Aku pulang kerja dengan perasaan tak menentu setelah mendapatkan karangan bunga pagi tadi dan mendapati tatapan tidak menyenangkan dari banyak orang. Pikiranku terus bergelayu dan berputar di sana bagaimana agar aku bisa mengatasi semuanya dan menghilangkan stigma negatif yang sudah terlanjur melekat dalam diri ini. Demi Tuhan aku tidak bermaksud merebut suami orang, tapi arah takdir yang sudah membuatku berada di kehidupan poligami ini. Aku sungguh tidak sengaja melakukannya dan sudah berikhtiar untuk melupakan suamiku, tapi sepertinya kami tidak terpisahkan karena dia juga punya keinginan yang kuat untuk tetap bersamaku, bahkan rela memutuskan untuk meninggalkan istrinya.Jujur saja perasaanku masih saja tidak nyaman tentang perkara suami meninggalkan istrinya demi diriku. Haruskah aku merasa beruntung ataukah itu merupakan kutukan bagi rumah tanggaku yang selamanya akan merasa tidak nyaman karena dibangun atas air mata Mbak Aira. Ah, bisakah aku sejenak saja untuk bahagia. Toh ini
Menyaksikan istrinya yang pergi meninggalkan rumah kami dengan kaki yang berdarah-darah di mana itu tercetak di lantai, hatiku sangat miris dan merasa bersalah."Mas, susul Mbak Aira Mas, susul dia," ucapku sambil mengguncang lengan suamiku. Mas Tama yang masih berdiri dengan tatapan kosong terkejut dengan sentuhanku."Apa?""Susul Mas, Jangan sampai kita kehilangan perasaan dan seperti mati akal. Dia masih istrimu dan dia yang telah mendampingimu selama ini rasanya tidak adil semua perlakuan yang baru saja kau lakukan. Tolong Mas.""Kau ini bicara apa Raisa? Bukankah ini sangat aneh, apa kau tidak menginginkan aku?""Aku menginginkanmu Mas, tapi hal yang kamu lakukan pada Mbak Aira berlebihan. Tolong jangan kehilangan perasaan, pergi susul dia dan minta maaf, bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil sedikit mendorong tubuh suamiku.Mas Tama yang tidak punya pilihan akhirnya tergerak, dia mengambil sandal dan menyusul Mbak Aira keluar.Kuikuti juga langkah suamiku lalu aku menahan d
“Raisa, apa yang kau katakan?” sekali lagi Mas Tama mengulangi kata katanya.“Jangan temui aku lagi Mas, aku akan pulang ke rumah Bunda agar kau tak bisa menjumpaiku, aku akan berhenti menunggu dan berharap kau kembali padaku, Mas.”“Apa maksudmu, bukankah kita baru dua hari bersama setelah berhari hari tidak berjumpa?”"Aku mengatakan semua itu dengan jelas, Mas. Aku ingin kau fokus pada keluarga dan istrimu, aku ingin kalian bahagia dan hidup dengan damai, aku hanya benalu di antara hubungan kalian yang terjalin erat. Aku tidak akan bertahan dengan prinsip cinta lagi, selamat tinggal Mas." Kuajak bunda untuk meninggalkan tempat itu secepatnya, kugenggam tangan ibuku dengan erat, berharap aku mendaapatkan sedikit energi dan keberanian dari Bunda.“Kau yakin kau tak akan menyesal dengan keputusanmu?” tanya Ibunya Mbak Aira.“Tidak ada orang yang bahagia dengan perceraian, Bu, semua yang berpisah pasti galau dan sedih. Tapi tak perlu khawatir, Insya Allah, saya bisa mengatasi peras
*“Kamu yakin dengan keputusan ini, kamu gak gila kan saat memutuskan itu?” tanya teman kerjaku Vina saat kuberi tahu apa yang telah kuputuskan. Kuberi tahu dia saat keesokan harinya aku berangkat kerja dan menemuinya.“Entahlah…” Aku menggeleng lesu dan bingung.“Kayaknya kamu juga bingung, jangan plin-plan dong, sekalinya kembali, sekalinya cerai, dan yang terakhir ini agak berlebihan deh, kamu sampai ngembaliin suamimu ke aira.”“Aku bingung dan takut bahagia diatas luka orang lain. Aku takut kena karma dan azab Allah, VIn.”“Lho… memangnya nikah itu haram? nikah itu dosa? yang menakdirkan kamu berjodoh dengan Tama adalah Allah sendiri. Kok kamu jadi parno gak jelas gini, mana kamu lagi hamil lagi," ucap teman kerjaku dengan wajah prihatin,"… kok bisa kamu ngambil keputusan bodoh hanya karena drama ekstrem istri suamimu. Boleh jadi ia hanya pura-pura depresi untuk membuat tama bingung dan kasihan, juga menyudutkan perasaanmu agar terus merasa bersalah."“Entahlah….”“Entah apa kep
Aku terbangun saat azan subuh berkumandang, membuka mata dan menarik napas dalam, lalu meraih ponsel yang aku isi dayanya di meja dekat tempat tidur.Puluhan pesan dari Mas Tama masih menumpuk dan aku sama sekali enggan membalasnya, kalimatnya tetap saja sama minta maaf dan ingin agar kita kembali bersama. Aku bosan, kali berpisah dan sekali bersama sekali padaku lalu sekali memilih dirinya, aku seakan jalang yang takut kehilangan kenikmatan dari kejantanannya. Aku seperti pelakor yang tidak tahu malu masih saja bertahan dengan penghianat yang modalnya hanya modus berbohong.Bukan berlebihan jika menyebut diri serendah itu tapi sepertinya pandangan orang-orang sudah terlanjur menatapku demikian. Meski berkali-kali kukatakan bahwa aku tidak bersalah tetap saja stigma itu melihat bahwa akulah yang paling bersalah. Pelakor rendahan, astagfirullah.Baiklah, skip.Kubersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri, tempat pukul 06.30 dari depan rumah terdengar suara klakson mobi
"Gak usah Har ,aku aja yang atasi masalahku sendiiri,' cegahku, tapi hari sudah bergerak keluar dan bersiap menghadapi Mas tama yang sudah keluar juga dari mobilnya.Kedua pria itu bertemu dengan wajah yang sama-sama tegang, mereka berdiri dengan posisi sejajar dan sama sama beradu pandangan dengan serius. Nampaknya Mas tama sangat tidak suka dengan gestur yang ditunjukkan Haris di depannya. Temanku yang merupakan perawat senior di ugd itu, juga tak mau diintimidasi oleh suamiku.“Ada apa ya, terus membunyikan klakson dan mengganggu?” tanya Haris dengan wajah serius. “Istri saya … turunkan dia dari mobilmu,” perintahya dengan wajah penuh ketidak senangan.“Kami hanya berangkat kerja bersama, apa itu masalah, lagipula Raisa sendiri juga tampaknya enggan turun dari mobil saja.”“Apa maksudmu?” Mas tama sedikt maju dan bersiap menabrak dada temanku Haris, tapi aku yang segera menyadari bahwa pertemuan itu akan jadi potensi keributan segera turun dan melerai.“Cukup Mas, ada apa denganm
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun