Syifa tidak tahu bagaimana merespons. Dia memang kurang berpengalaman dalam hal ini. Syifa hanya tersenyum canggung dan berucap, "Um, nggak apa-apa.""Jadi?" tanya Dylan.Syifa bertanya balik, "Kenapa?"Dylan bertanya, "Kamu suka tipe pria seperti apa?"Syifa tertegun. Prilly yang membantu Syifa menjawab, "Dia suka pria yang lembut, pengertian, latar belakang keluarganya bagus, punya karier sendiri, dan tampan."Prilly menyebutkan semua itu sesuai standar Billy. Dylan tersenyum dan menimpali, "Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Selain tampan, seharusnya aku cukup memenuhi syarat."Prilly memiringkan kepalanya sambil memandangi Dylan. Dia berdecak dan membalas, "Nggak terlalu mirip. Tapi, kamu lumayan tampan. Kamu punya pesona yang berbeda."Dylan yang paham bertanya kepada Syifa, "Kamu ... sudah punya gebetan?"Tiba-tiba, seseorang menjulurkan kepalanya dan menceletuk, "Dia baru patah hati."Syifa melihat Prilly, lalu Prilly mengangkat kedua tangannya dan berujar, "Bukan aku y
Syifa berkata, "Billy juga nggak pernah."Billy terus-menerus ditekan oleh Shifa dengan status sebagai "teman terbaik" dan tidak pernah berpacaran sekali pun."Dia berbeda dengan Billy. Dia nggak punya kekasih masa lalu. Dylan benar-benar nggak peduli dengan masalah lain, hanya fokus untuk belajar. Di luar negeri yang dipenuhi dengan banyak godaan, dia tetap saja nggak tergoda.""Prilly.""Hm?""Waktu kamu putus cinta saat kelas 3 SMA, apa kamu akan terima kalau keesokan harinya ada yang menyatakan cinta padamu?"Prilly terdiam. Setelah beberapa menit, dia baru menghela napas. "Benar juga. Siapa juga yang bisa keluar dari kesedihan secepat itu.""Ya ....""Tapi, nggak masalah. Dylan bisa menunggu tujuh sampai delapan tahun, menunggu sebentar lagi juga nggak masalah. Pokoknya aku sangat mendukungnya. Kamu pertimbangkan dengan baik," balas Prilly.Syifa memejamkan matanya untuk berpura-pura istirahat. Pertimbangkan? Apa yang bisa dipertimbangkan?Jika keluarganya bisa berteman dengan ke
Syifa telah putus hubungan sepenuhnya dengan Keluarga Aditama. Sejak cuti, ada banyak sekali orang yang mengirimkan suplemen kesehatan untuknya ke rumah. Ada rekan kerja, teman, mantan mertua, dan juga Billy.Di antara semua kiriman tersebut, barang yang dikirim oleh Billy paling banyak. Begitu Prilly membuka pintu, ada tumpukan hadiah setinggi manusia dewasa yang berserakan hingga hampir jatuh mengenai tubuhnya.Prilly mengambil salah satunya dan melihatnya. "Wah, barang bagus semua. Belum tentu bisa dibeli di dalam negeri. Gimana rencanamu menanganinya?"Syifa menjawab, "Suruh orang balikkin semuanya."Prilly mengangguk. "Lalu gimana dengan pemberian mantan mertuamu? Mau disimpan?""Kembalikan saja juga." Syifa melanjutkan, "Aku akan beli sedikit suplemen untuk orang tua yang cocok untuk dikirimkan bersamaan dengan barang-barang ini."Prilly tidak terlalu paham dengan tindakannya yang tidak penting ini, tetapi tetap mengangguk setuju.Syifa punya banyak pertimbangan. Dia benar-benar
Saat akhir bulan, cuti tahunan Syifa juga telah berakhir. Setelah kesehatannya pulih, dia pun kembali bertugas. Para rekan di rumah sakit dan pasien hamil menyapanya dengan sangat ramah. Hanya Aulia yang mengetahui situasinya, beberapa kali tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya terdiam.Setelah Syifa kembali dari melakukan pemeriksaan rutin, dia melihat wajah Aulia sampai memerah karena berusaha menahan diri. Sambil tertawa kecil, Syifa berkata, "Katakan saja apa yang mau kamu katakan. Nggak usah menahan diri."Aulia akhirnya bertanya, "Bu Syifa, kamu benar-benar mau cerai sama suamimu?""Ya, tinggal langkah terakhir. Hanya perlu setengah jam di pengadilan agama untuk menyelesaikannya."Aulia tampaknya ingin mengatakan banyak hal, tetapi tidak tahu harus bagaimana mengungkapkannya. Pada akhirnya, dia hanya menatap Syifa sambil menggigit bibirnya. Syifa menepuk pundaknya, lalu berkata, "Nggak usah banyak mikir, ayo cepat kerja."Syifa mempertimbangkan dengan matang dan akhir
"Kenapa rasanya, dia sedang melihat mobil kita?" Sopir taksi itu juga menyadari hal ini dan merasa agak terkejut."Nggak kok," balas Syifa."Nggak, dia sedang melihat mobilku. Apa aku menyenggol mobilnya tadi? Nggak mungkin, kemampuan berkendaraku cukup mahir ...."Syifa bertanya, "Pak, waktu datang tadi Bapak lihat dia juga?""Iya! Dari tadi dia mandi hujan. Setelah aku jemput kamu dan berbalik ke arah sini, dia masih berdiri di tengah hujan. Makanya kubilang dia itu bodoh."Syifa menarik napas dalam-dalam dan menarik kembali pandangannya. "Pak, fokus nyetir saja, nggak usah lihat dia.""Eh, dia jalan ke arah sini!"Saat ini, Syifa benar-benar merasa sangat frustrasi dengan kemacetan yang selalu terjadi di depan rumah sakit.Memangnya untuk apa Billy datang? Apa dia akan mengetuk jendela mobil atau langsung membuka pintu taksi? Apa yang ingin dia katakan setelah mereka bertemu? Hubungan mereka sudah selesai, kenapa dia malah muncul di depan rumah sakit?Serangkaian pertanyaan berkele
Namun pada detik berikutnya, Syifa malah menyesal. Dalam hubungan mereka bertiga, Syifa tidak bersalah sedikit pun.Syifa telah menjalankan kewajibannya sebagai dokter kepada Shifa untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya. Dia juga tidak berbelit-belit terhadap Billy dan langsung merestui hubungannya dengan orang yang dicintainya. Syifa tidak bersalah sama sekali, lalu kenapa dia harus bersembunyi?Mendengar suara keributan di belakang, sopir itu menoleh dan bertanya, "Ada apa?""Sakit pinggang, mau berbaring.""Kamu dokter ya?""Iya.""Pantas saja. Dokter selalu berdiri waktu melakukan operasi, pasti pinggang kalian sakit. Berbaringlah, di depan ada polisi lalu lintas yang mengatur kendaraan. Sebentar lagi kita sudah bisa bergerak.""Hm ...."Di sisi lain, Billy dan Shifa berjalan perlahan-lahan melewati sisi jendela itu. Mereka tidak menoleh, sehingga tidak melihat Syifa. Mereka perlahan naik ke trotoar dan berdiri di bawah naungan pohon di pinggir jalan. Billy mengeluarkan tisu
Dia tertawa getir sejenak, lalu mengembalikan sandaran kursi ke posisi semula dan menoleh untuk melihat ke luar jendela.Di bawah naungan pohon, Billy telah mengeringkan rambut Shifa, lalu membuang tisu ke tempat sampah di pinggir jalan. Kemudian, dia bertanya dengan penuh perhatian, "Punggungmu masih sakit hari ini?"Shifa mengeluh dengan nada sedih, "Sejak hamil, punggung dan leherku sering sakit, terutama waktu hujan. Oh ya, kamu pernah belajar pijat, 'kan? Nanti pijat aku di rumah ya."Oke.""Billy, kutanya kamu." Dengan nada manja, Shifa bertanya, "Dulu sebelum ujian akhir SMA, kamu masih meluangkan waktu untuk belajar pijat. Apa itu demi aku?"Billy menghela napas, lalu berkata, "Waktu itu lehermu sering sakit. Sudah hampir ujian akhir, tapi kamu malah terus mengeluh sakit. Gimana kalau sampai memengaruhi ujianmu?"Shifa mengerucutkan bibirnya. "Kamu ingin sekali masuk Universitas Northern bersamaku ya?""Omong kosong," jawab Billy sambil memutar bola matanya."Tapi kamu jelas-j
Prilly tidak mengatakan apa pun, hanya mengirimkan sebuah alamat.Mungkin karena telah memutuskan untuk tidak pernah jatuh cinta lagi, Prilly selalu bersikap tenang dalam melakukan apa pun. Emosinya juga sangat stabil. Jika Prilly sampai mengirimkan pesan untuk meminta bantuan dengan sepanik ini, berarti dia memang dalam masalah besar.Tanpa bertanya lebih jauh, Syifa langsung berkata pada sopir taksi, "Ke Gedung Cakrawala."Syifa tiba dengan terburu-buru. Saat membuka pintu mobil dan turun, dia melihat tidak ada kerumunan di sekitarnya. Semuanya tampak biasa-biasa saja. Dia menelepon Prilly dan bertanya, "Prilly, di mana kamu?""Starbucks. Setelah masuk, meja pertama sebelah kiri."Lantai satu dari Gedung Cakrawala adalah Starbucks, jadi dia mempercepat langkahnya ke sana. Begitu membuka pintu dan masuk, dia langsung melihat Prilly dan seorang pria muda."Prilly?"Begitu melihat Syifa, kedua mata Prilly langsung berbinar dan menariknya. Setelah itu, dia merangkul pinggang Syifa denga