Aku terhenyak degan perlakuan kakak madu yang arogan, dia membalikkan botol selai tanpa ba,bi,bu, dan perasaan. Kalau dipikir apa kesalahan botol selai itu pada dirinya, haruskah ia memberiku pelajaran dengan cara menumpahkan makanan? aneh sekali.Segera kuambil serbet untuk mengelapi makanan manis yag tumpah ke meja, saat sibuk melakukan itu, suamiku lewat dan mnyambangi diri ini. Melihat botol selai yang berantakan dia seolah memahami bahwa sedang terjadi sesuatu.“Apakah kau baik-baik saja?'”“Kau tak penasaran ini perbuatan siapa?”“Maafkan ya….” wajah suamiku memelas, dia tahu itu perbuatan Mbak Aira. Parahnya, dia membelanya dan memintaku memaklumi. Ah, ya Allah, aku makin lelah."Ya, selalu aku yang akan mengalah dan disalahkan, jadi tolong lepaskan aku dari dilema ini, tolong ceraikan aku Mas." Air mataku jatuh begitu saja di pipi, Mas Tama hendak mendekatiku untuk menyeka mata ini, tapi Mbak Aira sudah berteriak dan memanggil suaminya dari mobil.“Aku pergi ya, aku bisa terla
Dua Minggu penuh air mata bergulir, itu bukan masa singkat yang bisa kunikmati dengan hanya melakukan rutinitas sehari-hari dan pergi bekerja tanpa memikirkan apapun.Ke mana-mana aku melangkah, aku selalu was-was akan bertemu dengan Mas Tama atau istrinya atau mungkin keluarga istrinya dan saudara Mbak Aira. Aku khawatir akan dihujat atau dihina jika berpapasan dengan mereka.Untuk pertama kalinya, hari ini aku menjejaki pengadilan agama untuk perkara cerai yang kutuntuy dari suamiku. Ironisnya, aku menuntut orang yang kucintai, dan kulakukan itu demi keluarganya, demi ketenangan hatinya, aku mengalah menjauh agar suamiku tidak terus terjebak dilema.Kini aku dan Bunda duduk di depan ruang tunggu dengan perasaan berdebar, sudah dua Minggu aku berusaha menata hati agar tidak terpengaruh atau rindu pada Mas Tama, aku sungguh berharap dari lubuk perasaan yang terdalam, bahwa aku bisa mengabaikan kehadirannua, tidak memikirkan dia apalagi berdebar saat kami berpandangan mata. Lamat lam
"Kenapa begitu Mas?""Aku memilih mempertahankan Raisa sebab dia istri yang baik dan sabar. Maaf bukan bermaksud untuk bersikap egois dan mau menang sendiri, aku hanya menilai Raisa tidak pantas mendapatkan perlakuan begini, jadi aku tak akan meninggalkannya." "Apa?""Ya!"Suasana ruangan ini menjadi panas dan riuh, Mbak Aira berdiri dengan tatapan mata yang melotot sementara mas Tama terlihat tenang-tenang saja duduk di bangkunya. Aku sendiri juga diam, bingung harus bicara apa."Raisa, katakan sesuatu! Bukannya kau yang mau mengembalikan suamiku padaku?""Iya, betul, tapi ....""Tapi apa? Apa kamu berubah pikiran hah?" ucapnya panik."Tidak juga, saya hanya menunggu keputusan Mas Tama.""Ayo keluar Aira!""Kamu harus menentukan pilihan Mas, kita harus menghargai hakim."Mas Tama melirik pada tiga orang pria yang terlihat menunggu jawaban dari kami dengan wajah penuh keheranan atas drama yang terjadi."Saya akan mempertahankan Raisa.""Terus aku gimana?" tanya Mbak Aira."Dari tadi
"Akhirnya kamu pulang juga, aku khawatir nungguin kamu di rumah.""Kenapa?" tanyaku memandang wajahmu, menelisik perasaan dan apa yang dia sembunyikan selama ini. Sayangnya, aku kurang mengerti apa rencana suamiku."Setelah mengambil keputusan tadi, penting bagiku untuk tahu pendapat dan perasaanmu." Dia memandang mataku dan menggenggam tanganku dengan penuh perasaan. Kupikir aku akan menghindarinya, perasaanku masih tidak menentu setelah dia memutuskan untuk meninggalkan Mbak Aira dan memilihku. Ingin menjauh tapi respon tubuh ini malah semakin dekat padanya. Dia merangkulku, mencium kepala dari balik jilbab ini."Sayang, aku mengkhawatirkanmu," bisiknya."Terima kasih karena kamu sudah ambil keputusan," ucapku."Kamu setuju gak dengan keputusanku?""Aku bahagia, tapi tidakkah kau merasa bersalah meninggalkan istri dan anak anak yang masih membutuhkanmu? Aku mungkin hamil, tapi aku bisa mengatasi masalahku, sementara istrimu, dia sudah bersamamu selama ini, dia mencintai dan membutuh
"Kenapa lagi?""Ini Mas ... Mbak Aira....""Kalau dia mengirimkan ancaman, hapus saja, bila perlu blok.""Iya, Mas, aku akan menuruti kata katamu."Sebenarnya aku ingin Mas Tama bicara pada istrinya agar berhenti menyudutkanku, tapi jika demikian aku akan dianggap sebagai wanita kompor yang terus memanas-manasi hubungan antara dia dan istrinya. Ditambah, citra diriku yang makin buruk karena mencari pembelaan suami dan membuat dia memusuhi istrinya."Boleh lihat pesannya?""Tidak, demi kebaikan kita semua, sebaiknya tidak. Aku akan menghapusnya dan melupakannya.""Apakah dia menyebutmu dengan kata kata yang tak pantas?""Seperti itulah, tapi aku tak akan mengambil hati, sudahlah, aku mau melanjutkan cuci piring, kamu duduklah aku akan buatkan teh.""Terima kasih, Sayang.""Iya, Mas."*Keesokan hari, kusambut pagi penuh berkah dengan membuka pintu dan jendela, kusibak tirai gorden sambil tersenyum menatap mentari yang menyembul ceria di ufuk timur.Kusiapkan sarapan dan kopi suami, tak
Aku pulang kerja dengan perasaan tak menentu setelah mendapatkan karangan bunga pagi tadi dan mendapati tatapan tidak menyenangkan dari banyak orang. Pikiranku terus bergelayu dan berputar di sana bagaimana agar aku bisa mengatasi semuanya dan menghilangkan stigma negatif yang sudah terlanjur melekat dalam diri ini. Demi Tuhan aku tidak bermaksud merebut suami orang, tapi arah takdir yang sudah membuatku berada di kehidupan poligami ini. Aku sungguh tidak sengaja melakukannya dan sudah berikhtiar untuk melupakan suamiku, tapi sepertinya kami tidak terpisahkan karena dia juga punya keinginan yang kuat untuk tetap bersamaku, bahkan rela memutuskan untuk meninggalkan istrinya.Jujur saja perasaanku masih saja tidak nyaman tentang perkara suami meninggalkan istrinya demi diriku. Haruskah aku merasa beruntung ataukah itu merupakan kutukan bagi rumah tanggaku yang selamanya akan merasa tidak nyaman karena dibangun atas air mata Mbak Aira. Ah, bisakah aku sejenak saja untuk bahagia. Toh ini
Menyaksikan istrinya yang pergi meninggalkan rumah kami dengan kaki yang berdarah-darah di mana itu tercetak di lantai, hatiku sangat miris dan merasa bersalah."Mas, susul Mbak Aira Mas, susul dia," ucapku sambil mengguncang lengan suamiku. Mas Tama yang masih berdiri dengan tatapan kosong terkejut dengan sentuhanku."Apa?""Susul Mas, Jangan sampai kita kehilangan perasaan dan seperti mati akal. Dia masih istrimu dan dia yang telah mendampingimu selama ini rasanya tidak adil semua perlakuan yang baru saja kau lakukan. Tolong Mas.""Kau ini bicara apa Raisa? Bukankah ini sangat aneh, apa kau tidak menginginkan aku?""Aku menginginkanmu Mas, tapi hal yang kamu lakukan pada Mbak Aira berlebihan. Tolong jangan kehilangan perasaan, pergi susul dia dan minta maaf, bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil sedikit mendorong tubuh suamiku.Mas Tama yang tidak punya pilihan akhirnya tergerak, dia mengambil sandal dan menyusul Mbak Aira keluar.Kuikuti juga langkah suamiku lalu aku menahan d
“Raisa, apa yang kau katakan?” sekali lagi Mas Tama mengulangi kata katanya.“Jangan temui aku lagi Mas, aku akan pulang ke rumah Bunda agar kau tak bisa menjumpaiku, aku akan berhenti menunggu dan berharap kau kembali padaku, Mas.”“Apa maksudmu, bukankah kita baru dua hari bersama setelah berhari hari tidak berjumpa?”"Aku mengatakan semua itu dengan jelas, Mas. Aku ingin kau fokus pada keluarga dan istrimu, aku ingin kalian bahagia dan hidup dengan damai, aku hanya benalu di antara hubungan kalian yang terjalin erat. Aku tidak akan bertahan dengan prinsip cinta lagi, selamat tinggal Mas." Kuajak bunda untuk meninggalkan tempat itu secepatnya, kugenggam tangan ibuku dengan erat, berharap aku mendaapatkan sedikit energi dan keberanian dari Bunda.“Kau yakin kau tak akan menyesal dengan keputusanmu?” tanya Ibunya Mbak Aira.“Tidak ada orang yang bahagia dengan perceraian, Bu, semua yang berpisah pasti galau dan sedih. Tapi tak perlu khawatir, Insya Allah, saya bisa mengatasi peras