"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya.
"Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya." "Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu. "Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan. "Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi. "Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq." "Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?" "Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan. "Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?" "Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara." "Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah. "Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-matian membela Soraya dan berusaha meyakinkan bahwa gadis itu tidak sengaja menyerang kami." "Apakah ada bukti bahwa saat itu gadis itu sedang tidak sadar mabuk atau mengigau contohnya, tidak kan, Nduk?" "Aku tak tahu, dan tidak mengerti Bu." "Maka, kau harus berusaha sekuat mungkin agar keadilan bisa ditegakkan dan gadis itu bisa mendapatkan hukumannya," ujar ibu dengan nada prihatin. "Iya Bu mudah-mudahan suatu saat gadis itu bisa mendapatkan pelajaran berharga," jawabku sambil menyelipkan sedikit harapan. "Lalu, bagaimana dengan Wira?" tiba-tiba Ibu bertanya tentang pemuda yang sudah menyuruhku untuk tidak lagi mendekatinya itu. "Dia memutuskan agar pertunangan kami tidak lagi dilanjutkan, Bu." "Tpi itu mengherankan mengingat betapa kerasnya dia berjuang, betapa besar usaha dia untuk meyakinkan Bapakmu, apa mungkin dia menyerah begitu saja?" tanya ibu heran "Hal itu juga yang membuatku tidak mengerti, semoga aku bisa mendapatkan jawaban nantinya." "Ibu dan Bapak hanya berharap kau bisa segera mendapatkan jodohmu, pilihlah pria yang mencintaimu dan menyayangi Raisa dan Rayan, buat mereka merasa bahagia dan merasa dicintai seorang ayah, Nduk." "Insya Allah Bu, semoga Tuhan menjawab semua doa-doa kita." "Lalu bagaimana dengan usaha Dokter Rafiq?" "Entahlah, aku belum bisa menilai secara detail." Aku sedikit bingung arah pembicaraan itu. Aku dan ibunya memang sedekat itu, kami selalu bercerita dan aku membagi curahan hati. Wanita berhati lembut itu selalu menjadi pendengar yang baik dan memberi solusi-solusi yang menyejukkan hati, tidak heran masalah apa saja selalu aku ceritakan kepadanya. "Kalau begitu Ibu tutup dulu ya, karena harus menyiapkan makan siang untuk Bapakmu, kamu lanjutkan pekerjaan dan jaga dirimu baik-baik, salam untuk kedua cucuku," ujar Ibu menutup pembicaraannya. Ketika panggilan diakhiri, aku hanya mampu memejamkan mata sambil menyandarkan diri di dinding dekat jendela, kuletakkan ponsel itu di dada membayangkan seolah keberadaan ibu ada di depanku, seolah semuanya baik baik saja. Andai pilihan tidak serumit ini, aku tentu akan mudah menentukan kemana arah hidupku di masa depan nanti. Kepada siapa aku akan melabubkan hati dan membagi sisa hidup ini. Namun apa yang terjadi saat pikiran membuatku gamang, memilih antara Mas Raffiq dan Wira membuatku bingung karena kedua pria itu mereka memiliki keutamaan dan kebaikan masing-masing, sementara aku tidak bisa membuang satu dan memilih yang lain, atau ... mustahil untuk menjadikan kedua-duanya sebagai suami, itu gila! * Setelah menutup toko seperti biasa, aku kemudian meluncurkan mobil untuk kembali ke rumah. Sempat mampir di kedai martabak dan dimsum kesukaan Raisa, lalu membelinya dan kembali mengemudikan mobil membelah keramaian senja untuk pulang. "Assalamualaikm ...." sapaku ketika membuka pintu utama. "Wa'alaikumsalam," kata asisten dan kedua anakku langsung menyambutku dengan senyum dan tawa gembira mereka. "Du-dunda ...." ucap si Bungsu sembari memeluk dan mencium pipiku. "Lihat, Bunda bawakan martabak dan dimsum kesukaan kalian," ucapku sambil memperlihatkan plastik berisi makanan kesukaan mereka. Aku kemudian duduk di karpet yang menghampar di depan tivi, lalu membuka makanan yang kubawa dan menikmatinya berempat dengan asisten rumah tangga kami, sambil mengobrol dan bercanda tawa. "Bunda ... Bunda senang ya, kita berkumpul seperti ini?" tanya Raisa. "Tentu saja Nak, apa yang lebih membahagiakan, selain saat kita berkumpul bersama keluarga." "Akan lebih bahagia lagi, jika Om Rafik ada di antara kita Bunda," cetusnya dengan santai. Aku dan si Bibi saling memandang kemudian melemparkan senyum kepadanya. "Mungkin Bunda perlu waktu untuk memikirkan semua itu," jawabku. "Rayan sudah lama merindukan ayahnya dan Raisa juga merindukan Om Rafiq yang baik hati. Dia sering mengajak Raisa bermain dan membimbing semua tugas rumah Raisa," jawabnya sedikit merajuk. "Iya Sayang, Bunda ngerti." "Bunda bisa kan, maafin Om Rafiq?" "Kita akan bicarakan itu nanti ya ...." "Kenapa Bunda selalu tidak ingin membicarakan itu?" desaknya. "Karena Bunda lelah dan mau istirahat," jawanku sambil tertawa. "Setelah selesai menikmati makan malam cucilah kaki dan tangan, lalu tidurlah ya Sayang, sedangkan bunda akan mengajak Rayan ke atas dan tidur," kataku sambil menggendong adiknya yang belum genap berusia 2 tahun, Rayan yang kugendong itu tertawa-tawa ketika aku mencium dan membelai pipinya. ** [Wira, apa kabarmu? ] sengaja aku kirim pesan itu agar tidak terkesan bahwa aku aku dan bahagia atas penderitaan nya. [Aku baik Mbak] Tak menunggu waktu lama balasan darinya segera masuk kedalam ponselku. [Bagaimana dengan lukamu apakah masih terasa pedih dan sakit?] [Luka masih terasa sakit, tapi percayalah aku bisa menghadapi semuanya.] Balasnya dengan emoji senyum. [Maaf ya, aku tidak bisa mendampingimu di masa sulit] [Mengapa ketika Mbak Jannah mengirimkan pesan teks, aku merasa menyesal berkali-kali lipat dari sebelumnya] [Kenapa?] Tanyaku dengan perasaan tidak enak. [Aku merasa bodoh telah mencintaimu Mbak, aku merasa membuang waktuku untuk mengejarmu, tapi kemudian aku bahagia karena setidaknya aku sudah tahu seperti apa perasaanmu terhadap diriku] Pernyataan jujurnya membuatku merasa sedih sekaligus menyesali diri sendiri. Andai bisa memilih untuk mengulang waktu, tentu aku ingin bisa mengenalnya lebih dekat sebelum dia melamarku, agar aku tahu bahwa ia tulus dan niatnya tidak untuk mempermainkanku [Maafkan aku, kukira mungkin kedatanganmu bukan waktu yang tepat untuk kita] [Tepat atau tidak tepatnya waktu, kita sendiri yang menentukan untuk berbahagia atau tidak, Mbak] [Aku minta maaf karena tidak bisa mendukungmu dan merawatnya saat ini] [Aku tahu kau wanita yang baik, kamu berhak bahagia bersama orang yang kamu cintai, kamu berhak menikmati hidupmu bersama kedua anakmu dan tenang selamanya, kurasa kembali kepada Dokter tampan itu bukanlah pilihan yang buruk, Mbak Jannah] [Tapi ....] [Aku rasa anak-anakmu akan bahagia dengan pilihanmu itu, karena dokter Rafiq adalah ayah kandung Rayan dan Raisa juga menyayanginya] [Dari mana kamu tahu kalo Raisa sangat menyayangi Dokter Rafiq? ] [Dia sendiri yang mengatakan bahwa mustahil untuk seseorang menggantikan tepat Dokter Rafiq sebagai figur Ayah untuknya, kecuali Ayah kandungnya sendiri, dan aku merasa mungkin benar juga. Jika aku memaksa untuk menjadi ayah tiri mereka, mungkin mereka akan tertekan dan tidak bahagia ]suaranya terdengar sangat sedih seolah ada luka yang menganga dan begitu dalam di sana. [Maafkan aku ya, Wira, maaf untuk segalanya] ujarku sambil menghela nafas dan melonggarkan rasa tidak nyaman di dalam dada ini. [Aku hanya ingin kau tahu, bahwa ketika aku mengatakan aku mencintaimu, aku sungguh-sungguh dengan ucapan itu] Ucapan pemuda itu membuatku tiba-tiba merinding, sesaat hati ini bimbang dan berpikir bahwa aku akan berdosa ketika menyia-nyiakan perasaan tulusnya. [Wira aku merasa malu kepadamu] [Jangan berkata begitu, kamu berhak menentukan pilihanmu, Mbak. Sedang aku pun sudah menentukan pilihanku untuk tidak jadi meminangmu] ucapanmya yang terdengar berat. [Bolehkah aku bertanya sesuatu? ] [Ya, silakan] [Apakah kau sungguh mencintaiku?] [Aku mencintaimu dan setiap hari aku semakin mencintaimu. Tidak ada ruang di hati ini untuk menyimpan sebuah kebencian ataupun dendam karena aku tidak punya alasan untuk tidak mencintaimu, Mbak Jannah] [Maafkan aku, tidak bisa memahami itu] [Wajar, kamu tidak bisa memahaminya karena aku masih muda, sedangkan usiamu yang dewasa membuatmu merasa ragu kepada keseriusanku, iya kan Mbak? ] [Kumohon ...maafkan aku Wira] pintaku sambil mengusap airmata yang jatuh di pipi. [Yah, aku akan selalu memaafkanmu, Mbak Jannah. Pergi dan berbahagia bersama orang yang kamu cintai, sedang aku akan berbahagia menatapmu dari jauh] [Bagaimana dengan orang tuamu?] [Mereka menyesalkan karena aku terluka parah, tapi mereka juga lega karena aku tidak jadi mempersunting janda ] jawabnya sambil tertawa kecil, tentu saja aku pun ikut tertawa tapi sambil mengusap air mata. [Aku merasa buruk karena tidak bisa menebus kesalahanku] asa ragu itu masih tertinggal di dadaku. [Bisa saja dengan satu hal, berbahagialah dan pastikan dirimu selalu tersenyum dan tertawa setiap hari] [Terima kasih, telah memperhatikanku selama ini ] kirimku. [Sama-sama. Kamu memang wanita yang pantas untuk dicintai dan mendapatkan cinta terbaik ] ** "Bunda ... Om Rafiq datang," panggil Raisa dari bawah. "Oh, bentar ya, Bunda ganti baju dulu," jawabku. Setelah selesai mengganti pakaian dan memakai jilbab instan, kutemui Mas Rafiq yang sudah menunggu di ruang tengah. Senyum semringah tergambar di bibirnya ketika bertatapan denganku. "Kamu terlihat segar," ujarnya. "Alhamdulillah," jawabku sambil tertawa. "Aku bawa buah dan roti bakar, Apple pie kesukaan kalian," kata Mas Rafiq sambil menyodorkan paper bag sebuah restoran ternama. "Terima kasih atas perhatiannya, Mas," ungkapku ramah. "Aku melihatmu nampak bahagia hari ini, apa ini angin segar untuk kita berdua," tanyanya. "Mudah-mudahan," jawabku yang sukses menciptakan raut bahagia di wajah mantan suamiku itu. "Oh ya, ada kabar buruk, Jannah," ujarnya. "Apa?" Next"kabar buruk apa Mas?" tanyaku dengan khawatir."Mungkin kamu akan terkejut," ujarnya sambil menunduk."Apaan sih, ngomong dong Mas," ujarku penasaran."Aku mendapat kabar kalau Soraya mengalami tabrakan bersama sopir Dan pengacaranya ketika mereka kembali dari kantor polisi, sore tadi," jawab Mas Rafiq."Nggak mungkin, masa sih Mas?""Ya, bahkan ceritanya pun masuk koran dan media online kalau nggak percaya lihat aja bawa anak seorang pengasuh pondok pesantren terkenal mengalami kecelakaan," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya.Kuambil ponsel dari tangan Mas Rafiq lalu melihat portal berita online yang menyajikan berita yang terjadi pagi hari ini. Setelah kubaca, ternyata benar bahwa korbannya adalah Soraya Hamid beserta 2 orang penumpang lainnya."Kok bisa ya Mas?"Aku masih terkejut dan tidak pernah menyangka apa yang akan terjadi ini."Katanya sih mobilnya terlalu mengebut di jalan tol, lalu ketika ingin ingin menghindari mobil yang ada di depannya sopir kehilangan kendali dan m
"Apa hubungannya denganku andai soraya koma atau mati sekalipun?" tanyaku.Mereka yang mendengar ungkapan itu seketika menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan wajah dan ekspresi terbelalak."Ta-tapi, orang tuanya menyalahkan Mbak Jannah," ujar Rina."Aku tidak peduli,anaknya juga hidupku menderita dan suamiku sampai meninggal dunia,Aku ingin melihat kembali ekspresi wajah ustadz Hamid yang datang untuk menuntutku," jawabku sengit.Mereka terkesiap bukan main selama ini mereka tahu bahwa aku wanita yang lembut berhati luas dan selalu mengalah, tapi tidak untuk sekarang ini. Aku lelah menjadi putri yang baik hati, sesekali Aku pun ingin menjadi penyihir jahat demi keselamatan dan kepentingan hidupku juga."Aku akan hidupku atau menikah dengan siapa saja yang aku inginkan, aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang tidak aku lakukan, dan aku tidak akan menolong orang yang tidak tahu diuntung lagi, maaf," ujarku sambil menangkupkan kedua belah tangan dan meninggalkan tempat itu.
Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria."Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku."Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku."Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku."Ada Mas," jawabku pelan."Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat."Iya, tapi ....""Kenapa?" Dia menangkap keraguanku."Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya."Kenapa?"Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami." Ehem, kamu ada di sini?""I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq."Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak."Oh,
Dua minggu berlalu setelah pertemuan terakhir Bapak dengan mas Rafiq hingga Aku tidak pernah lagi menemuinya atau dia yang datang ke rumahku, sesekali kami saling menelpon dan mengirimkan pesan namun tidak sesering dulu.Entah dia menyerah atau sibuk, jujur aku masih berharap dia datang dan semuanya kembali seperti semula. Ah, terkadang harapanku terlihat konyol, dan aku merutukinyaSeperti kegiatanku tiap hari setelah menyiapkan anak dan makanan, segera kuluncurkan kendaraan menuju pusat kota untuk membuka toko dan melanjutkan bisnisku.Kuparkirkan mobil di sebelah kiri toko di mana ada pohon teduh yang ketika musim hujan warna bunganya putih cantik melambai di jendela dan bertebaran di halaman storeku. Kulihat rollling door sudah dibuka artinya Rudi dan Rina sudah datang. Kualihkan pandangan ke meja kerja dimana biasanya asisten meletakkan to do list dan buku pesanan.Sebuah buket yang dipenuhi mawar cantik dilapisi dengan kertas berwarna fuchsia, letak cantik di atas meja, aku y
"Tidak, jangan lagi, Jannah, tidak ingin scene demi scene indah dalam hidup kita selalu disela oleh dokter itu."Ia menahanku dalam pelukan."Tolong lepaskan aku,", ujarku yang dipeluknya dari belakang."Tidak, kamu hanya akan jadi milikku.""Orang orang melihat kita," bisikku."Apa peduliku, yang aku pikirkan hanya kamu tiap waktu, bahkan aku tidak bisa tidur, semakin berusaha jauh darimu makin membuatku gila," bisiknya di telingaku.Pemuda ini punya cara berbeda membahasakan cintanya, dia spontan dan ala adanya, tidak perlu kejutan atau keromantisan, yah kutangkap di sini, dia hanya ingin memilikiku saja, dan tidak lebih dari itu."Jannah, boleh aku bicara," bisiknya."Ya, tapi lepaskan aku."Ia membalikkan badanku hingga tubuh dan wajah kami sejajar.Sesaat dia mengeluarkan sebentuk cincin lalu berlutut di hadapanku."Sudah lama aku ingin mengatakan ini, bahwa aku merindukanmu, aku memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa siapa, tapi aku memiliki hati yang mencintaimu tanpa
Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan."Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?""Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah."Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya.""Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!""Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujanmulai berjatuhan dan membasahi rambutnya."Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini.""Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku."Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpal
"Mana cincinnya?" ulangnya lagi memecah kebingunganku."Aku menyimpannya di rumah," jawabku cepat."Kenapa kamu menyimpannya di rumah, kenapa tidak dipakai saja, bukankah cincin itu adalah pengikat hubungan kita," ujarnya sambil sengaja menyentuhkan punggung tangannya ke tanganku."Eh, ehm, aku ....""Aku berharap cincin itu tidak hilang karena Aku membelinya dari uang tabungan itu sendiri," bisiknya sembari tersenyum."Ayo kita pergi," ajakku."Kau akan pergi ke toko?""Iya.""Maaf ya aku tidak bisa mengantarmu karena aku juga harus bekerja," ujarnya sedikit keras karena kami sama-sama berada di pintu mobil masing-masing."Kamu sudah mulai masuk kerja?""Iya,aku harus bekerja untuk menghadapi kenyataan dan juga menabung untuk membangun keluargaku," candanya sambil tersenyum penuh arti."Aku akan menjemputmu nanti sore dan kita akan pergi makan berdua, tapi pasti kan kalau memakai cincin mu," ujarnya lalu mobil itu meluncur pergi "Wira ... tapi ...." Ah, dia sudah pergi. Sedang aku m
Pukul empat lebih lima belas menit. Kutunggu kedatangan Wira ke toko untuk menjemputku. Rina dan Rudi sudah pulang duluan, dan aku menunggu di depan store yang telah kukunci. Menurut katanya kami akan pergi makan ke resto dipinggit kota yang terkenal dengan kelezatan makanan juga keindahan arsitekturnya yang instagramable.Cuaca dingin setelah hujan ditambah angin yang berembus membuatku terpaksa membenahi posisi mantel dan merapatkan resletingnya hingga ke leher. Kupegang tas di tangan kanan sedang tangan kiriku kumasukkan ke dalam kantung untuk menghangatkannya.Sepuluh menit, dua puluh menit, kutelpon nomornya tapi ia tak menjawab. Kuchat wa tidak dibaca, aku gusar namun berfikir positif saja mungkin dia terjebak macet dan tak mendengar kalo ponselnya berdering. Ata mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, ah, aku pusing.Sudah hampir jam lima dan dia belum kunjung datang. Lelah berdiri aku duduk di pelataran, namun dinginnya lantai membuatku tak betah hingga berdiri mematun