"Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
"Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasku menadahkan tangan. "Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," sembur suamiku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhku kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentaknya seraya berlalu. Begitulah Mas Doni bila dimintai uang untuk kebutuhan anak. Dia sama sekali tidak peduli kesulitanku mengatur uang tiap bulan. Taunya hanya marah-marah dan mengataiku boros. Selain tidak mencukupi, perangai mertua juga membuatku pusing. Aku tau Mas doni sudah menjatah ibunya sebesar satu juta tapi tetap saja masih memalak uang belanjaku. Suamiku juga tidak percaya bila aku mengatakan soal ibunya. Kalo aku tidak memberinya, mertua pasti akan mengacak-ac
"Nggak, nggak mungkin ibu lakukan itu. Fitnah, kamu pasti mengedit video itu kan, Amira," kukuh Mas Doni masih tidak percaya juga. "Fitnah gimana, Mas? Sudah jelas bahkan sangat jelas di video itu ibumu mengambil u angku diam-diam sampai baju semua dibongkar. Mas lihat lagi atau mata Mas udah rabun," ujarku meledek. Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Jelas-jelas dia sudah melihat video yang berdurasi sepuluh menit itu masih juga menyangkal kalo aku mengeditnya. Untuk beberapa saat Mas Doni terdiam, terkadang menunduk kemudian menyugar rambutnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menadahkan tangannya. "Sini ponselmu!" katanya kasar. "Untuk apa, Mas?" tanyaku heran sambil menggenggam kantong tempat ponsel kusimpan dan mundur. Jangan sampai Mas Doni mengotak atik dalamnya, bisnisku bisa ketahuan. "Jangan banyak tanya, sini!" ujarnya sambil mengambil paksa dari kantong. Dengan sekuat tenaga aku tetap memegang erat sampai kami bergumul rebutan ponsel. Hingga aku tergelatak
"Assalamu'alaikum!" sapaku mengucapkan salam begitu tiba di rumah orang tuaku. "Wa'alaikumussalam, loh Nduk kok tumben kamu pulang sekarang?" Wajah keterkejutan ibu tampak jelas lalu tanpa menunggu jawabanku beliau mengambil alih Nia dari gendonganku dan menyuruh kami masuk. Tanganku membawa koper hingga ke ruang tamu. Bapak yang sedang mengaji pun berhenti dan menatapku dengan heran. Netranya menelusuri tubuhku dan juga koper yang berisik saat kuseret tadi. Kusalami tangan bapak dan duduk melepas lelah di kursi yang berhadapan dengannya. Dari gerakan beliau melepas kacamata, aku tau bapak ingin meminta penjelasan dengan kepulanganku yang mendadak. Biasa aku akan mengabari bila akan pulang. Ibu meletakkan gelas berisi air di meja lalu duduk memangku Nia di sebelahku. Wanita yang sudah melahirkanku itu pun tak kalah heran, terkadang dari bibirnya mengajak Nia bicara dengan gemas. "Doni kemana, kok nggak ikut kesini?" tanya ibu angkat bicara. "Ibu seperti nggak tau aja kek mana M
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu depan. Aku bangkit untuk membukanya tapi sungguh terkejut melihat siapa yang datang malam-malam. "Mau apa kamu kesini, Mas? tanyaku dengan mata nyalang. Mas Doni hanya tersenyum saja tanpa menjawab pertanyaanku. Apa jangan-jangan dia sudah mendengar pembicaraan kami tadi tentang uangku? Alamat celaka diriku, batinku mengumpat. "Siapa Nduk yang datang?" tanya ibu tetiba sudah ada di belakangku. Aku tidak segera mempersilakan Mas Doni masuk dengan tangan masih memegang pintu yang terbuka separuh. "Mas Doni, Bu," jawabku malas. Dengan tak tau malu, Mas Doni mencium tangan ibu dengan ramah padahal aku tau dia hanya pura-pura baik. "Suruh masuk aja dia, biar jelas kita bicarakan!" pinta bapak dari dalam. Bapak pasti sudah tau siapa yang datang. Aku membuka pintu dengan ogahan, lalu melengos pergi dan duduk di sebelah bapak. Sedangkan ibu masih dengan ramah menyuruh suamiku lebih tepatnya akan menjadi mantan suami ke dalam. Mas Doni mencium tangan ba
Mas Doni tertawa, sepertinya ancamanku tidak berhasil membuatnya takut, baiklah kali ini aku akan serang kamu dengan telak. "Video apa maksud kamu, Amira? Bukankah ponselmu sudah hancur, jadi mana mungkin kamu punya video itu." Aku hanya tersenyum sinis, lalu mengambil ponsel bapak yang kupinjam dan memamerkan di depannya. Membuka simpanan video yang sudah dilihatnya kemarin, mata Mas Doni terbelalak. Bahkan ada video baru terekam jelas di sana, tepat keesokan harinya setelah aku pergi dari rumah. Sang mertua berulah kembali membongkar lemari dan buffet kecil seperti biasa akan mengambil uangku diam-diam. Bedanya kali ini pakaian tidak dihamburkan karena tidak ingin Mas Doni curiga pada ibunya. "Kamu lihat, Doni! Ini yang kamu bilang kalo Amira sudah memfitnah ibumu. Bahkan kami sudah menyaksikan bagaimana brutalnya ibumu mengacak lemari demi uang seratus ribu itu. Apakah perbuatan itu pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar mertua," gelegar suara bapak memenuhi ruang
"Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi. "Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. Sahabatku masa SMA ini boleh dibilang orang berada. Rumahnya tambah besar dan tingkat, di depan tadi juga ada mobil dan motor di garasi. Walaupun Rasmi golongan orang kaya tapi dia tidak malu berteman denganku yang hidup sederhana. Terbayang saat sekolah dulu, kami kerap belajar bersama dan mengerjakan PR di rumahnya. Mamanya Rasmi juga baik dan lembut orangnya. Beliau suka menyediakan makanan bila aku datang. Terkadang membawakank
"Kok ada ya Bu, manusia seperti itu?" tanyaku heran. Membayangkan saja aku jijik, mertua yang notabene pengganti orang tua kelakuannya tidak wajar begitu. "Sudah akhir jaman, Nduk! Sudah banyak yang edan, seperti yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Akhir jaman nanti terjadi banyak kerusakan, ya alam ya akhlak serta tingkah manusia," jelas ibu menggeleng. "Jadi, akhirnya gimana itu penggebrekannya? Berhasil toh, Bu?" tanyaku penasaran. "Ketahuan, tapi sudah kabur dua-duanya! Kasihan si Murni itu sampe trauma dia, terus mengurung diri di rumah nggak mau ketemu siapa-siapa," jawab ibu mengelus dada. Aku tidak bertanya lagi, buat apa mengurusi hidup orang lain toh hidupku juga masih banyak masalah. Tapi kesamaan dari rumah tangga kami satu yaitu mertua. Entah kenapa mertua selalu jadi pemicu retaknya rumah tangga sang anak. Aku juga tak habis pikir, kenapa yang namanya mertua sering serakah baik soal uang maupun perhatian. Seolah-olah anaknya tidak boleh bahagia, kalo b