Tiga puluh Desember, 2018 ....
Juna tumbuh besar tanpa orang tua. Yang dia punya hanya Eyang Putri yang sangat sayang padanya alias kalau di bahasa gaul-kan: bucin banget sama Juna.
Eyang dan Eyang Putri adalah couple goals pada masanya. Mereka sama-sama sukses, Eyang adalah seorang pelukis terkenal. Lalu memutuskan untuk membangun galeri. Di sana, Eyang Putri muda bekerja sebagai manajer utama kelanjutannya bisa kalian tebak sendiri.
Sampai sekarang, galeri Eyang sudah memiliki beberapa cabang. Dan ada dua yang berada di US. Eyang Putri dulu sangat cantik, bahkan sampai sekarang wajahnya masih sarat akan kecantikan yang seolah tak pernah memudar. Eyang juga tampan, mungkin itu sebabnya Juna juga tampan. Ketampanan seseorang memang tidak pernah lepas dari gen keluarga, kata mas Kulin di film Terlalu Tampan.
Kabar pahit yang pertama adalah Juna hidup tanpa orang tua. Kabar pahit yang kedua adalah, Eyang meninggal lima tahun yang lalu. Menyisakan Eyang Putri dan dirinya sendirian. Itu artinya, setelah ini Juna harus mau tidak mau mengurus galeri peninggalan Eyang. Sebab Eyang Putri sendiri semakin menua.
Seiring bertambahnya usia, Juna semakin menutup diri. Itulah yang membuat Eyang Putri sedih. Apalagi tiga tahun terakhir Juna memilih untuk tinggal sendirian, Eyang takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Meskipun wanita di usia pertengahan 60 itu yakin kalau Juna tak sebodoh itu untuk melukai diri sendiri.
Kemarin Juna mengusirnya karena cucunya itu bilang bahwa dia akan menonton drama. Dengan terpaksa Eyang pergi dari rumah Juna. Meskipun mengusir, sebenarnya Juna tidak kasar. Hanya sedikit menyebalkan saja.
Hari ini, Eyang mau melihatnya lagi. Eyang berniat untuk manja dengan Juna, karena memang ini hari Minggu. Dia akan meminta Juna mengantar ke rumah sakit untuk periksa kesehatan bulanan.
"Nggak bisa dong, waktu libur Juna itu habis buat nonton drakor, Eyaaaang."
"Ayolah, Jun. Jarang-jarang juga Eyang minta dianterin sama kamu. Ya? Ya?"
"Masalahnya Juna juga belum mandi." Benar. Laki-laki itu belum mandi, masih menggunakan kaos putih belel kemarin sore dan wajah bengkak karena tidur subuh tadi. Biasalah, maraton drakor. Oh iya, yang tahu Juna suka nonton drakor cuma Eyang doang kok. Usahakan yang lain tidak tahu, gengsi lah!
"Ya nggak papa, Eyang tungguin." Eyang tidak mau kalah. Sekarang dia duduk di atas sofa cokelat beludru di kamar Juna.
Juna menghela napas tidak percaya. Tanpa bisa berbuat apa-apa dia mengambil handuknya di lemari, lantas berderap ke kamar mandi dengan perasaan super jengkel.
Eyang diam-diam berseru menang di dalam hati. Sebenarnya mudah saja membuat anak itu menurut, karena pada dasarnya memang sudah penurut sejak kecil.
***
Renjuna Winarga selalu bertanya-tanya, kemana perginya orang-orang yang mati. Tentu saja raga mereka masih di dunia ini, membusuk dimakan cacing atau dibakar dan berakhir menjadi abu. Yang Juna tanyakan adalah jiwa yang terkandung di dalam raga. Kemana perginya jiwa-jiwa itu. Apakah benar mereka mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang mereka lakukan di dunia. Juna selalu penasaran. Tapi rasa penasaran itu selalu berakhir tak terjawab, padahal dia hanya ingin tahu. Kira-kira seorang wanita malang di sana ... bahagia atau tidak.
Di basemen lantai dua, Juna terduduk diam. Sofa kulit hitam di bawahnya terasa dingin, begitupun kaki dan tangannya. Juna tidak pernah bisa memberi tahu siapapun, bahkan Eyang Putri. Bahwa dia tidak suka berada di rumah sakit. Pemuda itu hanya diam di sana. Menjadi sepi di antara ramai. Menjadi sendirian di antara banyaknya kerumunan. Menjabat udara dari pendingin ruangan yang merasuk ke dalam dada.
Juna memilih untuk membuka ponsel. Mungkin menonton aktor kesayangannya berkelahi adalah opsi yang paling tepat saat ini, sebab di antara keramaian dia selalu merasa tersisihkan.
Juna mengerutkan dahi saat terdapat beberapa notifikasi dari Instagramnya.
•Tararara_ra mengikuti Anda.
•Tararara_ra mengirimi Anda pesan.
•Tararara_ra menyukai postingan Anda.
Tiba-tiba Juna jadi mengingat gadis itu. Kemarin dia sama sekali tak bertemu dengan Tara, mengetahui hal itu Juna sangat lega. Sebab Tara terkadang cukup mengganggu aktivitasnya. Meskipun cuma melamun, itu tetap saja penting bagi Juna. Sebab di antara pandangan yang ia sebar, dalam lamunan yang khusyuk bukan main, Juna sedikit demi sedikit melepaskan rasa sesak di dadanya.
Tapi hari ini Juna mulai penasaran; kemana Si berisik itu. Kemudian hatinya menjawab, mungkin sedang berlibur karena kemarin adalah hari Sabtu. Juna membiarkan notifikasi itu menghilang, tidak mau memikirkan sesuatu yang tak penting-penting amat.
Akan tetapi, apa boleh buat. Yang baru saja ia pikirkan sekarang sudah ada di hadapan mata. Tara berjalan dengan seorang laki-laki paruh baya dan pemuda yang kira-kira seumuran dengan Juna. Kelihatan ceria sekali, ketawa-ketiwi, lalu terkadang Tara memukul pemuda di sebelahnya.
Buru-buru Juna mengambil majalah kesehatan yang tergolek di meja, menutup seluruh wajahnya dan berharap setengah mati Tara tidak menemukan dirinya.
"Kak Juna!"
"Kaget aku!" Juna memekik karena tiba-tiba wajah ceria Tara sudah berada di depannya, gadis itu duduk di sebelah Juna.
"Kak Juna ngapain di sini?"
Belum sempat Juna menjawab, lelaki paruh baya yang Juna yakini sebagai ayah Tara itu turut menghampiri mereka. "Ra, Papa sama Kakak duluan ya, nanti nyusul aja. Take ur time sama pacar kamu."
"Hah? Bukan Om!" Juna berteriak tidak terima, refleks. Papa Tara malah tertawa.
"Nggak papa kok, Om duluan ya."
Sedangkan pemuda yang satunya cuma melihat Juna dari atas ke bawah, seperti menganalisa apakah Juna ini pantas menjadi adik iparnya ataukan tidak. Setelah itu turut pergi tanpa sepatah kata.
"O-om gak gitu Om!" Terlambat, Papa dan Kakak Tara sudah melenggang dari sana. Juna menatap tajam ke arah Tara, geram sekali.
"Pura-pura nggak kenal aja bisa gak sih, Ra? Lagian kita 'kan emang nggak kenal."
"Ya nggak dong! Kak Juna tau namaku Tara dan aku tau nama Kak Juna adalah Renjuna Winarga. Semuanya sudah jelas Kak Jun, kita saling mengenal. Kita teman!" Tara tidak mau kalah berargumen. "Kalau bisa sih lebih," cicitnya lagi.
"Ngayal!" Juna membuang majalah kesehatan di tangannya dengan kesal, berdiri dan merapikan bajunya. Tahu gitu Juna tadi ikut masuk Eyang ke dalam ruang pemeriksaan, daripada bertemu musibah.
"Eh Kak!" Tara menjegal lengan pemuda tersebut, Juna sontak berhenti.
"Gua nggak mau!"
Juna tahu kalau Tara mengajaknya merayakan tahun baru bersama anak-anak hits di kampus. Sayangnya Juna sama sekali tidak tertarik, sangat membuang-buang waktu.
"Kak Juna!!! Oy! Oy cogan!" Tara berteriak. Namun, Juna tak peduli. Punggungnya semakin jauh ditelan jarak. Gadis itu bersendekap dada dengan bibir mengerucut.
"Anjirt, ganteng-ganteng sombong."
Pagi hari, 31 Desember, 2018 .... Hujan lebat. Guntur datang sesaat setelah petir mencoret langit seluas pandangan mata manusia. Bagaikan aktor drama air, seorang lelaki yang mengenakan pakaian semi formal, celana panjang dan kemeja polos berwarna biru muda tersebut berlari tunggang langgang sepanjang koridor rumah sakit Good Husada. Sebelum itu, ia tengah bekerja sebagai seorang sub manajer dalam satu restoran besar di pusat kota. Mendengar istrinya akan segera melahirkan dan dilarikan ke rumah sakit, ia tak lagi sanggup melihat catatan penjualan harian, yang ia mau hanya melihat istrinya. Meskipun cuma sebagai sandaran dari rintih dan perih, dia rela. "Mama di mana?" tanyanya setelah melihat Tirta—Sang sulung terduduk di lobi sendiri—Tirta masih berusia tujuh tahun saat itu—anak laki-laki itu menunjuk ruan
Tara sudah menghubungi Juna dari pagi tadi. Tapi nihil. Nggak ada balasan. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Gadis itu mendengus banyak-banyak kali. Jam 4 sore, Jeno sudah di depan. Jeno sih, selalu malas soal acara-acara kayak begini. Namun, Tara yang meminta, ya sudahlah ya. Lagian, sebenarnya Tara juga tak mau pergi dengan Jeno. Dia 'kan maunya sama Juna. Ya sudahlah ya. "Gue masih marah sebenernya." Tara turun dengan gaun hijau bolu kukus-nya yang terlihat formal dan elegan. "Tapi gue belum punya temen, anjir! Temen gue di kampus lo doang." Jeno tertawa kecil menanggapi. Pemuda itu mengambil tehnya, menyesap sampai tandas, lalu berdiri. "Ya udah, makanya hari ini kesempatan cari temen. Berangkat ya, Om." Jeno beralih pada Taharja yang lagi nonton tv sambil ngemil kacang goreng. Taharja mengangguk. "Jangan pulang kemalaman. 'Kan nant
Sebelum kejadian, 31 Desember 2018 .... Lagu full bahasa Mandarin mengudara di seluruh sudut rumah minimalis hitam putih itu. Seorang pemuda jangkung bernyanyi mengikuti irama di bawah guyuran shower yang mengeluarkan air panas. Iya panas. Juna sebenarnya lebih suka mandi menggunakan air panas daripada air hangat. Sungguh aneh, tapi itulah kenyataannya. "Syishiehsheee~." Jujur. Juna sebenarnya sama sekali tidak mengerti apa yang sedang ia nyanyikan, acak-acakan ia memilih kata yang ia lontarkan dari mulut. Yang penting nadanya sama! Ia mematut diri di kaca. Dengan rambut klimis dan telanjang dada, Juna tak habis pikir. Dia terlihat ... ganteng abis! Setelah siap dengan celana jeans putih dan kaos putih yang tak lupa dilengkapi dengan kemeja flanel biru merah untuk menambah kesan keren, Juna juga tak urung menyemprotkan parfum berbau cinnamon kesayangannya.
Juna tak tahu kemana Dava membawa dirinya pergi, jalanan terlihat buram dan kepalanya diterjang sakit yang teramat sangat."Jangan ke rumah sakit, Dav," rintih laki-laki itu. Wajah bersihnya telah dihiasi oleh beberapa luka lebam yang masih segar, serta darah yang menetes cukup deras dari dahinya lantas mengotori baju dan celana Juna yang sial sekali kenapa harus berwarna putih—turut membuat keadaan semakin dramatis bagi Dava.Perkelahian tadi cukup sengit, seharusnya Juna dan Dava cukup kuat untuk melawan lima banci yang mengaku-ngaku sebagai senior teladan kalau saja tidak salah satu dari mereka mempunyai pikiran yang sungguh kekanakan,salah satunya menjatuhkan Juna dari tangga.Tidak cukup tinggi untuk membuatnya mati, tapi cukup untuk menghilangkan setengah dari kesadaran yang ia mil
Jeno Aldrian Fadhilah adalah tiga kata yang mengungkapkan banyak hal. Hangat, perhatian, baik, jahil, dan terkadang menyebalkan. Setidaknya begitulah Jeno menurut Tara. Dari teras rumahnya, Tara sudah bisa menebak—siapa gerangan manusia yang mengendarai vespa kuning tua dari kejauhan sana. Tentu saja ... oknum yang meresahkan hati para perempuan, Jeno. Pemuda itu datang membawa banyak barang, belum lagi sesuatu di atas jok motor kuning itu membuat Fina bertanya-tanya. "Nih. Maafin gue lah, tahun baru juga." Jeno menyodorkan buket berwarna merah muda kepada Tara. Gadis itu melihat Jeno dengan tatapan tidak percaya. "Buket ... BONCABE?!" "Lo kan suka makan pedes," jawab Jeno sambil nyengir lebar. Fina terkekeh pelan mendengar penuturan Jeno. Anak itu selalu punya cara untuk menjahili Tara. "Ya gak gitu juga pe'ak!" T
Sepulangnya anak-anak dari sana, Juna benar-benar pindah kamar. Meninggalkan Afara di sana sendirian.Seperti sebelumnya."Aarrgghh!! Lo ngapain sih, hah?" Juna frustasi, ada adegan bodoh yang dilakukan oleh aktor dalam drama Cina.Tanpa tahu dari tadi seseorang memperhatikan dirinya. Tiffany bersendekap dada melihat kelakuan cucu satu-satunya itu, bukannya tidur malah nonton drakor."Juna.""Nah! Gitu dong, dari tadi kek." Juna tak menyahut, malah semakin seru menonton drama di TV LED di depan sana."Juna!" Tiffany menambah volume. Merasa diabaikan, ia mengambil remote dan mematikan TV tersebut."Eyaaaaaaangg!" Juna merengek karena TV harus mati di saat-saat penting sebuah drama, sebentar lagi klimaks episode tiga! Pemuda itu frustasi."Juna nggak tidur karena sekarang aja tahun baru! Juna mau keluar sekarang aja. Masa anak muda tahun-tah
Hujan sore itu seakan mengolok-olok Juna dalam jurang kesedihannya.Juna merasa kesal, kenapa otaknya cukup mumpun untuk memahami situasi yang saat ini tengah terjadi. Tidak seperti teman sebayanya yang tidak tahu, apa itu mati.Juna paham dengan betul apa itu meninggal dunia.Banyak orang menangis, termasuk Tiffany dengan pakaian berkabungnya yang masih saja terlihat mewah dan berkelas.Kendati demikian, Juna tak menangis. Dia masihlah bocah berusia lima tahun yang baru saja memulai masa-masa sekolahnya. Namun entah mengapa, semesta membuatnya mengerti dengan jelas semuanya.Semesta seolah sengaja membuat Juna tak bisa melupakan kejadian ini selama sisa hidup yang tidak bisa dibilang sisa ... sebab Juna hanyalah anak yang
Satu Januari 2019 adalah sebuah awal yang selalu diusahakan untuk tak berakhir, awal dari sesuatu yang tak diharap-harap selesainya.Dalam pertukaran pemikiran yang panjang lewat bibir mereka waktu itu, Tara pernah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menyerah apapun yang terjadi.Entah padanya,atau, pada Juna.Tara akan terus berjalan maju apapun yang terjadi. Sebab dia tahu; merubah seseorang bukanlah hal yang mudah.Karena gadis itu paham; Juna dan dia adalah dua hal yang sama-sama memerlukan suatu kesembuhan ...dan sembuh dari semua itu tiadalah semudah membalikkan telapak tangan.Butuh masa-masa penyesuaian diri akan hal ya
Tiffany dan Taharja duduk di taman rumah sakit. Suasana agak cerah dan ramai oleh pasien maupun pengunjung. Beberapa di antara mereka datang sendirian, ada juga yang berdua. Meski suasana cukup bising, Taharja dan Tiffany tak dapat merasakan keramaian itu sebab; mereka terlalu hanyut dalam lamunan masing-masing.Canggung mendera atmosfer di antara keduanya. Maksudnya, bagaimana bisa seseorang bersikap biasa-biasa saja sementara masa lalu mereka yang cukup gila masih berbekas hingga sekarang.Taharja berdeham sekali. Tenggorokannya terasa serak dan kering, maka laki-laki paruh baya itu kontan berdiri. "Saya beli minuman dulu," pamitnya.Tiffany mengangguk tanpa kata. Sebab wanita tua itu pun juga merasa sangat tidak nyaman."Terima kasih." Tiffany menerima uluran tangan Taharja yang berisi air mineral dingin. Taharja tak membalas, ia kembali mendudukkan diri di samping Tiffany
Jeno dan Tara mengikuti pak Suryo ke rumah sakit. Berniat menjenguk Juna meski cuma sebentar. Ada rasa cemas di hati Tara sewaktu perjalanan yang cukup memakan waktu itu.Setiba di ruang rawat, terlihat Tiffany sedang bersama Juna. Juna tertidur pulas sementara Tiffany memegang lengan Juna dengan raut cemas.Mereka bertiga masuk. Kontan mata Tiffany dan Tara bertemu, canggung menerpa keduanya.Jeno berdehem kecil untuk mencairkan suasana. "Malam, Tante. Masih ingat saya nggak? Saya Jeno, temen kuliahnya Juna." Jeno mendekat, memberi salam.Tiffany tersenyum, lalu mengangguk. "Ingat kok, Juna juga pernah cerita soal kamu sama saya." Tiffany berkata, tapi menatap pada Tara. Seketika yang ditatap kembali merasa canggung.Diam kembali mewarna atmosfer tempat itu. Tiffany bangkit dengan canggung. "Saya belum makan malam, ayo makan malam Pak Suryo!" ajakny
"Ayo ... ayo bilang kalau kamu nggak baik-baik saja, kalau kamu sakit, kamu nangis setiap hari, kamu ... kamu nggak kuat. Ayo bilang sama aku!" Tangis Jeno menderu-deru. Bak suara debur ombak yang berlomba-lomba mencapai pesisir. Laut yang biasa terasa menenangkan, kini menyayat hati."Padahal dari dulu, susah payah aku buat nggak terlihat lemah di depan kamu. Karena apa? Karena aku mau kamu sadar, kalau aku itu bisa diandalkan. Kamu bisa mengandalkan aku. Kamu bisa cerita semua masalah kamu, kamu boleh bersandar di bahuku ketika kamu nggak ada tempat yang tepat untuk pulang." Laki-laki itu berkata.Dia menggeleng kuat hingga air matanya semakin berlomba-lomba untuk jatuh di pipi. "Tapi kamu nggak pernah. Kamu nggak pernah datang sama aku dan berkata kalau kamu lelah, kalau kamu letih dan muak dengan hidup ini. Kamu nggak pernah. Kamu seolah-olah menganggap aku nggak pantas buat jadi sandaran kamu saat berada di titik rendah. Beg
"Langit dibalik menimpa laut, laut dibalik menimpa langit. Tapi Tuhan tak pernah memutuskan buat membalik mereka. Karena Tuhan tahu, ada hal-hal yang harus dilindungi oleh masing-masing. Laut itu indah, di dalamnya ada suka duka. Tempat bekerja bagi para nelayan juga. Di sana, gue nggak tahu bakal menemukan apa. Tapi di sini, dengan melihat deburan ombak yang tenang, gue menemukan diri gue tiba-tiba baik-baik saja. Laut itu, sebuah mahakarya, hadiah dari Tuhan untuk kita." Jeno memaparkan. "Dari yang aku tangkap, kamu suka laut karena deburan ombak itu," laki-laki itu menunjuk jauh ke sana, "membuat kamu merasa tenang, 'kan?"Deburan ombak, membuat Tara merasa tenang.Iya, debur ombak memang selalu membuatnya Tenang. Sejenak, Tara melupakan bahwa dia menyukai laut karena baginya; hidup terlalu pelik dan curut-marut.Selesai menyantap mi ayam- karena cuaca sangat mendukung Tara mengiyakan saja padahal ti
"Apa yang mereka lakuin di sana?" "Mereka makan mi ayam di sebuah kedai, Pak," jawab seseorang dari seberang panggilan. Juna meremas ponselnya agak kuat. Laki-laki itu mengeram rendah sebelum akhirnya berkata kepada laki-laki di seberang panggilan untuk terus mengikuti kemana arah perginya dua anak manusia itu, Tara dan Jeno. Ya, Juna memutuskan untuk menyewa orang buat mengikuti Tara kemana-mana. Mendengar Tara keluar bersama Jeno, dengan perjalanan kurang lebih 2 jam dari ibukota membuat emosi Juna kontan menggebu-gebu. Bayangkan saja, Tara tak menerima teleponnya dan tak pernah membaca pesan darinya. Tapi di hari Minggu ini, gadis itu malah jalan-jalan dengan laki-laki lain. Juna hampir saja membanting ponselnya saat sebuah pesan masuk, membuatnya urung melempar ponsel mahal itu menjadi beberapa pecahan. Orang tadi
"Udah?" Tara hanya mengangguk mendengar pertanyaan Jeno. "Cus! Berangkat, ya, Om!" kata Jeno sambil melambai, Tara juga. Lalu Somad (nama motor Vespa Jeno) melaju pelan keluar dari pekarangan Keluarga Taharja. Sebenarnya Tara masih kebingungan. Soalnya Jeno sama sekali enggak bilang mereka mau pergi kemana. Laki-laki itu cuma datang dan Tara juga sudah siap-siap karena dipaksa bergerak cepat sama ayah dan kakaknya. Bahkan, ayahnya yang menyiapkan bekal mereka. Kalau melihat bekal yang dibawakan oleh Taharja sih, kayaknya mereka mau piknik. Terka Tara dalam hati. "Jen," panggilnya. Namun Jeno tak urung menjawab. "Jeno!" "Heh—eh, apa?!" tanya Jeno dengan sedikit berteriak, lalu kepalanya agak menoleh ke belakang sekilas. "Udah liatin jalan aja, nanti kecelakaan 'kan gak lucu!"
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Nyonya, ada tamu," kata seorang pelayan.Tiffany menoleh sebentar. "Oh ya? Siapa namanya?""Nona Satara."Lalu setelah mendengar hal itu, Tiffany segera beranjak diri dari bathtub. Wanita itu meraih handuknya dan memakai benda itu secara gusar."Siapkan teh chamomile dan cemilan kecil," titahnya. "Saya mau ganti baju dulu.""Baik.""Jadi, apa lagi tujuan kamu menemui saya?" Tiffany datang dengan pakaian santai yang namun, terlihat masih mahal. "Nggak ada janjian lagi. Kamu tahu, itu nggak sopan namanya.""M-maaf." gumam gadis itu sambil menatap teh yang disediakan oleh para pelayan mulai mendingin."Kalau ngobrol, tatap lawan bicaramu." Tiffany berkata tegas.Mata Tara berlarian, lalu pelan menatap wanita itu. "Maaf." Maaf lagi katanya.
"Teressa adalah mama saya." Gadis itu menatap tajam. Wajahnya yang awalnya terkesan polos dan naif tiba-tiba berubah jadi agak tidak menyenangkan untuk dipandang. Setidaknya bagi Tiffany.Namun, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Suara tepuk tangan terdengar agak keras hingga pengunjung lain berusaha mencuri-curi pandang ke arah mereka. Tiffany bertepuk tiga kali."Marvelous." katanya sambil tersenyum lebar. Tapi benar, Tara bisa menemukan sesuatu yang berbeda dari sinar matanya. Seperti sinar campur aduk antara benci, cinta, cemooh dan rindu. Seperti tatapan seorang ibu yang mengutuk anaknya secara terpaksa."Saya nggak menyangka dunia memang selebar daun kelor. Sebab saya terlalu sering berkeliling dunia, dan nyatanya dunia itu lebar. Tapi begitu saya menyadari bertemu 'cucu saya' di sini, dunia tiba-tiba menyempit." Tiffany terbahak. Dengan gaya sosialita kelas atas, wanita itu mengusap