Share

Diusir

Mas Doni tertawa, sepertinya ancamanku tidak berhasil membuatnya takut, baiklah kali ini aku akan serang kamu dengan telak.

"Video apa maksud kamu, Amira? Bukankah ponselmu sudah hancur, jadi mana mungkin kamu punya video itu."

Aku hanya tersenyum sinis, lalu mengambil ponsel bapak yang kupinjam dan memamerkan di depannya. Membuka simpanan video yang sudah dilihatnya kemarin, mata Mas Doni terbelalak.

Bahkan ada video baru terekam jelas di sana, tepat keesokan harinya setelah aku pergi dari rumah. Sang mertua berulah kembali membongkar lemari dan buffet kecil seperti biasa akan mengambil uangku diam-diam. Bedanya kali ini pakaian tidak dihamburkan karena tidak ingin Mas Doni curiga pada ibunya.

"Kamu lihat, Doni! Ini yang kamu bilang kalo Amira sudah memfitnah ibumu. Bahkan kami sudah menyaksikan bagaimana brutalnya ibumu mengacak lemari demi uang seratus ribu itu. Apakah perbuatan itu pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar mertua," gelegar suara bapak memenuhi ruang tamu.

Mas Doni diam tak berkutik, bahkan untuk memandang wajah bapak saja dia segan. Seperti maling ketangkap basah sedang mencuri, padahal yang jadi malingnya adalah ibunya sendiri.

Aku memberi ponsel itu pada bapak agar tidak direbut oleh lelaki pengecut itu. Dari lirikan matanya Mas Doni terus mengawasi gerakanku.

"Jadi, bagaimana kamu masih mau rujuk atau menceraikan Amira?" tanya bapak sekali lagi dengan tegas.

"Iya, Mas. Cepat katakan kalo nggak video ibumu aku serahkan pada polisi!" ancamku.

Mas Doni terlihat mengatupkan rahangnya. Ekspresinya seperti bingung memutuskan. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera angkat bicara.

"Baiklah, kalo gitu kita bertemu di pengadilan," ucapku bersedekap tangan.

"Bagaimana kalo Mas bujuk ibu minta maaf padamu dan janji nggak akan mengambil uangmu lagi. Kamu mau kan kembali, Amira?" rayu Mas Dion. Ternyata dia masih belum menyerah.

"Nggak, Mas! Aku tetap nggak mau kembali padamu. Karena kesalahan terbesar adalah pada dirimu, nggak becus sebagai suami juga ayah bagi Nia. Jangan karena sekarang aku banyak uang lalu seenaknya Mas menyuruhku kembali. Selama ini Mas aja sudah menelantarkanku dan Nia," ungkapku mengeluarkan uneg-uneg di depan semuanya.

"Mas hanya ingin mendidik kamu agar lebih hemat dan bisa mengatur uang belanja. Karena itu kamu mempunyai semangat mencari uang dengan menulis. Seharusnya kamu berterima kasih sama Mas, kalo nggak sampai sekarang sepersen pun kamu nggak ada simpanan. Atau jangan-jangan dalam simpanan itu ada uang yang Mas beri," pancing Mas Doni. Percaya diri sekali dia mengatakan itu.

"Uangmu, Mas? Jangan mimpi, sepersenpun uang yang kamu beri nggak pernah tersisa. Trus berterima kasih padamu? Hello, jangan harap sebaliknya aku sangat berterima kasih kalo Mas mau menceraikanku," jawabku sinis.

"Sudahlah, Don! Kalo kamu sayang ibumu menyerah aja, lepaskan Amira. Dia anak ibu juga, ibu mana yang nggak marah melihat anaknya selalu disakiti. Dari perkara kalian ibu bisa lihat kalo kamu dan ibumu nggak bisa menjaga Amira dan cucu ibu. Sebagaimana dulu kamu meminta Amira dengan baik-baik maka pulangkan juga dengan baik," ucap ibu panjang lebar menengahi perdebatan ini.

"Justru Amira istriku, Bu! Aku lebih berhak atasnya daripada kalian, tapi kenapa kalian malah mendukung kami berpisah. Perceraian itu sangat dibenci oleh Allah," sergah Mas Doni dengan membawa-bawa Pencipta alam ini dengan sok bijak.

"Ibu tau, tapi cara kamu sudah salah. Mendukung yang salah dan menyalahkan yang benar, itu bukan sikap seorang pemimpin. Kamu kepala keluarga harus adil, antara istri dan ibumu. Apa kamu nggak pernah dengar ustad bagi ceramah hendaknya kamu dahului anak istri soal nafkah baru setelah itu ibumu dan keluarga yang lain," nasehat ibu memberikan menantunya itu kepemahaman agama.

"Tapi ibuku bilang ___"

"Stop, Mas! Sudah, aku muak mendengarnya. Sekarang sebaiknya Mas pergi dari sini," potongku cepat lalu mendorong tubuhnya keluar dari rumah.

Tak aku hiraukan segala perkataannya sampai sebelum pintu tertutup segara aku usir. "Pergi kamu, Mas! Kita selesaikan ini di pengadilan!" pekikku lalu membanting pintu depan hingga berbunyi keras.

Dadaku bergemuruh menahan kesal yang luar biasa. Dengan napas memburu aku segera menghambur ke dalam kamar karena mendengar tangisan Nia. Dia pasti kaget dengan suara pintu yang kututup tadi.

"Cup, cup, anak baik. Nggak apa-apa, ibu di sini Sayang!" ucapku menenangkan Nia. Segera aku memeluk sambil menepuk pelan punggungnya. Tidak lama aku pun tertidur saking lelahnya berdebat dengan manusia tak tau diri tadi.

***

Suasana pagi di rumah orang tuaku begitu hangat, walaupun terletak di pinggiran kota orang-orang sudah pada sibuk beraktivitas sejak Subuh tadi. Bapak masih berada Masjid, sementara diriku sedang membantu ibu di dapur.

Lauk dihidangkan di meja bertepatan dengan kepulangan bapak. Nia yang sudah bangun, duduk sambil meminum susu melihat kartun kesukaannya.

"Kakek, minum susu!" tawar Nia menunjukkan botol susunya pada bapak yang mendekat.

"Wah, cucu kakek hebat. Habisi minum susunya ya!" Nia mengangguk kala bapak berucap demikian. Dengan sayang mengusap kepala Nia dengan lembut.

"Anakmu nggak rewel, Nduk!" ucap bapak setelah berganti pakaian.

"Iya, Pak! Alhamdulillah, Nia anteng. Bahkan jarang menangis mencari ayahnya. Wong Mas Doni pun jarang berinteraksi dengan anaknya sendiri. Hari-hari selalu dihabiskan dengan kesibukannya sendiri, nongkrong dan sering di rumah ibunya juga daripada mengajak main Nia," jawabku mengeluh.

Ibu cuma menggeleng mendengarku bicara. Mungkin baginya itu kelewatan tapi aku sudah terbiasa. Dengan begitu aku punya waktu untuk menulis cerita tanpa diketahui oleh Mas Doni.

"Bu, selesai sarapan aku titip Nia ya!"

"Kamu mau kemana, Nduk?" tanya ibu sambil mengisi piring dengan nasi.

"Mau ke rumah teman sekalian beli ponsel baru untuk melanjutkan menulis," jawabku. Sudah dua hari aku tidak menulis karena masalah dengan Mas Doni ini.

"Pergilah, hati-hati di jalan nanti."

Usai sarapan aku berangkat menggunakan ojek, maklum sepeda motor cuma satu itupun sudah butut dan dipakai bapak untuk bekerja.

Jam di pergelangan tangan menunjukkan waktu sembilan lewat sepuluh menit. Aku sampai di rumah sahabatku saat duduk di bangku SMA. Tadi pagi sudah mengabarkan pada Rasmi bila aku akan datang ke rumahnya. Dia senang bukan kepalang.

"Masuk, Amira!" serunya saat aku baru saja menjejakan kaki ke teras rumahnya. Kami berpelukan melepas rindu yang sudah lama tidak bertemu.

"Apa kabarmu, Amira? Kok sendirian kesini, mana anak dan suamimu?" Rasmi memberondong pertanyaan dengan celingukan.

"Aku datang sendiri, Ras! Nggak menganggu kan?"

Rasmi menggeleng dengan senyum. "Nggak kok, aku malah senang kamu datang. Tumben sekarang inget padaku, kemarin-kemarin kemana aja?"

Aku tertawa dan menyubit pipi Rasmi dengan gemas karena merajuk. Dia pun mengaduh kesakitan lalu balik menyubitku tapi segera aku menghindar darinya dan saat akan berlari tidak memperhatikan jalan tiba-tiba aku menabrak sesuatu.

Bagai di dalam dongeng, di hadapanku berdiri tubuh kekar yang kutabrak tadi hingga merangkulku. Aku mendongak ke atas dan melihat wajahnya yang tampan sedang tersenyum. Siapa dia? gumamku heran.

"He'em!" 

Suara deheman Rasmi menyadarkanku, segera aku melepas diri dari rangkulan lelaki di depan. Sungguh aku sangat malu, andai tadi aku tidak dipegangnya pasti jatuh. 

"Maaf, Mas!" ucapku sambil menunduk. 

"Nggak apa-apa, kelihatan kalian sedang senang hingga berlarian. Persis anak kecil aja," guraunya tertawa. 

Aku menoleh pada Rasmi yang tersenyum melihatku, dasar teman tak ada akhlak wajahku sudah kepiting rebus saking malunya eh dia malah senang. 

"Kamu lagi, sudah sebesar ini masih aja pecicilan. Ajak masuk tamunya," kata lelaki itu seraya menjitak dahi Rasmi lalu dia mengaduh kesakitan. Giliran aku yang terkekeh melihatnya. 

Rasmi yang manyun tadi segera balik ceria dan menggandeng tanganku. "Yuk, masuk Amira!" 

Lelaki tadi sudah tidak nampak setelah masuk ke dalam rumah. Aku pun berbisik pada Rasmi. "Siapa dia, Ras?" 

Rasmi mengerutkan dahinya, menghentikan langkahnya sebelum kami masuk ke rumah. Menatapku sejenak yang tak aku mengerti kenapa dia seperti itu. 

"Kamu lupa, Amira? Dia itu Mas Kevin, abang sepupuku dulu sering membantu kita mengerjakan PR," ungkap Rasmi menepuk dahinya. 

"Oh iya, aku ingat! Sekarang tambah cakep ya!" kataku cekikan. 

"Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi. 

"Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. 

Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. 

Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. 

Pandanganku berhenti pada meja di depan. Di situlah kami dulu mengerjakan ulangan sekolah. Sampai suatu hari seorang lelaki yang dikenalkan Rasmi sebagai sepupunya, membantu kami belajar saat ada soal yang sulit. 

Masa itu kami masih culun, lugu dan juga akrab. Tidak ada perasaan yang istimewa, karena Rasmi sahabatku maka aku menghormati Mas Kevin sebagai sepupu Rasmi. 

Sekarang sudah tujuh tahun berlalu tak disangka Mas Kevin banyak berubah seperti tadi. Bahkan aku sampai tidak mengenalnya, hanya keusilannya saja yang tidak pudar. Suka menjitak dahi Rasmi. Aku pun tersenyum mengingat kembali masa lalu itu.  

"Ngapa senyum-senyum sendiri, kumat ya! Gawat, jangan-jangan kamu masih kena pesona Mas Kevin ini!" sindir Rasmi begitu datang dari dapur. 

~~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status