"kabar buruk apa Mas?" tanyaku dengan khawatir.
"Mungkin kamu akan terkejut," ujarnya sambil menunduk. "Apaan sih, ngomong dong Mas," ujarku penasaran. "Aku mendapat kabar kalau Soraya mengalami tabrakan bersama sopir Dan pengacaranya ketika mereka kembali dari kantor polisi, sore tadi," jawab Mas Rafiq. "Nggak mungkin, masa sih Mas?" "Ya, bahkan ceritanya pun masuk koran dan media online kalau nggak percaya lihat aja bawa anak seorang pengasuh pondok pesantren terkenal mengalami kecelakaan," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya. Kuambil ponsel dari tangan Mas Rafiq lalu melihat portal berita online yang menyajikan berita yang terjadi pagi hari ini. Setelah kubaca, ternyata benar bahwa korbannya adalah Soraya Hamid beserta 2 orang penumpang lainnya. "Kok bisa ya Mas?" Aku masih terkejut dan tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi ini. "Katanya sih mobilnya terlalu mengebut di jalan tol, lalu ketika ingin ingin menghindari mobil yang ada di depannya sopir kehilangan kendali dan menabrak pembatas jalan kemudian mobilnya melayang hingga terjatuh dalam posisi terbalik." "Lalu bagaimana keadaannya sekarang,?", Lanjutku. "Menurut cerita yang aku dengar wanita itu mengalami patah tangan dan kaki juga cedera di bagian kepala." "Astaghfirullah, Mas. Berarti kecelakaannya lumayan parah ya?" "Kurasa begitu." Dari rentetan kejadian yang pernah terjadi dan begitu banyak cerita hidup Soraya, aku tidak menyangka bahwa akhirnya akan seperti ini. Aku tak tahu sebanyak apa kesalahannya selama ini, namun, mungkin Tuhan ingin memberinya sebuah pelajaran dari musibah yang menimpanya. Ada rasa miris sekaligus iba juga mendengar bahwa dia harus mengalami kejadian menyakitkan itu, bisa dibayangkan bagaimana ia menjerit dan menangis, menahan rasa sakit dan pedih akibat cidera. "Jadi di mana dia dirawat sekarang Mas?" "Kamu tidak perlu tahu tidak penting juga untuk pergi menjenguk dan melihat wanita itu." "Tapi ...." "Ingat, dia pernah begitu menyakitimu Jannah, Andai Wira tidak melindungimu mungkin sekarang kamu yang sedang mengalami luka akibat siraman air keras," pungkas mantan suamiku itu. "Iya sih, Mas ... tapi ...." "Kedatanganmu akan membuat orang tuanya murka dan mereka bisa jadi akan menyalahkanmu atas musibah yang menimpa anak mereka." "Itu bukan salahku Mas." "Karena itulah, kamu kan tidak bersalah, jadi jangan terlibat lagi dengannya." Setelah mengobrol beberapa saat dan Mas Raffiq bercengkrama dengan kedua anakku, mantan suamiku itu mohon diri untuk pamit pulang karena hari sudah malam. Aku pun mengizinkan dan mengantarnya sampai ke depan pintu utama hingga mobilnya menghilang dari depan rumahku. ** Matahari seakan tidak pernah absen menyapa penduduk bumi, setiap pagi kedatangannya menghangatkan suasana dan menerangi semua sudut alam raya ini. Begitupun aku yang telah bersiap-siap untuk pergi bekerja. Setelah Kuperiksa pesan yang masuk ke ponsel ternyata ada pesan dari komisaris polisi bahwa investigasi tentang Soraya akan dilanjutkan ketika keadaan wanita itu membaik, sehingga penyelidikan atas kasus ini untuk sementara akan ditunda. "Baik tak mengapa, kita akan ikuti arah takdir ini sesuai dengan kehendak Allah," gumamku sendiri. * Ketika hendak menyalakan mesin mobil tiba-tiba ada seseorang yang menelpon, kusibak resleting tas untuk meraih benda pipih itu. Lalu menggeser layar untuk bicara. "Halo, Rina, ada apa?" "Mbak segera ke toko deh karena Mbak kedatangan tamu," jawabnya. "Siapa?" Aku mulai penasaran. "Nyonya Zahrina," bisiknya. "Ngapaian?" Aku tidak sanggup menyembunyikan rasa penasaran. "Nggak tahu katanya mau bicara sama mbak Jannah." Dia berbisik dan membuatku semakin berdebar-debar saja. "Oke kalau begitu aku ke sana ya," jawabku. Setelah berkendara selama dua puluh menit dengan hati berdebar-debar tidak karuan membayangkan apa yang dia katakan kepadaku akhirnya aku sampai di depan store butik milikku. Kumatikan mobil dan langsung menemui Ibunda Wira di masa ruang tamu tokoku. "Selamat pagi Nyonya." Aku menyapanya lalu mengambil tempat duduk tepat berhadapan dengan wanita bergaya elegan tersebut. "Selamat pagi, Mbak." tidak biasanya dia memanggilku dengan kalimat Mbak biasanya dia memanggilku dengan kata Jeng atau sapaan hangat lainnya. "Apa kabar, boleh saya tahu ada apa Nyonya Zahrina mencari saya ke toko?" Tak segera mengatakan maksud kedatangannya, Nyonya Zahrina sempat menunduk sebentar kemudian mengangkat wajahnya lalu menatapku lekat-lekat. "Kira-kira jika terjadi hal itu kepada anakmu apa yang akan kamu lakukan demi kebahagiaannya?" Tatapan matanya begitu menyiratkan sebuah harapan juga sorot kebingungan yang sulit dijelaskan. "Apa yang harus aku katakan kepadamu, Nyonya?" Tanyaku dengan suara yang tercepat. "Aku tahu, sekali saja kau mengatakan iya kepada dokter itu, kalian bisa menikah kapan saja, bahkan esok hari, tapi bagaimana dengan Wira?" Kali ini bibir wanita yang selalu tampil cantik dan bergaya itu nampak bergetar. "Wira ... Dia yang menyuruhku untuk menjauhinya," jawabku pelan. "Dia memintamu untuk menjauhinya karena dia tahu diri bahwa dia tidak sesempurna dulu untuk bisa bersamamu, anakku minder, Jannah, tapi hatinya terluka!" Nada wanita itu amat emosional. "Lalu apa yang Nyonya inginkan? Apa yang harus aku lakukan?" "Setidaknya jangan lari dari tanggung jawab seperti ini," ungkapnya sambil menyeka sudut mata, "anakku berjuang sendiri dalam kesakitan dan luka yang pedih, kini kau sekolah menyiramkan garam di atas luka anakku dengan pergi meninggalkannya begitu saja." "Ak-aku tidak bermaksud begitu," jawabku. "Tapi kau sudah melakukannya! kau membunuh semua harapan anakku, apa kau pikir ini perbuatan yang bijak?" "Dia memaksaku untuk pergi Nyonya," sanggahku. "Dia juga memaksaku untuk memaafkanmu tapi aku tahu putraku sangat menderita dan itu semua karena kamu!" tudingnya dengan emosi sambil menunjuk kepadaku. "Maaf ... Maafkan aku ... Aku tidak bisa memaksa Wira agar aku tak berada disampingnya karena dia sendiri menolak keberadaanku," jawabku. "Tapi ini tidak adil baginya!" Wanita itu seketika berdiri dan meradang dia mengambil vas bunga yang ada di atas meja lalu melemparnya ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Nyonya tolong tenangkan diri, Nyonya," bujukku. Namun, wanita itu terlanjur meradang ia menghampiri dan menarik-narik bahu pakaianku juga jilbab yang melingkari kepala dan leherku, Aku gelagapan dan sulit bernapas. Bukannya tak bisa melawannya tapi aku menghargai persahabatan kami dan menghargai bahwa dia lebih dewasa dariku. "Nyonya, kendalikan dirimu, ini salah," kataku sambil berusaha menjauhi tangannya. Suasana toko yang sepi karena masih pagi dan saat itu hanya ada Rina, kebetulan dia pun sedang di gudang belakang, jadi tak satupun ada orang datang untuk menolongku dan melerai kami. Dia mendorongku sedang aku menahan tangannya agar tak sampai aku terjatuh menabrak pot bunga besar di sudur ruangan. "Hentikan ini!" Mas Rafiq tiba tiba hadir dan melerai kami. "Oh, dewa penyelamat selalu datang di waktu yang tepat, entah mengapa kau selalu hadir di mana saja Jannah berada, dan selalu tahu waktu yang tepat untuk menyela" desis wanita itu terengah-engah sambil menahan emosinya. "Apa yang Anda lakukan?" "Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan! Kenapa emangnya ada masalah denganmu?!" Wanita itu menyeringai sambil mendelik, aku tahu dia saat ini benar-benar emosi. Tak lama kemudian Paman Wira juga datang dan merangsek ke dalam ruang tamu tokoh ini mereka juga kaget mendapati posisi kami yang sudah berantakan dan dia seolah menangkap bahwa saat ini kami sedang bertengkar. "Mbak Zahrina, ini tidak baik, ayo pergi, kami sudah berfirasat buruk ketika kau mengatakan ingin menemui mbak Jannah," ujarnya sambil meraih kakaknya itu. "Jannah, maafkan aku dan kakakku," katanya sambil menangkupkan tangan di depan dada. "Kau bersikap seolah-olah kau akan menjadi suami Jannah!" Teriakknya meradang. "Memang aku akan menikahinya! memangnya masalah untukmu!" Balas Mas Rafiq membuat wanita itu langsung sesak di dada nyaris pingsan karena tak sanggup menahan emosinya. "Mbak Jannah, tunggu! Tolong hentikan keributan ini." Tiba tiba Rina dan Rudi datang pada kami dengan wajah gugup. "Ada apa?" "Mbak Soraya katanya jatuh koma!" "Apa?!" Ya Allah, haruskah ini masih terhubung denganku, aku harus melepaskan diri dari mereka semua dan melanjutkan hidupku. Harus!"Apa hubungannya denganku andai soraya koma atau mati sekalipun?" tanyaku.Mereka yang mendengar ungkapan itu seketika menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan wajah dan ekspresi terbelalak."Ta-tapi, orang tuanya menyalahkan Mbak Jannah," ujar Rina."Aku tidak peduli,anaknya juga hidupku menderita dan suamiku sampai meninggal dunia,Aku ingin melihat kembali ekspresi wajah ustadz Hamid yang datang untuk menuntutku," jawabku sengit.Mereka terkesiap bukan main selama ini mereka tahu bahwa aku wanita yang lembut berhati luas dan selalu mengalah, tapi tidak untuk sekarang ini. Aku lelah menjadi putri yang baik hati, sesekali Aku pun ingin menjadi penyihir jahat demi keselamatan dan kepentingan hidupku juga."Aku akan hidupku atau menikah dengan siapa saja yang aku inginkan, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang tidak aku lakukan, dan aku tidak akan menolong orang yang tidak tahu diuntung lagi, maaf," ujarku sambil menangkupkan kedua belah tangan dan meninggalkan tempat itu.
Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria."Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku."Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku."Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku."Ada Mas," jawabku pelan."Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat."Iya, tapi ....""Kenapa?" Dia menangkap keraguanku."Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya."Kenapa?"Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami." Ehem, kamu ada di sini?""I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq."Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak."Oh,
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinyaSeperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku.Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku. Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan.Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku y
"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."Ia menahanku dalam pelukan."Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang."Tidak, kamu hanya akan jadi milikku.""Orang orang melihat kita," bisikku."Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu."Jannah, boleh aku bicara," bisiknya."Ya, tapi lepaskan aku."Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku."Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa
Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun
Ponselku berdering ketika aku hampir merebahkan tubuh di pembaringan"Selamat malam, kamu lagi apa?" Dia menelpon dan menanyakan hal itu."Selamat malam, mau tidur." "Soal siang tadi, maaf aku tidak bisa mengantarnya secara langsung dan formal, maafkan aku ya," ujarnya memaksudkan beberapa barang yang dia beli untuk seserahan, dia juga memintaku untuk memilih seperti apa kain dan corak yang kuinginkan lalu mengirim contoh perhiasan, tas dan sepatu untuk kupakai di hari akad nanti."Gak apa- apa, aku belum mau tidur, kamu sendiri sedang apa?""Gak ada, aku di rumah aja," balasnya."Ya udah kalo gitu kamu tidur aja, aku juga mau tidurkan anak-anak dulu," balasku."Ya udah, selamat istirahat aja, daaah."Kuletakkan ponsel di nakas dekat tempat tidur lalu merebahkan di kasur, namun tiba-tiba, pintu diketuk, dan Raisa datang memanggilku."Bunda ... Bunda sudah belikan aku krayon dan palet untuk lukisan yang baru?""Maaf ... Bunda lupa, Nak.""Yah ... Bunda, benda itu harus dibawa besok ke
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi