Entah sejak kapan, Amira--istri yang kunikahi dua tahun lalu begitu mulai perhitungan. Jatah belanja yang kuberi 500 ribu untuk sebulan mulai dikeluhkannya. Aku tidak habis pikir, uang segitu seharusnya cukup untuk sebulan. Karena pengeluaran hanya untuk belanja, tidak bayar sewa rumah ataupun cicilan. Akan tetapi, Amira terus meminta uang alasannya untuk membeli susu Nia. Seperti saat itu, aku yang baru saja pulang kerja harus mendengar keluhannya. "Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasnya menadahkan tangan. "Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," semburku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhnya kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentakku seraya berlalu. Aku sun
Sudah hampir lewat tanggal jatuh tempo yang diputuskan hakim untuk Mas Doni menafkahi Nia. Bila dia pura-pura lupa atau tidak mau maka siap-siap saja dia jantungan. Aku akan menunggu sampai dua hari ini. Sesuai permintaanku pada hakim bahwa Mas Doni wajib menafkahi Nia sebesar satu juta tiap bulan. Itu sudah keringanan yang kuberikan padanya, mengingat gajinya yang cuma dua juta. Jadi, selama kami berpisah dia cukup memenuhi kebutuhan sendiri. Aku tau kalo Mas Doni dapat kenaikan gaji karena saat itu tidak sengaja mendengar. Ya, diam-diam aku pergi ke rumah mertua. Ingin melihat apa saja yang dilakukan mantan suamiku itu di sana. Sengaja aku jalan lewat belakang agar tidak diketahui. [Mas, jangan lupa nafkah Nia!] kuketik pesan pada Ayah Nia sedari pagi. [Hapus itu video, kalo nggak jangan harap!] [Seharusnya kamu mikir, Mas! Nia itu anak kamu juga jadi sudah wajib kamu nafkahi tanpa embel-embel video] balasan kukirim dengan emot kesal. [Yang minta ceraikan kamu, jadi kamu tangg
Alhamdulillah, beberapa hari buka warung berjalan lancar. Semakin banyak yang belanja membuatku kewalahan hingga dibantu ibu. Apalagi setelah Subuh banyak yang sudah antri karena ibu-ibu pada masak buat bekal kerja suaminya. "Neng, kok tambah mahal sekarang ya?" keluh seorang ibu sambil memilih ikan. "Ya Bu, apalagi jelang tahun baru ini. Semua harga naik dari sananya, biasa juga gitu pas jelang lebaran 'kan," jawabku tersenyum. Sebisa mungkin aku ramah dan sabar karena pembeli adalah raja jadi dilayani sebaik mungkin. Warung juga belum lama buka jadi setidaknya jangan buat mereka tidak kecewa. "Tapi di warung Amira ini lebih murah loh, Jeng! Daripada warung Kang Kasman sana, padahal dia sudah berdagang lama," sergah Budhe Rasmi membelaku. Lagi-lagi aku tersenyum menanggapinya seraya menghitung belanjaan pembeli lain. Dari awal buka Budhe Rasmi sudah seperti tangan kananku saja yang bantu mulai promosi hingga juru bicara. Lucu juga kalo Kang warung saja punya jubir. "Ibu-ibu ngg
Aku mencibir sinis melihat keduanya pucat pasi. Tadinya terlihat garang tapi seketika melempem begitu kelemahan mereka ada dalam genggamanku. "Dari mana Mbak tau soal itu?" tanyanya heran. "Nggak perlu kamu tau yang penting kamu nggak mencegah Mas Doni menafkahi anaknya sendiri. Kalo nggak aku nggak jamin video kamu aman, ngerti kamu!" ancamku. "Sudah, Win! Kita pulang aja, di sini kita hanya dapat malu aja. Ibu yakin, Amira pasti sudah menghasut mereka semua," ajak mantan mertua menarik tangan wanita muda itu. Keduanya kemudian pergi setelah disoraki oleh ibu-ibu di sini. Raut wajah ibunya Doni sekali lagi menatap benci padaku. Entah apa lagi yang akan diperbuatnya, tak kuambil pusing. Lebih baik melanjutkan lagi dagang yang sempat tertunda tadi. "Memang ya mantan mertua kamu itu lagaknya kaya tapi ternyata mental miskin," tuding Budhe Rasmi geram. "Iya, untung aja Nak Amira sudah cerai dari suaminya. Kelakuannya ibu tadi naudzubillah!" ucapnya seorang ibu sambil menggeleng kep
Adzan Subuh terdengar mengalun merdu, seperti biasa kami sekeluarga menunaikan ibadah lima waktu tersebut. Waktunya bertepatan saat pulang belanja dari pasar induk. Setiap hari pukul tiga dini hari, aku sudah bangun bersiap untuk ke pasar. Sementara belum memiliki mobil pick up, aku cuma mampu membeli becak barang. Lumayanlah masih cukup mengangkut barang daganganku. "Mang, sholat Subuh dulu!" titahku setelah kami tiba di rumah dan bermaksud hendak menurunkan barang tapi kucegah. Awalnya bapak yang mengantarku ke pasar tapi malam itu saat kami baru saja siap makan, Mang Asep bertandang ke rumah. Dengan wajah sedih beliau mengutarakan ingin mencari pekerjaan. "Amira, bagaimana kalo Mang Asep yang menggantikan tugas bapak ke pasar?" tanya bapak padaku meminta pendapat. "Tapi mau digaji berapa, Pak? Warung juga belum terlalu besar, takut nggak bisa gaji Mamang," sahutku ragu. Ya, warung juga belum lama buka masih baru berjalan. Aku juga belum ada nabung hasil dagang, masih mutar mo
"Sudah, jangan sedih Amira! Budhe cuma kasih saran aja tadi, tapi semua berpulang kepada dirimu. Jadi janda harus pandai bawa diri, banyak gunjingan seliweran sana sini," hibur Budhe Rasmi merasa tidak enak. "Amira tau, Budhe! Saat ini Amira masih fokus pada Nia dan usaha warung ini dulu. Nanti kalo jodoh sudah datang, Amira pasti nggak nolak kok," sahutku yakin. Ibu tersenyum sembari mengelus punggungku. Sebagai orang tuaku, beliau tidak pernah memaksaku cepat menikah. Bagaimanapun jika seorang janda ingin merajut rumah tangga lagi itu adalah terserah dirinya sendiri. Keputusan tetap ada di tangan si janda. "Kalo si pengacara itu bagaimana?" celetuk Budhe Rasmi tiba-tiba mengungkit Mas Kevin. "Maksud kamu Cah bagus itu?" sahut ibu kaget. Budhe Rasmi mengangguk. "Namanya Mas kevin, Bu, Budhe! Dia cuma teman, masih lajang juga mapan. Mana mungkin dia mau sama Amira yang janda dan susah ini," sergahku tertawa. "Jangan salah, Amira! Janda sekarang selalu terdepan, kamu lihat si Wan
Aku tersedak kala Bagas mengucapkan siapa orang yang dimaksud ibu. Tak ayal aku pun berganti tertawa, lagi-lagi Mas Kevin diseret-seret ibu. "Kok ketawa, Mbak?" tanya Bagas heran. "Ibu seloroh aja loh, Gas! Cah bagus itu namanya Mas Kevin, pengacara yang membantu mengurus perceraian Mbak. Jadi, mana mungkin dia tertarik dengan Mbak yang sudah janda ini," jawabku melucu. "Loh, bisa aja Mbak! Di dunia ini nggak ada yang mustahil kalo Allah SWT sudah berkehendak. Diaminkan aja Mbak, semoga terkabul harapan ibu, Bagas juga penasaran seperti apa Mas Kevin itu," ujarnya mulai kepo. "Kamu kenal juga, Gas! Masih ingat teman Mbak yang namanya Rasmi? Nah Mas Kevin itu abang sepupunya yang dulu pernah nganter Mbak pulang." Kembali aku terbayang saat mengatakan masa lalu. Dulu kalo tidak karena Mas Kevin entah bagaimana aku pulang yang kemalaman. Menunggu angkot yang tidak lewat-lewat, tetiba berhenti sebuah sepeda motor di depanku. Decitan ban motor mengagetkanku yang sedang melamun di hal
Ponselku kembali berdering, sedikit menyentak Nia yang baru terlelap. Gegas aku membuka notifikasi yang masuk dari WA. Pesan dari Rasmi itu membuatku penasaran. [Amira, lagi ngapain? Aku nggak ganggu kan, aku cuma mau bilang orang tuaku ingin mengundangmu dan sekeluarga makan bersama. Kamu bisa nggak?] Degh! Ada apa ini, tumben keluarga sahabatku itu mengundang makan, batinku penuh tanya. Cepat aku membalas pesannya dengan perasaan ingin tau. [Aku lagi nidurkan Nia, Ras! Nggak ganggu kok, kalo boleh tau tumben ini ngundang-ngundang makan?] Terlihat di layar Rasmi sedang mengetik, jantungku sudah berdebar menunggu pesan itu terkirim. WA memang terus kubuka agar pesan langsung terbaca. [Nggak ada acara apa-apa, Amira! Cuma makan biasa aja, orang tuaku ingin melihat anakmu. Kamu bisa datang kan?] [Insya Allah, bisa Ras! Kapan dan di mana?] [Hari Minggu ini jam tiga sore di resto Mutiara. Jangan lupa kamu dandan yang cantik ya!] ditambah emot tertawa. Aku tersenyum-senyum membaca