“Raisa, apa yang kau katakan?” sekali lagi Mas Tama mengulangi kata katanya.“Jangan temui aku lagi Mas, aku akan pulang ke rumah Bunda agar kau tak bisa menjumpaiku, aku akan berhenti menunggu dan berharap kau kembali padaku, Mas.”“Apa maksudmu, bukankah kita baru dua hari bersama setelah berhari hari tidak berjumpa?”"Aku mengatakan semua itu dengan jelas, Mas. Aku ingin kau fokus pada keluarga dan istrimu, aku ingin kalian bahagia dan hidup dengan damai, aku hanya benalu di antara hubungan kalian yang terjalin erat. Aku tidak akan bertahan dengan prinsip cinta lagi, selamat tinggal Mas." Kuajak bunda untuk meninggalkan tempat itu secepatnya, kugenggam tangan ibuku dengan erat, berharap aku mendaapatkan sedikit energi dan keberanian dari Bunda.“Kau yakin kau tak akan menyesal dengan keputusanmu?” tanya Ibunya Mbak Aira.“Tidak ada orang yang bahagia dengan perceraian, Bu, semua yang berpisah pasti galau dan sedih. Tapi tak perlu khawatir, Insya Allah, saya bisa mengatasi peras
*“Kamu yakin dengan keputusan ini, kamu gak gila kan saat memutuskan itu?” tanya teman kerjaku Vina saat kuberi tahu apa yang telah kuputuskan. Kuberi tahu dia saat keesokan harinya aku berangkat kerja dan menemuinya.“Entahlah…” Aku menggeleng lesu dan bingung.“Kayaknya kamu juga bingung, jangan plin-plan dong, sekalinya kembali, sekalinya cerai, dan yang terakhir ini agak berlebihan deh, kamu sampai ngembaliin suamimu ke aira.”“Aku bingung dan takut bahagia diatas luka orang lain. Aku takut kena karma dan azab Allah, VIn.”“Lho… memangnya nikah itu haram? nikah itu dosa? yang menakdirkan kamu berjodoh dengan Tama adalah Allah sendiri. Kok kamu jadi parno gak jelas gini, mana kamu lagi hamil lagi," ucap teman kerjaku dengan wajah prihatin,"… kok bisa kamu ngambil keputusan bodoh hanya karena drama ekstrem istri suamimu. Boleh jadi ia hanya pura-pura depresi untuk membuat tama bingung dan kasihan, juga menyudutkan perasaanmu agar terus merasa bersalah."“Entahlah….”“Entah apa kep
Aku terbangun saat azan subuh berkumandang, membuka mata dan menarik napas dalam, lalu meraih ponsel yang aku isi dayanya di meja dekat tempat tidur.Puluhan pesan dari Mas Tama masih menumpuk dan aku sama sekali enggan membalasnya, kalimatnya tetap saja sama minta maaf dan ingin agar kita kembali bersama. Aku bosan, kali berpisah dan sekali bersama sekali padaku lalu sekali memilih dirinya, aku seakan jalang yang takut kehilangan kenikmatan dari kejantanannya. Aku seperti pelakor yang tidak tahu malu masih saja bertahan dengan penghianat yang modalnya hanya modus berbohong.Bukan berlebihan jika menyebut diri serendah itu tapi sepertinya pandangan orang-orang sudah terlanjur menatapku demikian. Meski berkali-kali kukatakan bahwa aku tidak bersalah tetap saja stigma itu melihat bahwa akulah yang paling bersalah. Pelakor rendahan, astagfirullah.Baiklah, skip.Kubersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri, tempat pukul 06.30 dari depan rumah terdengar suara klakson mobi
"Gak usah Har ,aku aja yang atasi masalahku sendiiri,' cegahku, tapi hari sudah bergerak keluar dan bersiap menghadapi Mas tama yang sudah keluar juga dari mobilnya.Kedua pria itu bertemu dengan wajah yang sama-sama tegang, mereka berdiri dengan posisi sejajar dan sama sama beradu pandangan dengan serius. Nampaknya Mas tama sangat tidak suka dengan gestur yang ditunjukkan Haris di depannya. Temanku yang merupakan perawat senior di ugd itu, juga tak mau diintimidasi oleh suamiku.“Ada apa ya, terus membunyikan klakson dan mengganggu?” tanya Haris dengan wajah serius. “Istri saya … turunkan dia dari mobilmu,” perintahya dengan wajah penuh ketidak senangan.“Kami hanya berangkat kerja bersama, apa itu masalah, lagipula Raisa sendiri juga tampaknya enggan turun dari mobil saja.”“Apa maksudmu?” Mas tama sedikt maju dan bersiap menabrak dada temanku Haris, tapi aku yang segera menyadari bahwa pertemuan itu akan jadi potensi keributan segera turun dan melerai.“Cukup Mas, ada apa denganm
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais