sempat seorang ayah yang biasa disebut Papa itu menyelesaikan kata-katanya, Tara sudah terjatuh dari lima tapak tangga. Ya, lumayan sakit sih kalau dilihat-lihat. "Tuh 'kan, belum juga mingkem!" Papa berkacak pinggang.
Tara hampir saja menangis dengan dahi lebam baru yang terjedot pinggiran tangga seandainya tak ingat kelasnya akan segera dimulai. Sebagai murid baru, yang masuk beberapa bulan yang lalu, Tara berusaha sebaik mungkin buat enggak telat dan bikin catatan jelek di mata para dosen.
"HUWAAAAAA!!! KENAPA NGGAK BANGUNIN AKU?!" Gadis itu berteriak marah dengan posisi tubuh yang masih ambigu. Satu kakinya nangkring di pagar dan satunya lagi di tangga, sementara kepalanya berada di lantai.
"Kenapa? Apa anjing pak Gadun gigit selang kita lagi?" Tirta— Kakaknya Tara yang paling budiman, rajin menabung, tampan dan bloon masuk begitu mendengar suara teriakan melengking Tara. Dia kira anjing beagle pak Gadun— tetangga sebelah kiri— mengigit selangnya yang baru beberapa hari dibeli. Ya, bukan gimana-gimana, tapi enggak satu atau dua kali saja anjing pak Gadun mengigit selang kesayangan Tirta secara membabi buta.
Melihat adiknya terlentang di ujung tangga dengan gaya yang tidak keren, Tirta akhirnya tahu apa yang sedang terjadi. Pemuda itu kontan mengurut dada dengan ekspresi lega, setidaknya selangnya masih selamat hari ini.
"Astaga, ayo bangun dulu. Jangan nangis diduluin, Tara!" Omnya— Karendra purnama yang bertugas sebagai babu negara karena yah, numpang makan dan tidur di rumah Keluarga Taharja tuh enggak gratis yah— berjalan mendekat dengan berkacak pinggang, mana satu tangannya membawa sutil panas hasil kolaborasi dengan minyak hot dan tempe gorengnya. "Ayo, Tirta tulungin adeknya!"
Tirta pun berjalan mendekat, begitu pun yang lain. Pemuda itu menyusupkan kedua tangannya di kedua ketiak Tara, mengangkat gadis itu (yang memang enteng) dan mendudukkannya di lantai. Ya, setidaknya posisinya sudah bagus meski masih di dinginnya kabin.
Setelah drama tangisan Tara yang baru berhenti setelah lima menit, mereka malah dibikin bingung karena ... Tara enggak bilang dari tadi kalau dia mepet kelas. Berakhir dengan Tirta pinjam motor Varionya Karen dan mengantar Tara ke kampus dengan gerakan super ngebut yang bikin warga jalanan geleng-geleng.
"Kamu sih, pakai nangis segala. Drama." Begitu cerca Tirta waktu mereka sampai di depan fakultas Sastra Inggris. Tara cuma bisa mencebikkan mulut dengan mata mengerling manja.
Namun gadis itu masih tahu terima kasih kok, makanya sebagai imbalan, Tara mengecup pipi kanan Tirta sekilas bikin Tirta sontak memalingkan wajah dengan kedua pipi merona. "Makasih, Kakakku yang paling ganteng."
Setelah itu, gadis 19 tahun tersebut berlari dengan cepat. Meninggalkan Tirta yang masih terpaku dengan perasaan mengembang serupa kue yang berada di atas loyang, meski tahu Tara cuma bakal bersikap baik kalau ada maunya doang.
***
Udara sore begitu sejuk, dari arah selatan arak-arakan awam hitam berjalan menuju ubun-ubun. Tara sesekali mengusap lengannya yang berbalut kaos pendek tipis, apa-apaan juga dia lupa kalau Indonesia memang selalu memiliki cuaca ekstrem. Di mana musim panas, bisa jadi hujan. Musim hujan bisa jadi diberi panas.
"Haduuuuuh, kok nggak diangkat sih?!" Gadis itu bermonolog kesal sambil menatap rentetan nomor kakaknya di layar ponsel. Harusnya jam segini tuh Tirta sudah datang dengan mobil audi hitam kebanggaan. Namun, sudah hampir sepuluh menit Tara menunggu di bawah pohon angsana yang mulai gugur daun tapi Tirta tak kunjung datang.
Gadis yang sibuk mengunyah permen milkita mini itu menghentak kaki kesal sambil menelusuri bahu jalan. Dia terpaksa harus menyeberang lampu merah untuk bisa mencapai halte dan naik bus hari ini.
Tak ada pilihan, mau minta tolong teman, dia tak punya banyak teman dekat. Punya pun, sekarang mereka sudah pulang. Jeno? Tidak bisa diharapkan, entah kemana pemuda itu. Mungkin sedang melancong dengan gebetan.
Sebab menunggu satu hal yang tak pasti memang melelahkan, dan Tara tak mau membuang waktu dengan melakukan hal tersebut.
Di bawah lampu merah yang berganti-ganti warnanya, Tara terdiam cukup lama. Bahkan dua sampai tiga kali putaran lampu itu berganti, namun gadis itu tak beranjak di sana hingga lebih dari sepuluh permen sudah dilahap mulut.
Tak berselang lama, seorang lelaki jangkung mensejajarkan tubuh dengannya. Bau kayu manis yang begitu candu segera menyapa hidung Tara. Gadis itu mengerucutkan hidung dan menoleh hanya untuk mendapati laki-laki tampan berbalut coat coklat yang menawan. Kedua tangan laki-laki itu berada dalam saku seolah kedinginan.
Sejak tadi, memang Tara berniat mencari teman menyeberang. Maka dari itu, meski lampu sudah berganti jadi merah sebanyak tiga kali pun Tara tak melangkah.
Kali ini, lampu kembali jadi merah. Kedua kaki laki-laki di sebelahnya beranjak cepat, Tara berusaha menyamai langkah sebelum akhirnya sebuah mobil hitam melaju cepat di depan mereka. Bahkan, laki-laki di samping Tara sampai mundur beberapa langkah diiringi umpatan tertahan yang terdengar sangat kesal.
Kendati demikian, Tara tak dapat mendengar umpat demi umpat laki-laki itu. Karena kini telinganya berdenging keras, serupa sirine ambulans yang memekakkan telinga. Kepalanya diserang pening hebat, hingga bibirnya berkomat-kamit memanggil orang-orang terdekat.
Laki-laki ber-coat hitam itu melihat, kedua alisnya terangkat. Namun rasa untuk menolong belum mendekat.
Lama. Hingga pemuda itu memilih untuk segera berjongkok, menyelipkan satu tangannya di kedua kaki Tara dan satu tangannya lagi di pundak gadis di depannya.
Adam itu membawa Tara menyeberang dengan wajah bak super hero yang baru saja menyelamatkan kota dari monster. Sangat ambigu dan di sisi lain, terasa seperti drama buatan negeri China yang sering laki-laki itu tonton.
Tara merasakan tubuhnya kini sudah didudukkan di halte. Tapi suara sirine itu belum hilang, hingga terpaksa kedua tangannya ia kerahkan untuk menekan sisi-sisi telinga, berharap suara itu segera lenyap ditelan rasa sakit.
"Kamu gak apa-apa?" tanya Adam itu, sementara mata Tara mulai berkaca-kaca sehingga segalanya begitu buram dan suram. Gadis bersurai sebahu itu menggeleng, dia sangat tidak baik-baik saja.
Lalu, detik berikutnya Tara merasakan sebuah bahu lebar memeluk kepalanya erat-erat. Hingga bau kayu manis yang begitu menenangkan memenuhi rongga udara, membuat napasnya yang berat perlahan-lahan terasa ringan.
Lalu tepukan di bahu belakangnya semakin membuat isak Tara teredam, kemudian tanpa Tara dengar, laki-laki itu bergumam,
"kamu pasti baik-baik saja, ada saya di sini."
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen