Share

Kedatangan pengacara

"Kok ada ya Bu, manusia seperti itu?" tanyaku heran. Membayangkan saja aku jijik, mertua yang notabene pengganti orang tua kelakuannya tidak wajar begitu.

"Sudah akhir jaman, Nduk! Sudah banyak yang edan, seperti yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Akhir jaman nanti terjadi banyak kerusakan, ya alam ya akhlak serta tingkah manusia," jelas ibu menggeleng.

"Jadi, akhirnya gimana itu penggebrekannya? Berhasil toh, Bu?" tanyaku penasaran.

"Ketahuan, tapi sudah kabur dua-duanya! Kasihan si Murni itu sampe trauma dia, terus mengurung diri di rumah nggak mau ketemu siapa-siapa," jawab ibu mengelus dada.

Aku tidak bertanya lagi, buat apa mengurusi hidup orang lain toh hidupku juga masih banyak masalah. Tapi kesamaan dari rumah tangga kami satu yaitu mertua. Entah kenapa mertua selalu jadi pemicu retaknya rumah tangga sang anak.

Aku juga tak habis pikir, kenapa yang namanya mertua sering serakah baik soal uang maupun perhatian. Seolah-olah anaknya tidak boleh bahagia, kalo begitu seharusnya tidak usah dinikahkan saja. Kepet terus di bawah ketiaknya sampai modar.

"Oh iya, Bu! Masih ingat nggak dengan abang sepupu Rasmi yang dulu pernah mengantar Amira pulang?" tanyaku mengalihkan hal lain.

"Cah bagus itu?" Ibu mencoba mengingat.

"Iya, Mas Kevin namanya. Dia pengacara sekarang jadi Amira meminta bantuannya mengurus perceraian di pengadilan nanti. Katanya mau kesini membahasnya sekalian minta ijin ibu dan bapak," kataku sambil menepuk-nepuk punggung Nia yang sudah tertidur di pangkuanku.

"Boleh, Alhamdulillah kamu dapat pengacara dari orang yang dikenal," jawab ibu sumringah.

Membicarakan Mas Kevin membuatku terbayang saat dirangkulnya itu. Sampai sekarang rasa malu itu membekas, ah kenapa waktunya tidak tepat. Tapi melihat dia tidak canggung sama sekali pasti hanya menganggapku seperti dulu, teman.

Syukurlah, kalo diantara kami masih bersikap biasa. Rasmi pasti sudah menceritakan kalo diriku lebih dulu menikah. Sampai sekarang baik Rasmi maupun Mas Kevin belum juga naik ke pelaminan. Kalo sahabatku itu, aku tau alasan dia.

"Aku belum ingin menikah aja, Amira! Masih ingin mengejar karir dulu," jawabnya saat aku tanya perihal kenapa dirinya masih betah menjomblo.

"Kan, bisa berkarir sambil menikah. Malah lebih enak ada yang mendukung, kalo lelah ada yang memijat," sergahku menyemangati.

"Menikah nggak sesederhana itu, aku nggak mau menambah masalah. Setelah menikah pasti banyak sekali masalah yang muncul. Contohnya seperti kamu ini, menikah tapi bercerai."

Aku mengangguk, Rasmi memang benar. Akan tetapi, tidak semua rumah tangga berakhir dengan perceraian. Bahkan ada yang awet sampai tua, mungkin sahabatku itu memang belum siap seperti katanya tadi ingin fokus pada karir dulu.

"Kalo Mas Kevin, kenapa belum menikah?" tanyaku ingin tau.

Rasmi mengedikkan bahunya. "Aku juga nggak tau, soal ini kamu tanya aja sendiri sama orangnya. Mas Kevin nggak pernah membawa wanita ke rumah, bahkan membahas tentang kaum kita ini aja sekalipun nggak terdengar."

"Jangan-jangan dia nggak suka wanita," godaku yang membuat Rasmi tertawa.

"Dasar kamu ini, dia itu malah digandrungi banyak wanita tapi semua ditolaknya. Entah seperti apa wanita yang disukainya, hanya bilang belum nemu gitu," kilah Rasmi membantah dugaanku. Aku jadi terkekeh geli disambung Rasmi yang ikutan.

****

Seperti yang dijanjikan, malam sesudah Maghrib Mas Kevin datang ke rumah. Ibu bahkan sampai tak percaya kalo lelaki yang pernah mengantarku ke rumah sudah lebih cakep dibanding dulu.

"Masuk, cah bagus! Bibi sampai pangling, nggak nyangka kamu secakep ini sekarang," ucap ibu ngisin-ngisinin saja.

Mas Kevin hanya cengengesan dipuji seperti itu. Bahkan bapak berdehem agar tamunya disuruh masuk. Aku menjawil tangan ibu yang akhirnya malu sendiri dan membuka pintu selebarnya.

"Apa kabar, Paman? Ini saya Kevin," ucapnya mengenalkan diri sambil menyalami tangan bapak takzim.

"Alhamdulillah, Paman sehat. Duduklah! Amira sudah cerita kalo kamu mau datang," jawab bapak dengan senyum khasnya.

"Terima kasih, Paman!"

Aku yang sedang di dapur membuat minuman, mendengar Mas Kevin sedang bicara dengan bapak. Ibu juga turut bergabung sambil memangku Nia.

"Salam, Nia!" pinta ibu menjulurkan tangan Nia ke arah Mas Kevin yang menyambutnya.

"Ini anaknya Amira, Nak Kevin! Kasihan, masih kecil sudah harus berpisah dengan ayahnya," ucap ibu mengelus kepala cucunya.

"Iya, Bi! Kevin mengerti, tapi jangan jadikan anak sebagai alasan bertahan dalam rumah tangga yang nggak sehat lagi. Anak itu masih rawan psikisnya, dia akan mencontoh apa yang dilihatnya. Dia akan memiliki trauma berkepanjangan apabila terus dalam hubungan yang nggak baik antara orang tuanya."

Penjelasan Mas Kevin sedikit membuatku tau, ternyata masalah anak tidak bisa main-main. Didikan orang tuanya membawa pengaruh besar bagi tumbuh kembang anak. Jadi, aku tidak mau psikis Nia terguncang karena sikap ayah dan neneknya.

"Diminum, Mas!" tawarku saat meletakkan minuman di meja. Mas Kevin mengangguk dan tersenyum.

"Bapak dengar dari Amira, kalo Nak Kevin itu seorang pengacara. Bisa kamu membantu Amira dengan percerairannya ini?" tanya bapak mulai membahas.

"Kalo dari Amira yang meminta cerai sedikit sulit tapi itupun harus disertai bukti yang kuat. Lain halnya kalo dari suami yang memang sudah menalaknya," jawab Mas Kevin.

"Soal bukti, Amira punya videonya Mas. Tapi memang Mas Doni sudah jatuhkan talak, apalagi nggak bisa berlaku adil dengan memberi nafkah kurang padahal sebenarnya mampu tapi ya itu tadi karena hasutan ibunya," kataku sambil menunjukkan video mertua.

Mas Kevin mengangguk setelah selesai melihat potongan rekaman video. "Video ini juga bisa dikasuskan sendiri, apa kamu mau melapor ke polisi?"

"Tadinya kalo Mas Doni nggak mau menceraikanku maka video itu jadi alat aja agar semua beres tapi sampai sekarang dia terus berbelit-belit."

"Kita lihat perkembangannya dulu, beberapa hari lagi Mas akan buat surat gugatan cerai yang akan dikirim ke suami kamu. Kalo dia menolak baru kita ambil langkah selanjutnya," beber Mas Kevin menjelaskan rencananya.

"Berapa lama sidang perceraian itu siap, Mas?" tanyaku ingin tau soalnya sudah geram sekali.

"Tergantung, kalo tergugat nggak menyulitkan pasti cepat selesai."

"Bagus kalo gitu, Nak Kevin! Kasihan Amira, sudah diberi nafkah kurang eh setelah tau punya banyak uang suaminya balik merayu agar Amira mau pulang," keluh ibu yang aku kasih kode agar jangan mengungkit soal uang itu.

Mas Kevin hanya tersenyum melirikku, sepertinya dia sudah tau. Aku juga pernah menceritakan pada Rasmi dan dia bilang bagus bila seorang istri punya simpanan sendiri jadi tidak harus mengandalkan suaminya.

"Oh, jadi gini sekarang kelakuanmu ya Amira! Bagus, sekarang udah dapat laki-laki lain," celetuk Mas Doni tiba-tiba sudah datang. Kami semua terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status