Mas Doni tertawa, sepertinya ancamanku tidak berhasil membuatnya takut, baiklah kali ini aku akan serang kamu dengan telak.
"Video apa maksud kamu, Amira? Bukankah ponselmu sudah hancur, jadi mana mungkin kamu punya video itu." Aku hanya tersenyum sinis, lalu mengambil ponsel bapak yang kupinjam dan memamerkan di depannya. Membuka simpanan video yang sudah dilihatnya kemarin, mata Mas Doni terbelalak. Bahkan ada video baru terekam jelas di sana, tepat keesokan harinya setelah aku pergi dari rumah. Sang mertua berulah kembali membongkar lemari dan buffet kecil seperti biasa akan mengambil uangku diam-diam. Bedanya kali ini pakaian tidak dihamburkan karena tidak ingin Mas Doni curiga pada ibunya. "Kamu lihat, Doni! Ini yang kamu bilang kalo Amira sudah memfitnah ibumu. Bahkan kami sudah menyaksikan bagaimana brutalnya ibumu mengacak lemari demi uang seratus ribu itu. Apakah perbuatan itu pantas dilakukan oleh seorang yang bergelar mertua," gelegar suara bapak memenuhi ruang tamu. Mas Doni diam tak berkutik, bahkan untuk memandang wajah bapak saja dia segan. Seperti maling ketangkap basah sedang mencuri, padahal yang jadi malingnya adalah ibunya sendiri. Aku memberi ponsel itu pada bapak agar tidak direbut oleh lelaki pengecut itu. Dari lirikan matanya Mas Doni terus mengawasi gerakanku. "Jadi, bagaimana kamu masih mau rujuk atau menceraikan Amira?" tanya bapak sekali lagi dengan tegas. "Iya, Mas. Cepat katakan kalo nggak video ibumu aku serahkan pada polisi!" ancamku. Mas Doni terlihat mengatupkan rahangnya. Ekspresinya seperti bingung memutuskan. Tanpa menunggu jawabannya, aku segera angkat bicara. "Baiklah, kalo gitu kita bertemu di pengadilan," ucapku bersedekap tangan. "Bagaimana kalo Mas bujuk ibu minta maaf padamu dan janji nggak akan mengambil uangmu lagi. Kamu mau kan kembali, Amira?" rayu Mas Dion. Ternyata dia masih belum menyerah. "Nggak, Mas! Aku tetap nggak mau kembali padamu. Karena kesalahan terbesar adalah pada dirimu, nggak becus sebagai suami juga ayah bagi Nia. Jangan karena sekarang aku banyak uang lalu seenaknya Mas menyuruhku kembali. Selama ini Mas aja sudah menelantarkanku dan Nia," ungkapku mengeluarkan uneg-uneg di depan semuanya. "Mas hanya ingin mendidik kamu agar lebih hemat dan bisa mengatur uang belanja. Karena itu kamu mempunyai semangat mencari uang dengan menulis. Seharusnya kamu berterima kasih sama Mas, kalo nggak sampai sekarang sepersen pun kamu nggak ada simpanan. Atau jangan-jangan dalam simpanan itu ada uang yang Mas beri," pancing Mas Doni. Percaya diri sekali dia mengatakan itu. "Uangmu, Mas? Jangan mimpi, sepersenpun uang yang kamu beri nggak pernah tersisa. Trus berterima kasih padamu? Hello, jangan harap sebaliknya aku sangat berterima kasih kalo Mas mau menceraikanku," jawabku sinis. "Sudahlah, Don! Kalo kamu sayang ibumu menyerah aja, lepaskan Amira. Dia anak ibu juga, ibu mana yang nggak marah melihat anaknya selalu disakiti. Dari perkara kalian ibu bisa lihat kalo kamu dan ibumu nggak bisa menjaga Amira dan cucu ibu. Sebagaimana dulu kamu meminta Amira dengan baik-baik maka pulangkan juga dengan baik," ucap ibu panjang lebar menengahi perdebatan ini. "Justru Amira istriku, Bu! Aku lebih berhak atasnya daripada kalian, tapi kenapa kalian malah mendukung kami berpisah. Perceraian itu sangat dibenci oleh Allah," sergah Mas Doni dengan membawa-bawa Pencipta alam ini dengan sok bijak. "Ibu tau, tapi cara kamu sudah salah. Mendukung yang salah dan menyalahkan yang benar, itu bukan sikap seorang pemimpin. Kamu kepala keluarga harus adil, antara istri dan ibumu. Apa kamu nggak pernah dengar ustad bagi ceramah hendaknya kamu dahului anak istri soal nafkah baru setelah itu ibumu dan keluarga yang lain," nasehat ibu memberikan menantunya itu kepemahaman agama. "Tapi ibuku bilang ___" "Stop, Mas! Sudah, aku muak mendengarnya. Sekarang sebaiknya Mas pergi dari sini," potongku cepat lalu mendorong tubuhnya keluar dari rumah. Tak aku hiraukan segala perkataannya sampai sebelum pintu tertutup segara aku usir. "Pergi kamu, Mas! Kita selesaikan ini di pengadilan!" pekikku lalu membanting pintu depan hingga berbunyi keras. Dadaku bergemuruh menahan kesal yang luar biasa. Dengan napas memburu aku segera menghambur ke dalam kamar karena mendengar tangisan Nia. Dia pasti kaget dengan suara pintu yang kututup tadi. "Cup, cup, anak baik. Nggak apa-apa, ibu di sini Sayang!" ucapku menenangkan Nia. Segera aku memeluk sambil menepuk pelan punggungnya. Tidak lama aku pun tertidur saking lelahnya berdebat dengan manusia tak tau diri tadi. *** Suasana pagi di rumah orang tuaku begitu hangat, walaupun terletak di pinggiran kota orang-orang sudah pada sibuk beraktivitas sejak Subuh tadi. Bapak masih berada Masjid, sementara diriku sedang membantu ibu di dapur. Lauk dihidangkan di meja bertepatan dengan kepulangan bapak. Nia yang sudah bangun, duduk sambil meminum susu melihat kartun kesukaannya. "Kakek, minum susu!" tawar Nia menunjukkan botol susunya pada bapak yang mendekat. "Wah, cucu kakek hebat. Habisi minum susunya ya!" Nia mengangguk kala bapak berucap demikian. Dengan sayang mengusap kepala Nia dengan lembut. "Anakmu nggak rewel, Nduk!" ucap bapak setelah berganti pakaian. "Iya, Pak! Alhamdulillah, Nia anteng. Bahkan jarang menangis mencari ayahnya. Wong Mas Doni pun jarang berinteraksi dengan anaknya sendiri. Hari-hari selalu dihabiskan dengan kesibukannya sendiri, nongkrong dan sering di rumah ibunya juga daripada mengajak main Nia," jawabku mengeluh. Ibu cuma menggeleng mendengarku bicara. Mungkin baginya itu kelewatan tapi aku sudah terbiasa. Dengan begitu aku punya waktu untuk menulis cerita tanpa diketahui oleh Mas Doni. "Bu, selesai sarapan aku titip Nia ya!" "Kamu mau kemana, Nduk?" tanya ibu sambil mengisi piring dengan nasi. "Mau ke rumah teman sekalian beli ponsel baru untuk melanjutkan menulis," jawabku. Sudah dua hari aku tidak menulis karena masalah dengan Mas Doni ini. "Pergilah, hati-hati di jalan nanti." Usai sarapan aku berangkat menggunakan ojek, maklum sepeda motor cuma satu itupun sudah butut dan dipakai bapak untuk bekerja. Jam di pergelangan tangan menunjukkan waktu sembilan lewat sepuluh menit. Aku sampai di rumah sahabatku saat duduk di bangku SMA. Tadi pagi sudah mengabarkan pada Rasmi bila aku akan datang ke rumahnya. Dia senang bukan kepalang. "Masuk, Amira!" serunya saat aku baru saja menjejakan kaki ke teras rumahnya. Kami berpelukan melepas rindu yang sudah lama tidak bertemu. "Apa kabarmu, Amira? Kok sendirian kesini, mana anak dan suamimu?" Rasmi memberondong pertanyaan dengan celingukan. "Aku datang sendiri, Ras! Nggak menganggu kan?" Rasmi menggeleng dengan senyum. "Nggak kok, aku malah senang kamu datang. Tumben sekarang inget padaku, kemarin-kemarin kemana aja?" Aku tertawa dan menyubit pipi Rasmi dengan gemas karena merajuk. Dia pun mengaduh kesakitan lalu balik menyubitku tapi segera aku menghindar darinya dan saat akan berlari tidak memperhatikan jalan tiba-tiba aku menabrak sesuatu. Bagai di dalam dongeng, di hadapanku berdiri tubuh kekar yang kutabrak tadi hingga merangkulku. Aku mendongak ke atas dan melihat wajahnya yang tampan sedang tersenyum. Siapa dia? gumamku heran. "He'em!" Suara deheman Rasmi menyadarkanku, segera aku melepas diri dari rangkulan lelaki di depan. Sungguh aku sangat malu, andai tadi aku tidak dipegangnya pasti jatuh. "Maaf, Mas!" ucapku sambil menunduk. "Nggak apa-apa, kelihatan kalian sedang senang hingga berlarian. Persis anak kecil aja," guraunya tertawa. Aku menoleh pada Rasmi yang tersenyum melihatku, dasar teman tak ada akhlak wajahku sudah kepiting rebus saking malunya eh dia malah senang. "Kamu lagi, sudah sebesar ini masih aja pecicilan. Ajak masuk tamunya," kata lelaki itu seraya menjitak dahi Rasmi lalu dia mengaduh kesakitan. Giliran aku yang terkekeh melihatnya. Rasmi yang manyun tadi segera balik ceria dan menggandeng tanganku. "Yuk, masuk Amira!" Lelaki tadi sudah tidak nampak setelah masuk ke dalam rumah. Aku pun berbisik pada Rasmi. "Siapa dia, Ras?" Rasmi mengerutkan dahinya, menghentikan langkahnya sebelum kami masuk ke rumah. Menatapku sejenak yang tak aku mengerti kenapa dia seperti itu. "Kamu lupa, Amira? Dia itu Mas Kevin, abang sepupuku dulu sering membantu kita mengerjakan PR," ungkap Rasmi menepuk dahinya. "Oh iya, aku ingat! Sekarang tambah cakep ya!" kataku cekikan. "Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi. "Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. Pandanganku berhenti pada meja di depan. Di situlah kami dulu mengerjakan ulangan sekolah. Sampai suatu hari seorang lelaki yang dikenalkan Rasmi sebagai sepupunya, membantu kami belajar saat ada soal yang sulit. Masa itu kami masih culun, lugu dan juga akrab. Tidak ada perasaan yang istimewa, karena Rasmi sahabatku maka aku menghormati Mas Kevin sebagai sepupu Rasmi. Sekarang sudah tujuh tahun berlalu tak disangka Mas Kevin banyak berubah seperti tadi. Bahkan aku sampai tidak mengenalnya, hanya keusilannya saja yang tidak pudar. Suka menjitak dahi Rasmi. Aku pun tersenyum mengingat kembali masa lalu itu. "Ngapa senyum-senyum sendiri, kumat ya! Gawat, jangan-jangan kamu masih kena pesona Mas Kevin ini!" sindir Rasmi begitu datang dari dapur. ~~~~~"Ingat Amira, kamu sudah punya suami jangan terpesona," ledek Rasmi. "Siapa yang terpesona, wong aku cuma bilang cakep kan memang kenyataan," semburku lalu terdiam. Walaupun aku sudah punya suami dan anak, bila bertemu sohib lama seperti inilah. Kembali sikapnya ke dulu lagi, manja, merajuk bahkan sering usil seperti saat berlari tadi. Rasmi menyuruhku duduk di sofa sementara dia ke belakang mengambil minum. Aku memperhatikan sekeliling ruangan dalam. Sudah banyak yang berubah, aneka barang antik dan pecah belah tersusun rapi di lemari kaca yang besar. Sahabatku masa SMA ini boleh dibilang orang berada. Rumahnya tambah besar dan tingkat, di depan tadi juga ada mobil dan motor di garasi. Walaupun Rasmi golongan orang kaya tapi dia tidak malu berteman denganku yang hidup sederhana. Terbayang saat sekolah dulu, kami kerap belajar bersama dan mengerjakan PR di rumahnya. Mamanya Rasmi juga baik dan lembut orangnya. Beliau suka menyediakan makanan bila aku datang. Terkadang membawakank
"Kok ada ya Bu, manusia seperti itu?" tanyaku heran. Membayangkan saja aku jijik, mertua yang notabene pengganti orang tua kelakuannya tidak wajar begitu. "Sudah akhir jaman, Nduk! Sudah banyak yang edan, seperti yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Akhir jaman nanti terjadi banyak kerusakan, ya alam ya akhlak serta tingkah manusia," jelas ibu menggeleng. "Jadi, akhirnya gimana itu penggebrekannya? Berhasil toh, Bu?" tanyaku penasaran. "Ketahuan, tapi sudah kabur dua-duanya! Kasihan si Murni itu sampe trauma dia, terus mengurung diri di rumah nggak mau ketemu siapa-siapa," jawab ibu mengelus dada. Aku tidak bertanya lagi, buat apa mengurusi hidup orang lain toh hidupku juga masih banyak masalah. Tapi kesamaan dari rumah tangga kami satu yaitu mertua. Entah kenapa mertua selalu jadi pemicu retaknya rumah tangga sang anak. Aku juga tak habis pikir, kenapa yang namanya mertua sering serakah baik soal uang maupun perhatian. Seolah-olah anaknya tidak boleh bahagia, kalo b
Tanpa salam tanpa permisi, Mas Doni menyelonong masuk dan bertepuk tangan dengan menyeringai. Mau apa lagi dia kemari, batinku kesal. "Mau apa kamu kesini?" Kali ini bapak yang bertanya. "Menantu datang ke rumah mertua nggak salah 'kan!" celetuk mertua. Ternyata Mas Doni tidak datang sendirian melainkan bersama ibunya. "Kenapa, Pak? Apa Doni nggak boleh datang?" sahutnya sinis. "Nggak disangka kalian ingin kami bercerai ternyata sudah ada laki-laki lain," sambungnya lagi seraya melirik Mas Kevin. Lelaki yang berprofesi pengacara itu bersikap tenang, tidak terpancing oleh perkataan Mas Doni. Di sini aku yang malu padanya akan sikap mantan suami yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri. "Betul itu, Amira? Kamu itu belum sah berpisah sudah menggaet laki-laki lain. Apa coba namanya kalo bukan perempuan gatel, begini didikan besan rupanya," ejek mertua. "Jangan bicara sembarangan besan, anak kami begini juga karena kelakuan Doni dan besan sebagai ibunya," sergah ibu
Sudah hampir sebulan berlalu, keadaan sangat tenang. Surat gugatan cerai juga sudah sampai ke tangan Mas Doni. Akan tetapi, baik dia maupun ibunya tidak ada kabar setelah hakim memutuskan perceraian kami. Mungkin mereka hanya bisa pasrah. Hatiku lega sidang bisa berjalan lancar, setidaknya biar statusku jelas. Walaupun aku akui masih ada rasa di hati ini tapi aku lebih pertimbangkan ke depannya. Demi kesehatan mentalku dan juga psikis Nia. "Nduk, Doni kok nggak pernah jenguk Nia sekalipun?" tanya ibu suatu hari saat kami lagi istirahat siang. "Amira juga nggak tau, Bu! Mungkin aja dia sibuk, lah biasa memang gitu. Mana pernah peduli dia dengan Nia," gerutuku. Teringat dulu kala masih tinggal dengan mantan suami. Mas Doni yang bekerja sebagai karyawan toko bila libur yang ada dibenaknya hanya bersantai. Kalo tidak main game, nongkrong atau di rumah ibunya seharian. "Mas, kalo kamu di rumah itu ajak main kenapa Nia. Dia itu juga anakmu, jaga dia sebentar biar aku bisa mengerjakan y
Entah sejak kapan, Amira--istri yang kunikahi dua tahun lalu begitu mulai perhitungan. Jatah belanja yang kuberi 500 ribu untuk sebulan mulai dikeluhkannya. Aku tidak habis pikir, uang segitu seharusnya cukup untuk sebulan. Karena pengeluaran hanya untuk belanja, tidak bayar sewa rumah ataupun cicilan. Akan tetapi, Amira terus meminta uang alasannya untuk membeli susu Nia. Seperti saat itu, aku yang baru saja pulang kerja harus mendengar keluhannya. "Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasnya menadahkan tangan. "Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," semburku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhnya kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentakku seraya berlalu. Aku sun
Sudah hampir lewat tanggal jatuh tempo yang diputuskan hakim untuk Mas Doni menafkahi Nia. Bila dia pura-pura lupa atau tidak mau maka siap-siap saja dia jantungan. Aku akan menunggu sampai dua hari ini. Sesuai permintaanku pada hakim bahwa Mas Doni wajib menafkahi Nia sebesar satu juta tiap bulan. Itu sudah keringanan yang kuberikan padanya, mengingat gajinya yang cuma dua juta. Jadi, selama kami berpisah dia cukup memenuhi kebutuhan sendiri. Aku tau kalo Mas Doni dapat kenaikan gaji karena saat itu tidak sengaja mendengar. Ya, diam-diam aku pergi ke rumah mertua. Ingin melihat apa saja yang dilakukan mantan suamiku itu di sana. Sengaja aku jalan lewat belakang agar tidak diketahui. [Mas, jangan lupa nafkah Nia!] kuketik pesan pada Ayah Nia sedari pagi. [Hapus itu video, kalo nggak jangan harap!] [Seharusnya kamu mikir, Mas! Nia itu anak kamu juga jadi sudah wajib kamu nafkahi tanpa embel-embel video] balasan kukirim dengan emot kesal. [Yang minta ceraikan kamu, jadi kamu tangg
Alhamdulillah, beberapa hari buka warung berjalan lancar. Semakin banyak yang belanja membuatku kewalahan hingga dibantu ibu. Apalagi setelah Subuh banyak yang sudah antri karena ibu-ibu pada masak buat bekal kerja suaminya. "Neng, kok tambah mahal sekarang ya?" keluh seorang ibu sambil memilih ikan. "Ya Bu, apalagi jelang tahun baru ini. Semua harga naik dari sananya, biasa juga gitu pas jelang lebaran 'kan," jawabku tersenyum. Sebisa mungkin aku ramah dan sabar karena pembeli adalah raja jadi dilayani sebaik mungkin. Warung juga belum lama buka jadi setidaknya jangan buat mereka tidak kecewa. "Tapi di warung Amira ini lebih murah loh, Jeng! Daripada warung Kang Kasman sana, padahal dia sudah berdagang lama," sergah Budhe Rasmi membelaku. Lagi-lagi aku tersenyum menanggapinya seraya menghitung belanjaan pembeli lain. Dari awal buka Budhe Rasmi sudah seperti tangan kananku saja yang bantu mulai promosi hingga juru bicara. Lucu juga kalo Kang warung saja punya jubir. "Ibu-ibu ngg
Aku mencibir sinis melihat keduanya pucat pasi. Tadinya terlihat garang tapi seketika melempem begitu kelemahan mereka ada dalam genggamanku. "Dari mana Mbak tau soal itu?" tanyanya heran. "Nggak perlu kamu tau yang penting kamu nggak mencegah Mas Doni menafkahi anaknya sendiri. Kalo nggak aku nggak jamin video kamu aman, ngerti kamu!" ancamku. "Sudah, Win! Kita pulang aja, di sini kita hanya dapat malu aja. Ibu yakin, Amira pasti sudah menghasut mereka semua," ajak mantan mertua menarik tangan wanita muda itu. Keduanya kemudian pergi setelah disoraki oleh ibu-ibu di sini. Raut wajah ibunya Doni sekali lagi menatap benci padaku. Entah apa lagi yang akan diperbuatnya, tak kuambil pusing. Lebih baik melanjutkan lagi dagang yang sempat tertunda tadi. "Memang ya mantan mertua kamu itu lagaknya kaya tapi ternyata mental miskin," tuding Budhe Rasmi geram. "Iya, untung aja Nak Amira sudah cerai dari suaminya. Kelakuannya ibu tadi naudzubillah!" ucapnya seorang ibu sambil menggeleng kep
"Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk
Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya
"Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema
"Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "
"Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab
Deheman dari orang yang lewat menyadarkan kami. Dengan tersipu malu aku menyembunyikan wajah, Mas Kevin segera membantuku berdiri. "Kamu nggak apa-apa, Amira?" tanyanya begitu kami sudah posisi normal. "Nggak Mas, maaf ya aku kurang hati-hati," jawabku dengan memperhatikan sekeliling. Untung saja tidak berapa ramai di taman ini, malu sekali andai banyak yang melihat. "Seperti biasa kamu sering jatuh, tapi tenang aja mulai sekarang Mas yang akan memegangmu." Aku mengangguk tersenyum mana kala tangannya dengan lembut tetap menggenggam tanganku. Kami pun melanjutkan langkah masuk ke dalam restoran. Sebelum tiba di meja tempat berkumpul kedua calon besan, semua mata memandang tak berkedip. Tatapan mereka turun ke tangan kami dan tersenyum-senyum. "Wah, sepertinya ada kabar baik nih!" seru Rasmi girang. Mas Kevin melepaskan tangannya lalu kami duduk di tempat semula. "Gimana Vin, sukses?" tanya Om Burhan memancing. "Kalungnya bagus banget, Nduk!" celetuk ibu sebelum Mas kevin sempa
Untuk sesaat aku terpana, Mas Kevin yang tau sedang kupandangi tersenyum. Kemudian berhenti melangkah lalu menyalami kedua orang tuaku dengan takzim. "Apa kabar Paman dan Bibi?" tanya Mas Kevin ramah. "Alhamdulillah baik, Kevin! Kamu sendiri gimana?" sahut bapak. "Alhamdulillah juga, Paman! Maaf kalo merepotkan Paman dan Bibi datang kemari," ujarnya tidak enak. "Nggak apa-apa, Cah bagus! Kami senang kok, ya kan Amira?" sentak ibu menyadarkanku. Aku jadi tersipu kala semua mata menatapku. Sepertinya aku ketahuan sedang melamun lalu secepatnya mengangguk. "Ya, Bu! Tanya apa tadi?" Sontak mereka tertawa dan itu sukses membuatku jadi malu. Wajahku sudah seperti kepiting rebus, merah merona. "Cieee, malu dia!" celetuk Rasmi yang tak ayal menimbulkan gema tawa kembali. "Sudah, sudah! Jangan goda Amira lagi, kita makan dulu," ucap Tante Ayu tersenyum lalu menunjuk pelayan yang datang membawa pesanan. Tidak lama suara sendok beradu pada masing-masing piring siempunya yang sedang maka
Terkejut menghiasi wajahku maupun bapak. Perkataan ibu begitu tidak disangka. Benarkah kalo Bu Ratna itu pernah menyukai bapak. "Bu, ibu nggak salah ngomong gitu?" tanya bapak shock. Ibu menggeleng. "Mungkin sebab cintanya nggak tercapai pada bapak hingga dia berani memfitnah Amira," ucap ibu lagi. "Kok bapak nggak tau, Bu?" "Ibu juga tau dari Budhenya bapak, dulu saat bapak akan melamar ibu. Katanya Jeng Ratna itu sempat menaruh hati tapi bapaknya nggak peka," jelas ibu. "Ya mana bapak tau, wong dia aja nggak ngomong apa-apa. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Bapak malah lebih beruntung bisa menikah dengan ibu," sahut bapak tersenyum. Pipi ibu merona dipuji bapak sedemikian, aku pun juga terkekeh geli dalam hati. Melihat orang tuaku teringat diriku sendiri. Entah kapan aku bisa dapat jodoh awet sampai tua seperti mereka ya Allah, batinku sedih. Begitu jam berdentang pukul sepuluh malam, kami beranjak ke peraduan masing-masing. Aku menidurkan Nia di kasur, kutatap wajahnya yang ter