Share

Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening
Suamiku Tak Tau Aku Punya Rekening
Penulis: Rini Annisa

Mencuri

"Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasku menadahkan tangan.

"Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," sembur suamiku acuh.

"Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhku kesal.

"Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentaknya seraya berlalu.

Begitulah Mas Doni bila dimintai uang untuk kebutuhan anak. Dia sama sekali tidak peduli kesulitanku mengatur uang tiap bulan. Taunya hanya marah-marah dan mengataiku boros.

Selain tidak mencukupi, perangai mertua juga membuatku pusing. Aku tau Mas doni sudah menjatah ibunya sebesar satu juta tapi tetap saja masih memalak uang belanjaku.

Suamiku juga tidak percaya bila aku mengatakan soal ibunya. Kalo aku tidak memberinya, mertua pasti akan mengacak-acak lemari untuk menemukan u ang yang kusimpan.

Pernah suatu hari, aku yang baru pulang belanja mendapati kamar dalam keadaan berantakan. Baju yang sudah tersusun rapi berhamburan keluar dan berserak di tempat tidur dan lantai.

Aku pikir itu perbuatan maling sampai tetanggaku si Lina memgatakan kalo mertuaku lah dalangnya. Sebelumnya aku memang menceritakan pada Lina tentang keadaan kamar, siapa tau dia melihat sesuatu. Tapi tak disangka bila mertuaku pelakunya.

"Mulai sekarang kamu hati-hati bila menyimpan uang, Ra! Kalo dibiarkan mertuamu semakin ngelunjak nanti," ucap Lina menepuk bahuku.

"Iya, Lin. Walaupun u ang itu nggak banyak tapi tetap aja sangat dibutuhkan. Apalagi suamiku nggak mau tau lagi, aku sungguh pusing," jawabku menghembuskan napas kasar.

Dari situ aku lebih berhati-hati menyimpan u ang, tidak mau kecolongan lagi aku pun inisiatif memasang cctv kecil yang kuletakkan di tempat tersembunyi. Baik mertua atau suamiku tidak akan mengetahuinya.

"Bu, minum susu!" rengek Nia kala bangun tidur tidak lama setelah Mas Doni pergi.

"Susu udah habis, Nak! Ayah belum beli, Nia minum teh manis dulu ya," bujukku sambil mengusap kepalanya.

Nia mengangguk, sebenarnya anak perempuanku itu tidak rewel. Tapi sebagai ibu aku tetap saja sedih tidak bisa memenuhi kebutuhannya yang masih balita.

Setelah membuatkan Nia teh manis, dia minum sambil menonton kartun kesukaannya. Aku melanjutkan bisnis yang aku sembunyikan dari Mas Doni. Ya diam-diam aku jadi penulis di platform berbayar yang sedang hits di tanah air.

Awalnya aku masih coba-coba, tidak disangka ceritaku laris. Pembaca membludak di bulan ke empat. Total penghasilanku yang tersimpan selama empat bulan sebesar 100 juta.

Di bulan pertama mendapat gaji, aku membuka rekening di bank tanpa ATM. Aku simpan buku rekening di rumah ibu, tanpa Mas Doni tau aku sering pulang.

Suamiku tidak pernah mau ikut bila kuajak ke rumah ibuku. Itulah yang membuatku aman membuka rekening. U ang itu tidak pernah kuambil, untuk jaga-jaga kalo suatu hari nanti Mas Doni berulah.

Baru saja menyelesaikan menulis cerita dan mengirim ke aplikasi, suara motor Mas Doni terdengar. Cepat-cepat aku menyimpan ponsel dan berpura-pura menonton televisi menemani Nia.

"Eh, anak Ayah udah bangun!" serunya setelah masuk dan mengecup pipi Nia.

Aku hanya diam melihatnya, malas untuk bertengkar lagi. Nia menunjukkan botol kosong di samping pada Ayahnya. "Nia sudah minum teh manis, kata ibu Ayah belum beli susu Nia," ucapnya polos kemudian beralih ke kartun lagi.

Mas Doni menatapku tajam. "Kamu ngomong apa sama Nia? Masih kecil udah diajari berbohong."

"Siapa yang berbohong, Mas? Tadi Nia merengek minta susu jadi ya aku bilang kalo Mas belum beli," balasku acuh dan kembali menatap televisi.

"Makanya kamu jangan boros, seharusnya lima ratus itu cukup untuk semua," sergah Mas Doni lagi-lagi masih ngotot.

Aku diam, malas menjawab itu-itu saja yang dikatakannya. "Amira, kamu dengar nggak Mas ngomong?" hardiknya dengan nada tinggi.

Nia yang terkejut menoleh pada ayahnya lalu gegas aku peluk. "Pelankan suara kamu, Mas! Nia sampai kaget," sentakku.

Aku mengajak Nia ke dalam kamar agar tidak mendengar keributan ini lagi. "Ayo, Nia main di kamar aja ya Nak!"

Walaupun sedikit tidak mengerti, Nia menurut. Setelah masuk aku menutup pintu dari luar.

"Apa, Mas? Kamu mau ngomong apa, silakan!" tantangku.

"Ah, sudahlah! Kamu nggak becus jadi istri, sia-sia Mas nikahi kamu. Mengatur uang aja nggak bisa, dasar nggak tau diri," umpatnya mendecih.

"Siapa yang nggak tau diri, Mas? Aku atau Mas atau ibumu yang terus mencuri u angku," sahutku tak mau kalah.

"Apa kamu bilang, ibu mencuri? Jangan fitnah kamu ya," ujarnya mulai emosi. Aku tau Mas Doni pasti tidak terima dikatakan ibunya pencuri.

Terlihat Mas Doni mengatupkan rahangnya seraya akan mengangkat tangan tapi segera aku tepis dan menuding jariku.

"Sebelum Mas menamparku ada baiknya kamu lihat sendiri kelakuan ibumu. Aku punya buktinya Mas," kataku berapi-api lalu mengambil ponsel dan membuka video yang tersambung dari cctv.

Mata Mas Doni terbelalak setelah melihatnya, dadanya kembang kempis menahan sesak. Tak lama tubuhnya merosot, lemas.

~~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status