"Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "
"Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema
Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya
Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk
"Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
"Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasku menadahkan tangan. "Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," sembur suamiku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhku kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentaknya seraya berlalu. Begitulah Mas Doni bila dimintai uang untuk kebutuhan anak. Dia sama sekali tidak peduli kesulitanku mengatur uang tiap bulan. Taunya hanya marah-marah dan mengataiku boros. Selain tidak mencukupi, perangai mertua juga membuatku pusing. Aku tau Mas doni sudah menjatah ibunya sebesar satu juta tapi tetap saja masih memalak uang belanjaku. Suamiku juga tidak percaya bila aku mengatakan soal ibunya. Kalo aku tidak memberinya, mertua pasti akan mengacak-ac
"Nggak, nggak mungkin ibu lakukan itu. Fitnah, kamu pasti mengedit video itu kan, Amira," kukuh Mas Doni masih tidak percaya juga. "Fitnah gimana, Mas? Sudah jelas bahkan sangat jelas di video itu ibumu mengambil u angku diam-diam sampai baju semua dibongkar. Mas lihat lagi atau mata Mas udah rabun," ujarku meledek. Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Jelas-jelas dia sudah melihat video yang berdurasi sepuluh menit itu masih juga menyangkal kalo aku mengeditnya. Untuk beberapa saat Mas Doni terdiam, terkadang menunduk kemudian menyugar rambutnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menadahkan tangannya. "Sini ponselmu!" katanya kasar. "Untuk apa, Mas?" tanyaku heran sambil menggenggam kantong tempat ponsel kusimpan dan mundur. Jangan sampai Mas Doni mengotak atik dalamnya, bisnisku bisa ketahuan. "Jangan banyak tanya, sini!" ujarnya sambil mengambil paksa dari kantong. Dengan sekuat tenaga aku tetap memegang erat sampai kami bergumul rebutan ponsel. Hingga aku tergelatak
"Assalamu'alaikum!" sapaku mengucapkan salam begitu tiba di rumah orang tuaku. "Wa'alaikumussalam, loh Nduk kok tumben kamu pulang sekarang?" Wajah keterkejutan ibu tampak jelas lalu tanpa menunggu jawabanku beliau mengambil alih Nia dari gendonganku dan menyuruh kami masuk. Tanganku membawa koper hingga ke ruang tamu. Bapak yang sedang mengaji pun berhenti dan menatapku dengan heran. Netranya menelusuri tubuhku dan juga koper yang berisik saat kuseret tadi. Kusalami tangan bapak dan duduk melepas lelah di kursi yang berhadapan dengannya. Dari gerakan beliau melepas kacamata, aku tau bapak ingin meminta penjelasan dengan kepulanganku yang mendadak. Biasa aku akan mengabari bila akan pulang. Ibu meletakkan gelas berisi air di meja lalu duduk memangku Nia di sebelahku. Wanita yang sudah melahirkanku itu pun tak kalah heran, terkadang dari bibirnya mengajak Nia bicara dengan gemas. "Doni kemana, kok nggak ikut kesini?" tanya ibu angkat bicara. "Ibu seperti nggak tau aja kek mana M