Alula hanya bisa pasrah saat sang calon suami direbut saudara tirinya tersebab sebuah kesalahan masa lalu orang tuanya. Sakit hati atau mengamuk pun percuma karena pernikahan sudah terlaksana. Hidup sedang susah-susahnya move on, bukannya pria rupawan nan kaya raya seperti di cerita novel yang datang menawarkan rasa. Eh, yang menyukainya justru dosen tonggos, culun, dan buruk rupa. Bagaimana kelanjutan hidup Alula? Menerima uluran rasa dosen itu atau kembali pada mantan yang juga masih sangat mencintainya?
Lihat lebih banyak"Aku menginginkan Bang Yongki, calon suamimu, La!" Aruni menatap nyalang pada Alula.
“A-pa maksudmu, Run?” Alula tergemap dengan pernyataan Aruni, saudara tirinya.
“Batalkan pernikahanmu atau aku akan mengakhiri hidup!” Dengan napas memburu, Aruni siap menggoreskan pisau di pergelangan tangan.
“Run-Runi, jangan! Apa yang kamu lakukan!” Alula berteriak sambil mendekat.
“Sst, diam! Jangan berteriak apalagi mendekat!” Aruni menempelkan pisau di bibirnya.
“Runi, jangan berbuat nekat kayak gitu. Tenang, oke?” Alula terus mencoba mendekat, tetapi Aruni bergerak mundur.
“Diam di tempat, La! Atau aku benar-benar akan menggoreskan pisau ini ke tanganku dan aku akan mengaku kamulah yang menyakitiku.”
“Run, kita bicara baik-baik. Ada apa ini sebenarnya? Aku nggak ngerti. Kenapa kamu tiba-tiba datang minta Mas Yongki?”
“Pergilah dari sini sejauh-jauhnya malam ini juga! Biar aku yang besok menggantikanmu menjadi pengantin wanita untuk Bang Yongki.” Aruni berbicara dengan mata membola.
Alula diam di tempat. Ia bingung harus berbuat apa. Pasalnya, beberapa jam lagi adalah hari bersejarah baginya. Di mana, ia akan dihalalkan dalam bingkai pernikahan oleh pria yang paling diinginkannya.
“Kenapa kamu lakuin ini, Run? Bo doh jika aku harus pergi di hari yang paling kutunggu.” Alula menggeleng.
“Berarti kamu harus siap disalahkan semua orang atau bahkan mendekam di penjara!” Aruni benar-benar menggoreskan piau di pergelangan tangan kirinya. Cairan merah menetes, menyusul setelahnya.
“Runi! Jangan!” Alula berteriak. Ia berlari menghampiri Aruni yang tangannya sudah berdarah.
“Aku bilang jangan teriak, Lula! Dan berhenti di situ!” Aruni ganti menodongkan pisau kepada Alula.
“Pergi sekarang dan jangan pamit kepada siapa pun. Asal kamu tahu, Alula. Ini sebagai pengobat sakit hati keluargaku atas apa yang sudah kamu dan ibumu lakukan. Agar kamu tahu bagaimana rasanya saat cintamu diambil dan direbut. Pergi dari sini! Aku tidak segan menyakiti diriku sendiri. Dan tidak menutup kemungkinan aku bisa menyakitimu!” bentak Aruni.
Alula memandang Aruni dengan mata berkaca-kaca.
Tadi, ada seseorang mengetuk pintu kamar kos-kosan Alula saat ia bersiap tidur. Begitu dibuka, Aruni langsung menyerobot masuk. Tidak disangka, ternyata Aruni malah mengancam dan menyuruh pergi sesuka hati. Sementara alasannya, lagi-lagi karena sakit hati di masa lalu.
“Apa aku nggak berhak bahagia, Run? Selama ini, aku nggak pernah mengusik kamu, nggak mengganggu keluarga kalian. Tapi apa? Kalianlah yang selalu mengusikku. Apa kalian tidak bisa membiarkanku hidup tenang?”
“Enggak! Karena kamu memang tidak berhak hidup enak apalagi hidup bahagia setelah apa yang kamu lakukan! Pergi kubilang sekarang, La! Mas Adi!” Aruni kembali berteriak memanggil kakaknya.
Tidak butuh waktu lama, Adi yang dipanggil datang, masuk ke kamar Alula. Pria itu mengikat pergelangan tangan Alula.
“Mas Adi, apa-apaan ini!” teriak Alula.
Adi tidak peduli. Selesai mengikat tangan Alula, pria itu juga menyumpal mulut Alula dan menalinya dengan kain. Kemudian, diseretnya wanita berhijab abu-abu itu keluar kos-kosan yang sudah sangat sepi. Tanpa banyak bicara, Alula dimasukkan ke dalam mobil.
Mobil itu melaju membawa Alula yang meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Entah akan dibawa ke mana.
“Adikku menginginkan calon suamimu, jadi aku akan mengabulkannya. Dan Alula, kamu harus mengalami semua ini,” desis Adi.
Cairan transparan meleleh di pipi Alula. Berteriak minta tolong pun percuma karena suaranya tidak akan keluar.
“Ibumu yang berbuat dosa dan kamu yang harus menebusnya seumur hidupmu,” ujar Adi lagi.
Jika boleh memilih, Alula ingin dilahirkan dari rahim wanita baik-baik. Namun, takdir berkehendak lain. Ia justru dilahirkan oleh wanita yang posisinya sebagai tokoh antagonis; istri kedua yang merusak kebahagiaan keluarga lain.
Ibu Alula meninggal saat ia baru lulus SD. Oleh sang bibi, Alula diantarkan ke rumah seorang pria yang disinyalir sebagai ayah biologisnya. Wajar jika keluarga sang ayah terkejut dan terjadi drama hingga istri sah ayahnya jatuh sakit karena syok sampai meninggal. Tidak ada yang mau menerima Alula termasuk ayahnya. Ia akhirnya ditempatkan di panti asuhan.
Jika noda pada baju bisa dengan mudah dibersihkan, noda suatu hubungan sampai kapan pun tidak bisa dihapus. Apalagi, nodanya nyata dan hidup, yakni berupa anak.
Alula tidak pernah meminta haknya sebagai anak. Ia bekerja keras sendiri untuk mencukupi hidup setelah dewasa. Hanya saja, saat menikah ia masih butuh sosok wali. Saat selangkah lagi ada pria yang membantu menopang masalahnya, berbagi peliknya beban hidupnya, keluarga dari pihak sang ayah kembali mengusik. Hukuman yang diterimanya sangat berat.
Tiba di jalanan sepi sebuah persawahan dan sangat jauh dari lokasi kos-kosan Alula, mobil berhenti. Dengan kasar, Alula didorong keluar hingga terjerembap di persawahan.
“Dengan tangan dan mulut terikat, akan dengan mudah orang atau binatang berbahaya menyakitimu. Berdoa saja semoga besok kamu masih hidup,”ujar Adi sambil tertawa.
“Ingat, Alula. Jangan sampai besok kamu datang ke pernikahanmu. Kalau kamu ingkar, aku bisa melakukan hal lebih buruk dari ini,” lanjut pria berusia 27 tahun tersebut.
Kemudian, Adi berlalu meninggalkan Alula yang tergeletak di pematang sawah.
“Bukankah seseorang menanggung dosanya sendiri? Lalu kenapa aku harus menanggung dosamu, Ibu!” Alula meronta dalam hati. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menangis.
Tidak lama kemudian, ada mobil dan sepeda motor yang melintas. Namun, mereka tidak menyadari keberadaan Alula yang posisinya di bawah jalan. Tubuh wanita itu makin lemas karena terus bergerak melepaskan diri. Namun, sia-sia belaka ia bisa bebas. Lama-lama, Alula menggigil kedinginan karena sawah penuh dengan lumpur. Hingga kemudian, ia tidak sadarkan diri.
**
Esok paginya, Yongki sudah siap dengan kemeja putih lengkap dengan dasi, jas, songkok, dan celana bahan berwarna hitam. Ia sudah siap berangkat menjemput Alula sebelum nanti bersama-sama ke KUA untuk melakukan ijab kabul.
Beberapa panggilan suara dan pesan yang dikirim Yongki kepada Alula tidak pernah sampai. Pria itu hanya tersenyum.
“Masih saja percaya yang namanya pingitan. Awas kamu nanti,” ujar Yongki sambil tersenyum setelah sekian banyak pesannya hanya ceklis satu.
“Setelah setahun meyakinkan kamu, akhirnya hari ini tiba. Bismillah, semoga semuanya dipermudah.” Yongki kembali bergumam sambil terpejam.
Yongki merupakan bos laundry di mana Alula bekerja sebagai tukang setrika di sela-sela kuliah. Bukan hanya karena wajah Alula yang cantik, pria itu salut melihat perjuangan Alula yang bekerja keras tidak hanya untuk biaya hidup, tetapi juga untuk kuliah, juga adik-adik pantinya.
Awalnya, Yongki meminta agar ijab kabul dilakukan di rumahnya saja. Namun, sang calon istri menolak dengan alasan tidak mau merepotkan. Apalagi, keluarga Yongki hanya setengah hati menerima Alula. Akhirnya, ijab kabul dilakukan di KUA.
Alula juga tidak mau melakukan ijab kabul di rumah ayahnya karena ayah dan saudara tirinya menolak. Pun menolak saat ijab kabul di panti karena tidak ingin merepotkan. Yongki hanya menurut saja. Untuk resepsi, dilakukan di kediaman Yongki seminggu setelahnya.
Berbagai cara dilakukan Yongki untuk meyakinkan keluarganya agar menerima Alula hingga akhirnya berhasil. Lalu kini, tinggal menunggu menit semua diyakini akan baik-baik saja.
“Ki, sudah siap?” Suara sang papa menginterupsi.
Yongki menoleh, lalu mengangguk. Ia lalu keluar kamar menuju mobil yang terparkir siap membawanya menuju kos-kosan menjemput Alula.
Di tengah jalan, ada telepon dari Adi. Yongki dan Adi memang sempat bertukar nomor telepon saat datang melamar Alula. Tanpa pikir panjang, Yongki mengangkatnya.
“Ki, ada kabar buruk. Alula nggak ada di kos-kosan!” ujar Adi dengan nada panik.
“Apa! Kok, bisa?”
“Tadi pagi saat perias datang, dia sudah nggak ada. Kami sekeluarga sudah mencari, tapi nggak ketemu. Ponsel dan semua barang pentingnya juga nggak ada. Aku rasa dia kabur.”
“Nggak mungkin dia kabur. Apa ada perampok?”
“Kalau perampok kurasa bukan karena kondisi kamar nggak berantakan. Aku ada usul, itu pun kalau kamu mau.”
“Apa? Lapor polisi?”
“Nggak mungkin juga kalau lapor polisi. Mustahil Alula ditemukan dalam waktu hanya hitungan menit.”
“Lalu?”
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen