"Beraninya kau!"Dia langsung berdiri dan mengambil tasnya."Lihatlah betapa kau tidak mampu mengendalikan dirimu, Mbak. Dulu ibuku juga korban poligami dari suaminya bahkan dia dimadu tanpa alasan dan ketika seorang suami membawa pulang pengantin baru ibuku tidak bersikap arogan sepertimu. Dia berusaha menerima wanita itu dan sabar atas semua tindakannya, Bunda adalah sosok wanita pemaaf yang ingin aku teladani. Kau ... pantas saja Mas Tama meninggalkanmu!""Beraninya kau ada di antara pernikahan dan rumah tangga kami!" Untungnya saat itu suasana cafe sedang lengang karena pengunjungnya hanya ada aku dan dia saja. Yang sedang mengelap-ngelap meja dan berdiri di depan mesin kasir melihat kami, tapi mereka tidak begitu terlalu peduli."Ini mungkin sudah takdir Tuhan. Tuhan mempertemukan dan penjodohkan kami itu artinya mungkin diri ini adalah jawaban dari doa-doa Mas Tama agar dia mendapatkan pasangan terbaik dalam hidupnya!" "Tetap saja aku adalah istri pertama dan yang pertama pasti
Pagi ini mendung begitu kelabu menutupi langit, semendung perasaanku yang sama sekali tidak menemukan alasan lagi untuk berdiri dan menjalani hidup ini.Meski hamil, kehadiran bayi ini tidak menggerakkan jiwa antusiasku sama sekali. Aku makin bermuram durja dan kian tenggelam dalam kesedihan. Tidak pernah lagi terukir senyum dalam tiap bait doa yang kuuntai ke hadapan Tuhan. Hanya rintihan dan air mata penyesalan mewarnai hari hari dan ibadahku. Sebenarnya aku tahu, Tuhan tak akan meletakkan beban di atas bahu yang salah, tapi kadang aku merasa aku tak layak untuk ujian ini. Aku terlampau rapuh untuk cobaan demikian berat. Ya Allah, aku ingin mati saja rasanya.*Kusiapkan kopi dan makanan di meja, setelah itu aku bersiap untuk berangkat kerja, kukenakan sepatu dan jilbab dengan benar.Saat hendak membuka pintu suamiku ternyata sudah bangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamar depan, dengan wajah yang masih mengantuk dia bertanya padaku, "Sudah mau berangkat?""Seperti yang kau lih
“Buktinya kau memindahkan semua foto pernikahan dan pernik yang jadi aksesoris rumah kalian, dan ya, juga foto pernikahan yang tadinya sangat menyakiti hatiku.rupanya, Tuhan tidak membiarkan diri ini terlalu lama dalam penyiksaan batin dan air mata. Doaku akan terkabul dengan berpisahnya kamu berdua dan kembalinya suamiku padaku. terima kasih ya Raisa.”“Sama sama.” aku membalas datar tanpa ekspresi karena sudah lelah dengan perdebatan yang akan menguras perasaan dan hatiku, terserah dia saja saat ingin menyakiti batin ini. Dia 5berha5kmarah meski sebenarnya sasaran kemarahan itu harusnya bukan aku saja.“Kalian bicaralah aku akan ke dalam untuk istrahat,”ucapku sambil menghela napas dan melangkah meninggalkan ruang tamu. Hatiku dongkol tidak terkira atas sikap semau maunya hati mbak aira untuk berkunjung ke rumah ini, melenggang santai seakan tempat ini adalah hak miliknya. sikapnya yang nyaman san sok santai membuatku makin tak betah dengan suami sendriri. andai bisa memilih, and
Aku mendongak dan menangis di hadapan suami, dia memandangku dengan iba, mendekat lalu membelai rambutku dan membawa kepala ini ke dalam pelukannya."Aku dilema di dalam situasi kita yang seperti ini Mas, sangat dilema," ucapku lirih, disela tangisku Mas Tama masih mengecup diri ini."Kita pasti bisa melewati, perlahan, Aira akan menerima hubungan ini," ucap Mas Tama."Tapi bagaimana Mas, Mbak aira masih tidak berubah sama sekali," jawabku pilu, ".... sudahlah, jangan bicara apa apa lagi. Kita bercerai saja.""Kamu pikir, jalan satu-satunya untuk kebahagiaan kita hanya bercerai? Kamu nggak mikirin perasaan aku dan bagaimana Aku berusaha untuk mempertahankan rumah tangga ini denganmu. Bahkan aku menghancurkan ekspektasi keluargaku.""Aku juga menghancurkan ekspektasi ayah dan bundaku yang masih menginginkan kebahagiaan dan berharap bahwa aku menikah dengan pria baik-baik. Mereka tidak pernah menyangka kalau aku akan mengalami nasib tragis diduakan suami.""Ya Tuhan, sayang, kenapa b
Aku terhenyak degan perlakuan kakak madu yang arogan, dia membalikkan botol selai tanpa ba,bi,bu, dan perasaan. Kalau dipikir apa kesalahan botol selai itu pada dirinya, haruskah ia memberiku pelajaran dengan cara menumpahkan makanan? aneh sekali.Segera kuambil serbet untuk mengelapi makanan manis yag tumpah ke meja, saat sibuk melakukan itu, suamiku lewat dan mnyambangi diri ini. Melihat botol selai yang berantakan dia seolah memahami bahwa sedang terjadi sesuatu.“Apakah kau baik-baik saja?'”“Kau tak penasaran ini perbuatan siapa?”“Maafkan ya….” wajah suamiku memelas, dia tahu itu perbuatan Mbak Aira. Parahnya, dia membelanya dan memintaku memaklumi. Ah, ya Allah, aku makin lelah."Ya, selalu aku yang akan mengalah dan disalahkan, jadi tolong lepaskan aku dari dilema ini, tolong ceraikan aku Mas." Air mataku jatuh begitu saja di pipi, Mas Tama hendak mendekatiku untuk menyeka mata ini, tapi Mbak Aira sudah berteriak dan memanggil suaminya dari mobil.“Aku pergi ya, aku bisa terla
Dua Minggu penuh air mata bergulir, itu bukan masa singkat yang bisa kunikmati dengan hanya melakukan rutinitas sehari-hari dan pergi bekerja tanpa memikirkan apapun.Ke mana-mana aku melangkah, aku selalu was-was akan bertemu dengan Mas Tama atau istrinya atau mungkin keluarga istrinya dan saudara Mbak Aira. Aku khawatir akan dihujat atau dihina jika berpapasan dengan mereka.Untuk pertama kalinya, hari ini aku menjejaki pengadilan agama untuk perkara cerai yang kutuntuy dari suamiku. Ironisnya, aku menuntut orang yang kucintai, dan kulakukan itu demi keluarganya, demi ketenangan hatinya, aku mengalah menjauh agar suamiku tidak terus terjebak dilema.Kini aku dan Bunda duduk di depan ruang tunggu dengan perasaan berdebar, sudah dua Minggu aku berusaha menata hati agar tidak terpengaruh atau rindu pada Mas Tama, aku sungguh berharap dari lubuk perasaan yang terdalam, bahwa aku bisa mengabaikan kehadirannua, tidak memikirkan dia apalagi berdebar saat kami berpandangan mata. Lamat lam
"Kenapa begitu Mas?""Aku memilih mempertahankan Raisa sebab dia istri yang baik dan sabar. Maaf bukan bermaksud untuk bersikap egois dan mau menang sendiri, aku hanya menilai Raisa tidak pantas mendapatkan perlakuan begini, jadi aku tak akan meninggalkannya." "Apa?""Ya!"Suasana ruangan ini menjadi panas dan riuh, Mbak Aira berdiri dengan tatapan mata yang melotot sementara mas Tama terlihat tenang-tenang saja duduk di bangkunya. Aku sendiri juga diam, bingung harus bicara apa."Raisa, katakan sesuatu! Bukannya kau yang mau mengembalikan suamiku padaku?""Iya, betul, tapi ....""Tapi apa? Apa kamu berubah pikiran hah?" ucapnya panik."Tidak juga, saya hanya menunggu keputusan Mas Tama.""Ayo keluar Aira!""Kamu harus menentukan pilihan Mas, kita harus menghargai hakim."Mas Tama melirik pada tiga orang pria yang terlihat menunggu jawaban dari kami dengan wajah penuh keheranan atas drama yang terjadi."Saya akan mempertahankan Raisa.""Terus aku gimana?" tanya Mbak Aira."Dari tadi
"Akhirnya kamu pulang juga, aku khawatir nungguin kamu di rumah.""Kenapa?" tanyaku memandang wajahmu, menelisik perasaan dan apa yang dia sembunyikan selama ini. Sayangnya, aku kurang mengerti apa rencana suamiku."Setelah mengambil keputusan tadi, penting bagiku untuk tahu pendapat dan perasaanmu." Dia memandang mataku dan menggenggam tanganku dengan penuh perasaan. Kupikir aku akan menghindarinya, perasaanku masih tidak menentu setelah dia memutuskan untuk meninggalkan Mbak Aira dan memilihku. Ingin menjauh tapi respon tubuh ini malah semakin dekat padanya. Dia merangkulku, mencium kepala dari balik jilbab ini."Sayang, aku mengkhawatirkanmu," bisiknya."Terima kasih karena kamu sudah ambil keputusan," ucapku."Kamu setuju gak dengan keputusanku?""Aku bahagia, tapi tidakkah kau merasa bersalah meninggalkan istri dan anak anak yang masih membutuhkanmu? Aku mungkin hamil, tapi aku bisa mengatasi masalahku, sementara istrimu, dia sudah bersamamu selama ini, dia mencintai dan membutuh
Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais
"Maaf, kebetulan saya sedang pusing dan lelah sekali naik motor jadi saya putuskan untuk ikut dengan pak Wisnu saja.""Dengar Raisa, dia atau pun dia bukan siapa siapa untuk kamu, aku ini suami kamu Raisa!" Ucap Mas Tama."Oh ya? tapi kamu tidak memberiku pilihan, Mas. Maaf ya, aku pulang dulu," ucapku sambil mengarahkan sensor ke motor agar joknya terbuka dan aku bisa meletakkan helm lalu terkunci lagi."Pergi dulu ya," ucapku sambil naik ke atas mobil Pak Wisnu.Melihatku melenggang pergi kedua pria tadi hanya saling pandang. Haris nampak menghela napas sedang Mas Tama langsung menendang kerikil kerikil kecil yang kebetulan ada di aspal untuk menunjukkan kemarahannya. Mobil meluncur meninggalkan halaman rumah sakit, melaju mulus di jalan raya sedang aku hanya diam dalam kebungkaman dan pikiranku sendiri."Aku mengerti situasi yang sedang kamu hadapi dan aku turut bersimpati dengan itu. Seperti apa yang kamu alami di siang ini ... itu cukup menegangkan dan menguras perasaan." Pria
Aku segera memacu motor dan meninggalkan Mas Tama yang masih berdiri di pekarangan dengan wajah bingung dan harapan yang sudah aku patahkan. mungkin karena terlalu sakit hati juga aku sampai memacu motor dengan kecepatan tinggi dan sampai di rumah Bunda 10 menit lebih cepat.Kuturunkan koper dari motor lalu memanggil Mbak Tini asisten rumah tangga bunda untuk meminta dia mengantar barangku kamar."Tolong antarkan koper saya Mbak," perintahku kepada Mbak Tini."Baik mbak Raisa.""Katakan pada Bunda kalau aku tidak akan sarapan dan langsung meluncur ke rumah sakit, aku ingin makan siang dengan beliau jadi tolong beritahu untuk menyiapkan ayam kecap seperti janjinya.""Siap, Mbak.""Terima kasih Mbak Tini.""Sama sama."Saat aku kembali menaiki motor untuk meluncur pergi, kebetulan bunda sedang ada di balkon lantai dua. Melihatku terburu buru, bunda hanya menitipkan pesan agar aku berhati hati dan segera pulang saat pekerjaanku selesai."Hati hati, Nak. Cepat pulang sore nanti.""Iya Bun
Sepulang kerja, lepas dari rangkaian kegiatan panjang dan beberapa cerita yang terjadi hari ini Aku benar-benar merasa lelah. Setelah berendam dengan air panas aku duduk di depan kaca rias, sambil menyisir rambut dan menatap wajahku.Kuperhatikan diri ini dan mengingat-ingat kembali bagaimana selama ini aku telah mengambil keputusan untuk menentukan jalan hidup. Rupanya aku sudah terlalu banyak terjebak dalam pengaruh dan mudah dirayu jadi aku terkesan tidak bisa menentukan prinsip dan pilihanku sendiri alias plin-plan. Kondisiku yang sedang hamil juga memberi andil, membuat mood tidak stabil, kadang aku berada di mode mandiri yang tegar luar biasa, kadang juga sebagai wanita lemah yang sangat kesepian dan membutuhkan seseorang di sampingnya.Dan puncak dari semua itu, aku tetap saja pura-pura bahagia meski di ujung hari aku akan kembali pada tangisanku sendiri, membuka topeng pencitraanku, lalu meringkuk di tengah keremangan malam di sudut kamar ini. Akhir akhir ini aku memang lebi