Share

Pergi

"Nggak, nggak mungkin ibu lakukan itu. Fitnah, kamu pasti mengedit video itu kan, Amira," kukuh Mas Doni masih tidak percaya juga.

"Fitnah gimana, Mas? Sudah jelas bahkan sangat jelas di video itu ibumu mengambil u angku diam-diam sampai baju semua dibongkar. Mas lihat lagi atau mata Mas udah rabun," ujarku meledek.

Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku itu. Jelas-jelas dia sudah melihat video yang berdurasi sepuluh menit itu masih juga menyangkal kalo aku mengeditnya.

Untuk beberapa saat Mas Doni terdiam, terkadang menunduk kemudian menyugar rambutnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan menadahkan tangannya.

"Sini ponselmu!" katanya kasar.

"Untuk apa, Mas?" tanyaku heran sambil menggenggam kantong tempat ponsel kusimpan dan mundur. Jangan sampai Mas Doni mengotak atik dalamnya, bisnisku bisa ketahuan.

"Jangan banyak tanya, sini!" ujarnya sambil mengambil paksa dari kantong. Dengan sekuat tenaga aku tetap memegang erat sampai kami bergumul rebutan ponsel. Hingga aku tergelatak di lantai dalam posisi ditindih Mas Doni.

"Amira, jangan melawan kamu kalo nggak mau terluka!" hardiknya ingin memukul, refleks tangan aku silangkan untuk melindungi wajahku. Kalah, akhirnya ponsel itu berhasil diambil Mas Doni.

Terdengar suara tangisan Nia yang aku kunci di kamar. Mas Doni bangun dan benar fokusnya hanya ponsel tapi bibirku menyunggingkan senyum. Sampai kiamat pun dia tidak akan bisa membuka ponsel karena aku kunci dengan sandi rahasia.

Terlihat Mas Doni sudah mulai kesal dan berkali-kali dicobanya menekan tombol. "Amira, apa sandinya cepat!"

Aku mengedikan bahu tanda tidak peduli. "Memangnya untuk apa Mas tau?"

"Mas mau menghapus video ibu, nanti kamu sebar kemana-mana buat malu aja," ketusnya.

"Terserah aku, bahkan bisa aku laporkan ke polisi biar ibumu nggak mencuri lagi!" ancamku.

Setelah mengucapkan itu aku langsung masuk kamar karena Nia terus menggedor pintu ingin keluar. Sampai di dalam kupeluk putriku untuk menenangkan sambil mengelap keringat dan ingusnya yang keluar dari hidung.

"Anak baik, maafkan ibu ya!" ucapku menggendong dan mengelus bahu Nia. Kasihan putriku sampai sesenggukan begini.

Saat masih menenangkan Nia, aku terkejut mendengar suara benda jatuh. Gegas keluar dan shock melihat ponselku sudah hancur berkeping-keping di lantai.

"Mas, ya Allah! Kenapa ponselku jadi begini?" tanyaku sambil mengumpulkan pecahan benda yang sudah berjasa bagiku itu.

"Sekarang Mas puas, siapa suruh kamu nggak mau kasih sandinya. Jadi, Mas hancurkan aja sekalian dan video itu terhapus. Selesai 'kan!" ujarnya tersenyum menyeringai.

"Kalo gitu ganti ponselku," kataku marah dan melempar pecahan tadi ke arah suamiku.

"Ada apa ribut-ribut ini dan kamu Amira, astaga! Kenapa kamu melempar Doni? Dasar istri durhaka!" celetuk mertua tiba-tiba saja sudah muncul.

Aku tidak kaget bila mertuaku datang, soalnya tidak biasanya dia kemari kecuali ingin mengambil uangku diam-diam. Tapi ternyata malah menemukanku bertengkar dengan anaknya.

"Kenapa, Bu? Ibu kemari pasti ingin mencuri 'kan," ucapku meledek.

"Apa maksudmu, Amira? Ibu mencuri apa?" tanyanya pura-pura tapi terlihat ekspresinya sedikit kaget.

"Tanya aja sama Mas Doni, dia juga melihat kalo selama ini ibu sudah mencuri uangku saat aku nggak di rumah. Padahal ibu sudah dijatah tapi tetap saja mengambil hakku!"

Ibu berpaling menatap anaknya. "Benar itu, Don? Kamu percaya yang dibilang Amira?"

Mas Doni menggeleng, huh kenapa dia tidak mengaku kalo baru saja mengetahui.

"Kamu lihat, Amira. Doni aja nggak percaya, jadi jangan asal nuduh kamu kalo nggak ada buktinya. Kualat sama orang tua," sindir mertua mendecih.

"Buktinya ada dalam ponselku, Bu! Lihat ini perbuatan Mas Doni menghancurkan ini demi menghapus video ibu. Karena itu aku melempar agar anak ibu mau menggantinya," jawabku tak mau kalah.

"Halah, nggak usah ganti Don! Untuk apa kamu punya ponsel, ngabisi duit anakku aja beli pulsa. Lagian kerjamu cuma mengurus Nia jadi nggak perlu pakai-pakai ponsel segala," ujarnya sewot.

Sebenarnya aku nggak masalah kalo Mas Doni tidak mengganti, toh aku masih bisa beli sendiri yang lebih bagus dari suamiku. Tapi karena di ponsel itu semua bisnisku berasal, maka aku harus mengulang lagi.

Aku meninggalkan mereka di ruang tamu dan masuk kamar. Mengemas beberapa pakaian, tujuanku cuma satu yaitu ke rumah ibu. Aku harus secepatnya membeli ponsel dan mengembalikan bisnisku semula.

"Mau kemana kamu?" tanya Mas Doni saat melihatku menenteng tas sambi menggendong Nia.

"Mau ke rumah ibuku, kenapa Mas mau ikut?" tawarku yang pasti aku tau tidak akan mau suamiku itu ikut.

"Biarkan aja dia ke rumah ibunya, Don! Palingan mau mengadu dia. Di sini pun bikin pusing," sahut mertuaku mencibir.

"Ya sudah, kamu pergi aja. Tapi awas kalo kamu mengadu, Mas akan menceraikanmu!" ancamnya.

Aku terkejut, secara tidak langsung Mas Doni sudah menalakku dengan mengatakan itu. Tak terasa air mataku jatuh setetes tapi langsung aku hapus dan masuk kembali ke kamar.

"Heh, kenapa masuk lagi? Nggak berani kamu pergi 'kan!" seru mertuaku kembali meledek.

Mereka hanya tidak tau, aku kembali masuk untuk membawa koper berisi pakaian. Untuk apalagi aku di sini kalo Mas Doni sudah menjatuhkan talak.

Keduanya melongo melihatku menyeret koper. "Aku pergi, Mas! Terima kasih sudah menjadi suamiku dan Nia aku bawa karena dia masih butuh aku."

"Apa maksudmu, Amira? Bukankah kamu hanya pergi ke rumah ibumu?"

Pertanyaan Mas Doni menghentikan langkahku dan menoleh. Terlihat wajah tidak mengertinya akan sikapku. Aku menghembuskan napas kasar.

"Apa Mas nggak sadar tadi sudah mengatakan akan menceraikanku? Secara halus Mas sudah menjatuhkan talak padaku, jadi buat apalagi aku di sini," dengusku kesal.

"Amira, Mas nggak bermaksud seperti itu?"

"Cukup, Mas! Aku sudah capek, Mas selalu aja membela ibu. Bagaimanapun perlakuan ibu Mas tetap aja menyalahkanku. Jadi, nggak ada gunanya lagi aku sebagai istrimu. Aku pergi!" ucapku kembali melangkah.

"Amira, selangkah kamu keluar dari pintu maka jangan kembali lagi kesini selamanya!" ancam Mas Doni tapi aku tetap kukuh melanjutkan dan baru saja kakiku di ambang pintu terdengar ocehan mertua.

"Biar saja dia pergi, Don! Ibu yakin Amira nggak akan bisa hidup tanpamu. Orang susah seperti dia pasti sulit mengurus anaknya sendiri, tenang aja nggak lama dia pasti balik kesini lagi."

Bibirku menyungging tepatnya menyeringai. Kita akan buktikan mertua, siapa yang hidupnya akan kesulitan kelak. Aku atau anakmu, tunggu saja!

~~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status