"Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasku menadahkan tangan.
"Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," sembur suamiku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhku kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentaknya seraya berlalu. Begitulah Mas Doni bila dimintai uang untuk kebutuhan anak. Dia sama sekali tidak peduli kesulitanku mengatur uang tiap bulan. Taunya hanya marah-marah dan mengataiku boros. Selain tidak mencukupi, perangai mertua juga membuatku pusing. Aku tau Mas doni sudah menjatah ibunya sebesar satu juta tapi tetap saja masih memalak uang belanjaku. Suamiku juga tidak percaya bila aku mengatakan soal ibunya. Kalo aku tidak memberinya, mertua pasti akan mengacak-acak lemari untuk menemukan u ang yang kusimpan. Pernah suatu hari, aku yang baru pulang belanja mendapati kamar dalam keadaan berantakan. Baju yang sudah tersusun rapi berhamburan keluar dan berserak di tempat tidur dan lantai. Aku pikir itu perbuatan maling sampai tetanggaku si Lina memgatakan kalo mertuaku lah dalangnya. Sebelumnya aku memang menceritakan pada Lina tentang keadaan kamar, siapa tau dia melihat sesuatu. Tapi tak disangka bila mertuaku pelakunya. "Mulai sekarang kamu hati-hati bila menyimpan uang, Ra! Kalo dibiarkan mertuamu semakin ngelunjak nanti," ucap Lina menepuk bahuku. "Iya, Lin. Walaupun u ang itu nggak banyak tapi tetap aja sangat dibutuhkan. Apalagi suamiku nggak mau tau lagi, aku sungguh pusing," jawabku menghembuskan napas kasar. Dari situ aku lebih berhati-hati menyimpan u ang, tidak mau kecolongan lagi aku pun inisiatif memasang cctv kecil yang kuletakkan di tempat tersembunyi. Baik mertua atau suamiku tidak akan mengetahuinya. "Bu, minum susu!" rengek Nia kala bangun tidur tidak lama setelah Mas Doni pergi. "Susu udah habis, Nak! Ayah belum beli, Nia minum teh manis dulu ya," bujukku sambil mengusap kepalanya. Nia mengangguk, sebenarnya anak perempuanku itu tidak rewel. Tapi sebagai ibu aku tetap saja sedih tidak bisa memenuhi kebutuhannya yang masih balita. Setelah membuatkan Nia teh manis, dia minum sambil menonton kartun kesukaannya. Aku melanjutkan bisnis yang aku sembunyikan dari Mas Doni. Ya diam-diam aku jadi penulis di platform berbayar yang sedang hits di tanah air. Awalnya aku masih coba-coba, tidak disangka ceritaku laris. Pembaca membludak di bulan ke empat. Total penghasilanku yang tersimpan selama empat bulan sebesar 100 juta. Di bulan pertama mendapat gaji, aku membuka rekening di bank tanpa ATM. Aku simpan buku rekening di rumah ibu, tanpa Mas Doni tau aku sering pulang. Suamiku tidak pernah mau ikut bila kuajak ke rumah ibuku. Itulah yang membuatku aman membuka rekening. U ang itu tidak pernah kuambil, untuk jaga-jaga kalo suatu hari nanti Mas Doni berulah. Baru saja menyelesaikan menulis cerita dan mengirim ke aplikasi, suara motor Mas Doni terdengar. Cepat-cepat aku menyimpan ponsel dan berpura-pura menonton televisi menemani Nia. "Eh, anak Ayah udah bangun!" serunya setelah masuk dan mengecup pipi Nia. Aku hanya diam melihatnya, malas untuk bertengkar lagi. Nia menunjukkan botol kosong di samping pada Ayahnya. "Nia sudah minum teh manis, kata ibu Ayah belum beli susu Nia," ucapnya polos kemudian beralih ke kartun lagi. Mas Doni menatapku tajam. "Kamu ngomong apa sama Nia? Masih kecil udah diajari berbohong." "Siapa yang berbohong, Mas? Tadi Nia merengek minta susu jadi ya aku bilang kalo Mas belum beli," balasku acuh dan kembali menatap televisi. "Makanya kamu jangan boros, seharusnya lima ratus itu cukup untuk semua," sergah Mas Doni lagi-lagi masih ngotot. Aku diam, malas menjawab itu-itu saja yang dikatakannya. "Amira, kamu dengar nggak Mas ngomong?" hardiknya dengan nada tinggi. Nia yang terkejut menoleh pada ayahnya lalu gegas aku peluk. "Pelankan suara kamu, Mas! Nia sampai kaget," sentakku. Aku mengajak Nia ke dalam kamar agar tidak mendengar keributan ini lagi. "Ayo, Nia main di kamar aja ya Nak!" Walaupun sedikit tidak mengerti, Nia menurut. Setelah masuk aku menutup pintu dari luar. "Apa, Mas? Kamu mau ngomong apa, silakan!" tantangku. "Ah, sudahlah! Kamu nggak becus jadi istri, sia-sia Mas nikahi kamu. Mengatur uang aja nggak bisa, dasar nggak tau diri," umpatnya mendecih. "Siapa yang nggak tau diri, Mas? Aku atau Mas atau ibumu yang terus mencuri u angku," sahutku tak mau kalah. "Apa kamu bilang, ibu mencuri? Jangan fitnah kamu ya," ujarnya mulai emosi. Aku tau Mas Doni pasti tidak terima dikatakan ibunya pencuri. Terlihat Mas Doni mengatupkan rahangnya seraya akan mengangkat tangan tapi segera aku tepis dan menuding jariku. "Sebelum Mas menamparku ada baiknya kamu lihat sendiri kelakuan ibumu. Aku punya buktinya Mas," kataku berapi-api lalu mengambil ponsel dan membuka video yang tersambung dari cctv. Mata Mas Doni terbelalak setelah melihatnya, dadanya kembang kempis menahan sesak. Tak lama tubuhnya merosot, lemas. ~~~~~"Nggak, nggak mungkin ibu lakukan itu. Fitnah, kamu pasti mengedit video itu kan, Amira," kukuh Mas Doni masih tidak percaya juga. "Fitnah gimana, Mas? Sudah jelas bahkan sangat jelas di video itu ibumu mengambil u angku diam-diam sampai baju semua dibongkar. Mas lihat lagi atau mata Mas udah rabun," ujarku meledek. Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Jelas-jelas dia sudah melihat video yang berdurasi sepuluh menit itu masih juga menyangkal kalo aku mengeditnya. Untuk beberapa saat Mas Doni terdiam, terkadang menunduk kemudian menyugar rambutnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menadahkan tangannya. "Sini ponselmu!" katanya kasar. "Untuk apa, Mas?" tanyaku heran sambil menggenggam kantong tempat ponsel kusimpan dan mundur. Jangan sampai Mas Doni mengotak atik dalamnya, bisnisku bisa ketahuan. "Jangan banyak tanya, sini!" ujarnya sambil mengambil paksa dari kantong. Dengan sekuat tenaga aku tetap memegang erat sampai kami bergumul rebutan ponsel. Hingga aku tergelatak
"Assalamu'alaikum!" sapaku mengucapkan salam begitu tiba di rumah orang tuaku. "Wa'alaikumussalam, loh Nduk kok tumben kamu pulang sekarang?" Wajah keterkejutan ibu tampak jelas lalu tanpa menunggu jawabanku beliau mengambil alih Nia dari gendonganku dan menyuruh kami masuk. Tanganku membawa koper hingga ke ruang tamu. Bapak yang sedang mengaji pun berhenti dan menatapku dengan heran. Netranya menelusuri tubuhku dan juga koper yang berisik saat kuseret tadi. Kusalami tangan bapak dan duduk melepas lelah di kursi yang berhadapan dengannya. Dari gerakan beliau melepas kacamata, aku tau bapak ingin meminta penjelasan dengan kepulanganku yang mendadak. Biasa aku akan mengabari bila akan pulang. Ibu meletakkan gelas berisi air di meja lalu duduk memangku Nia di sebelahku. Wanita yang sudah melahirkanku itu pun tak kalah heran, terkadang dari bibirnya mengajak Nia bicara dengan gemas. "Doni kemana, kok nggak ikut kesini?" tanya ibu angkat bicara. "Ibu seperti nggak tau aja kek mana M
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Aku bangkit untuk membukanya tapi sungguh terkejut melihat siapa yang datang malam-malam. "Mau apa kamu kesini, Mas? tanyaku dengan mata nyalang. Mas Doni hanya tersenyum saja tanpa menjawab pertanyaanku. Apa jangan-jangan dia sudah mendengar pembicaraan kami tadi tentang uangku? Alamat celaka diriku, batinku mengumpat. "Siapa Nduk yang datang?" tanya ibu tetiba sudah ada di belakangku. Aku tidak segera mempersilakan Mas Doni masuk dengan tangan masih memegang pintu yang terbuka separuh. "Mas Doni, Bu," jawabku malas. Dengan tak tau malu, Mas Doni mencium tangan ibu dengan ramah padahal aku tau dia hanya pura-pura baik. "Suruh masuk aja dia, biar jelas kita bicarakan!" pinta bapak dari dalam. Bapak pasti sudah tau siapa yang datang. Aku membuka pintu dengan ogahan, lalu melengos pergi dan duduk di sebelah bapak. Sedangkan ibu masih dengan ramah menyuruh suamiku lebih tepatnya akan menjadi mantan suami ke dalam. Mas Doni mencium tangan ba
Mas Doni tertawa, sepertinya ancamanku tidak berhasil membuatnya takut, baiklah kali ini aku akan serang kamu dengan telak. "Video apa maksud kamu, Amira? Bukankah ponselmu sudah hancur, jadi mana mungkin kamu punya video itu." Aku hanya tersenyum sinis, lalu mengambil ponsel bapak yang kupinjam dan memamerkan di depannya. Membuka simpanan video yang sudah dilihatnya kemarin, mata Mas Doni terbelalak. Bahkan ada video baru terekam jelas di sana, tepat keesokan harinya setelah aku pergi dari rumah. Sang mertua berulah kembali membongkar lemari dan buffet kecil seperti biasa akan mengambil uangku diam-diam. Bedanya kali ini pakaian tidak dihamburkan karena tidak ingin Mas Doni curiga pada ibunya. "Kamu lihat, Doni! Ini yang kamu bilang kalo Amira sudah memfitnah ibumu. Bahkan kami sudah menyaksikan bagaimana brutalnya ibumu mengacak lemari demi uang seratus ribu itu. Apakah perbuatan itu pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar mertua," gelegar suara bapak memenuhi ruang
"Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi. "Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. Sahabatku masa SMA ini boleh dibilang orang berada. Rumahnya tambah besar dan tingkat, di depan tadi juga ada mobil dan motor di garasi. Walaupun Rasmi golongan orang kaya tapi dia tidak malu berteman denganku yang hidup sederhana. Terbayang saat sekolah dulu, kami kerap belajar bersama dan mengerjakan PR di rumahnya. Mamanya Rasmi juga baik dan lembut orangnya. Beliau suka menyediakan makanan bila aku datang. Terkadang membawakank
"Kok ada ya Bu, manusia seperti itu?" tanyaku heran. Membayangkan saja aku jijik, mertua yang notabene pengganti orang tua kelakuannya tidak wajar begitu. "Sudah akhir jaman, Nduk! Sudah banyak yang edan, seperti yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Akhir jaman nanti terjadi banyak kerusakan, ya alam ya akhlak serta tingkah manusia," jelas ibu menggeleng. "Jadi, akhirnya gimana itu penggebrekannya? Berhasil toh, Bu?" tanyaku penasaran. "Ketahuan, tapi sudah kabur dua-duanya! Kasihan si Murni itu sampe trauma dia, terus mengurung diri di rumah nggak mau ketemu siapa-siapa," jawab ibu mengelus dada. Aku tidak bertanya lagi, buat apa mengurusi hidup orang lain toh hidupku juga masih banyak masalah. Tapi kesamaan dari rumah tangga kami satu yaitu mertua. Entah kenapa mertua selalu jadi pemicu retaknya rumah tangga sang anak. Aku juga tak habis pikir, kenapa yang namanya mertua sering serakah baik soal uang maupun perhatian. Seolah-olah anaknya tidak boleh bahagia, kalo b
Tanpa salam tanpa permisi, Mas Doni menyelonong masuk dan bertepuk tangan dengan menyeringai. Mau apa lagi dia kemari, batinku kesal. "Mau apa kamu kesini?" Kali ini bapak yang bertanya. "Menantu datang ke rumah mertua nggak salah 'kan!" celetuk mertua. Ternyata Mas Doni tidak datang sendirian melainkan bersama ibunya. "Kenapa, Pak? Apa Doni nggak boleh datang?" sahutnya sinis. "Nggak disangka kalian ingin kami bercerai ternyata sudah ada laki-laki lain," sambungnya lagi seraya melirik Mas Kevin. Lelaki yang berprofesi pengacara itu bersikap tenang, tidak terpancing oleh perkataan Mas Doni. Di sini aku yang malu padanya akan sikap mantan suami yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri. "Betul itu, Amira? Kamu itu belum sah berpisah sudah menggaet laki-laki lain. Apa coba namanya kalo bukan perempuan gatel, begini didikan besan rupanya," ejek mertua. "Jangan bicara sembarangan besan, anak kami begini juga karena kelakuan Doni dan besan sebagai ibunya," sergah ibu
Sudah hampir sebulan berlalu, keadaan sangat tenang. Surat gugatan cerai juga sudah sampai ke tangan Mas Doni. Akan tetapi, baik dia maupun ibunya tidak ada kabar setelah hakim memutuskan perceraian kami. Mungkin mereka hanya bisa pasrah. Hatiku lega sidang bisa berjalan lancar, setidaknya biar statusku jelas. Walaupun aku akui masih ada rasa di hati ini tapi aku lebih pertimbangkan ke depannya. Demi kesehatan mentalku dan juga psikis Nia. "Nduk, Doni kok nggak pernah jenguk Nia sekalipun?" tanya ibu suatu hari saat kami lagi istirahat siang. "Amira juga nggak tau, Bu! Mungkin aja dia sibuk, lah biasa memang gitu. Mana pernah peduli dia dengan Nia," gerutuku. Teringat dulu kala masih tinggal dengan mantan suami. Mas Doni yang bekerja sebagai karyawan toko bila libur yang ada dibenaknya hanya bersantai. Kalo tidak main game, nongkrong atau di rumah ibunya seharian. "Mas, kalo kamu di rumah itu ajak main kenapa Nia. Dia itu juga anakmu, jaga dia sebentar biar aku bisa mengerjakan y