"Kok ada ya Bu, manusia seperti itu?" tanyaku heran. Membayangkan saja aku jijik, mertua yang notabene pengganti orang tua kelakuannya tidak wajar begitu.
"Sudah akhir jaman, Nduk! Sudah banyak yang edan, seperti yang disabdakan baginda Rasulullah saw. Akhir jaman nanti terjadi banyak kerusakan, ya alam ya akhlak serta tingkah manusia," jelas ibu menggeleng. "Jadi, akhirnya gimana itu penggebrekannya? Berhasil toh, Bu?" tanyaku penasaran. "Ketahuan, tapi sudah kabur dua-duanya! Kasihan si Murni itu sampe trauma dia, terus mengurung diri di rumah nggak mau ketemu siapa-siapa," jawab ibu mengelus dada. Aku tidak bertanya lagi, buat apa mengurusi hidup orang lain toh hidupku juga masih banyak masalah. Tapi kesamaan dari rumah tangga kami satu yaitu mertua. Entah kenapa mertua selalu jadi pemicu retaknya rumah tangga sang anak. Aku juga tak habis pikir, kenapa yang namanya mertua sering serakah baik soal uang maupun perhatian. Seolah-olah anaknya tidak boleh bahagia, kalo begitu seharusnya tidak usah dinikahkan saja. Kepet terus di bawah ketiaknya sampai modar. "Oh iya, Bu! Masih ingat nggak dengan abang sepupu Rasmi yang dulu pernah mengantar Amira pulang?" tanyaku mengalihkan hal lain. "Cah bagus itu?" Ibu mencoba mengingat. "Iya, Mas Kevin namanya. Dia pengacara sekarang jadi Amira meminta bantuannya mengurus perceraian di pengadilan nanti. Katanya mau kesini membahasnya sekalian minta ijin ibu dan bapak," kataku sambil menepuk-nepuk punggung Nia yang sudah tertidur di pangkuanku. "Boleh, Alhamdulillah kamu dapat pengacara dari orang yang dikenal," jawab ibu sumringah. Membicarakan Mas Kevin membuatku terbayang saat dirangkulnya itu. Sampai sekarang rasa malu itu membekas, ah kenapa waktunya tidak tepat. Tapi melihat dia tidak canggung sama sekali pasti hanya menganggapku seperti dulu, teman. Syukurlah, kalo diantara kami masih bersikap biasa. Rasmi pasti sudah menceritakan kalo diriku lebih dulu menikah. Sampai sekarang baik Rasmi maupun Mas Kevin belum juga naik ke pelaminan. Kalo sahabatku itu, aku tau alasan dia. "Aku belum ingin menikah aja, Amira! Masih ingin mengejar karir dulu," jawabnya saat aku tanya perihal kenapa dirinya masih betah menjomblo. "Kan, bisa berkarir sambil menikah. Malah lebih enak ada yang mendukung, kalo lelah ada yang memijat," sergahku menyemangati. "Menikah nggak sesederhana itu, aku nggak mau menambah masalah. Setelah menikah pasti banyak sekali masalah yang muncul. Contohnya seperti kamu ini, menikah tapi bercerai." Aku mengangguk, Rasmi memang benar. Akan tetapi, tidak semua rumah tangga berakhir dengan perceraian. Bahkan ada yang awet sampai tua, mungkin sahabatku itu memang belum siap seperti katanya tadi ingin fokus pada karir dulu. "Kalo Mas Kevin, kenapa belum menikah?" tanyaku ingin tau. Rasmi mengedikkan bahunya. "Aku juga nggak tau, soal ini kamu tanya aja sendiri sama orangnya. Mas Kevin nggak pernah membawa wanita ke rumah, bahkan membahas tentang kaum kita ini aja sekalipun nggak terdengar." "Jangan-jangan dia nggak suka wanita," godaku yang membuat Rasmi tertawa. "Dasar kamu ini, dia itu malah digandrungi banyak wanita tapi semua ditolaknya. Entah seperti apa wanita yang disukainya, hanya bilang belum nemu gitu," kilah Rasmi membantah dugaanku. Aku jadi terkekeh geli disambung Rasmi yang ikutan. **** Seperti yang dijanjikan, malam sesudah Maghrib Mas Kevin datang ke rumah. Ibu bahkan sampai tak percaya kalo lelaki yang pernah mengantarku ke rumah sudah lebih cakep dibanding dulu. "Masuk, cah bagus! Bibi sampai pangling, nggak nyangka kamu secakep ini sekarang," ucap ibu ngisin-ngisinin saja. Mas Kevin hanya cengengesan dipuji seperti itu. Bahkan bapak berdehem agar tamunya disuruh masuk. Aku menjawil tangan ibu yang akhirnya malu sendiri dan membuka pintu selebarnya. "Apa kabar, Paman? Ini saya Kevin," ucapnya mengenalkan diri sambil menyalami tangan bapak takzim. "Alhamdulillah, Paman sehat. Duduklah! Amira sudah cerita kalo kamu mau datang," jawab bapak dengan senyum khasnya. "Terima kasih, Paman!" Aku yang sedang di dapur membuat minuman, mendengar Mas Kevin sedang bicara dengan bapak. Ibu juga turut bergabung sambil memangku Nia. "Salam, Nia!" pinta ibu menjulurkan tangan Nia ke arah Mas Kevin yang menyambutnya. "Ini anaknya Amira, Nak Kevin! Kasihan, masih kecil sudah harus berpisah dengan ayahnya," ucap ibu mengelus kepala cucunya. "Iya, Bi! Kevin mengerti, tapi jangan jadikan anak sebagai alasan bertahan dalam rumah tangga yang nggak sehat lagi. Anak itu masih rawan psikisnya, dia akan mencontoh apa yang dilihatnya. Dia akan memiliki trauma berkepanjangan apabila terus dalam hubungan yang nggak baik antara orang tuanya." Penjelasan Mas Kevin sedikit membuatku tau, ternyata masalah anak tidak bisa main-main. Didikan orang tuanya membawa pengaruh besar bagi tumbuh kembang anak. Jadi, aku tidak mau psikis Nia terguncang karena sikap ayah dan neneknya. "Diminum, Mas!" tawarku saat meletakkan minuman di meja. Mas Kevin mengangguk dan tersenyum. "Bapak dengar dari Amira, kalo Nak Kevin itu seorang pengacara. Bisa kamu membantu Amira dengan percerairannya ini?" tanya bapak mulai membahas. "Kalo dari Amira yang meminta cerai sedikit sulit tapi itupun harus disertai bukti yang kuat. Lain halnya kalo dari suami yang memang sudah menalaknya," jawab Mas Kevin. "Soal bukti, Amira punya videonya Mas. Tapi memang Mas Doni sudah jatuhkan talak, apalagi nggak bisa berlaku adil dengan memberi nafkah kurang padahal sebenarnya mampu tapi ya itu tadi karena hasutan ibunya," kataku sambil menunjukkan video mertua. Mas Kevin mengangguk setelah selesai melihat potongan rekaman video. "Video ini juga bisa dikasuskan sendiri, apa kamu mau melapor ke polisi?" "Tadinya kalo Mas Doni nggak mau menceraikanku maka video itu jadi alat aja agar semua beres tapi sampai sekarang dia terus berbelit-belit." "Kita lihat perkembangannya dulu, beberapa hari lagi Mas akan buat surat gugatan cerai yang akan dikirim ke suami kamu. Kalo dia menolak baru kita ambil langkah selanjutnya," beber Mas Kevin menjelaskan rencananya. "Berapa lama sidang perceraian itu siap, Mas?" tanyaku ingin tau soalnya sudah geram sekali. "Tergantung, kalo tergugat nggak menyulitkan pasti cepat selesai." "Bagus kalo gitu, Nak Kevin! Kasihan Amira, sudah diberi nafkah kurang eh setelah tau punya banyak uang suaminya balik merayu agar Amira mau pulang," keluh ibu yang aku kasih kode agar jangan mengungkit soal uang itu. Mas Kevin hanya tersenyum melirikku, sepertinya dia sudah tau. Aku juga pernah menceritakan pada Rasmi dan dia bilang bagus bila seorang istri punya simpanan sendiri jadi tidak harus mengandalkan suaminya. "Oh, jadi gini sekarang kelakuanmu ya Amira! Bagus, sekarang udah dapat laki-laki lain," celetuk Mas Doni tiba-tiba sudah datang. Kami semua terkejut.Tanpa salam tanpa permisi, Mas Doni menyelonong masuk dan bertepuk tangan dengan menyeringai. Mau apa lagi dia kemari, batinku kesal. "Mau apa kamu kesini?" Kali ini bapak yang bertanya. "Menantu datang ke rumah mertua nggak salah 'kan!" celetuk mertua. Ternyata Mas Doni tidak datang sendirian melainkan bersama ibunya. "Kenapa, Pak? Apa Doni nggak boleh datang?" sahutnya sinis. "Nggak disangka kalian ingin kami bercerai ternyata sudah ada laki-laki lain," sambungnya lagi seraya melirik Mas Kevin. Lelaki yang berprofesi pengacara itu bersikap tenang, tidak terpancing oleh perkataan Mas Doni. Di sini aku yang malu padanya akan sikap mantan suami yang melihat langsung dengan mata kepala sendiri. "Betul itu, Amira? Kamu itu belum sah berpisah sudah menggaet laki-laki lain. Apa coba namanya kalo bukan perempuan gatel, begini didikan besan rupanya," ejek mertua. "Jangan bicara sembarangan besan, anak kami begini juga karena kelakuan Doni dan besan sebagai ibunya," sergah ibu
Sudah hampir sebulan berlalu, keadaan sangat tenang. Surat gugatan cerai juga sudah sampai ke tangan Mas Doni. Akan tetapi, baik dia maupun ibunya tidak ada kabar setelah hakim memutuskan perceraian kami. Mungkin mereka hanya bisa pasrah. Hatiku lega sidang bisa berjalan lancar, setidaknya biar statusku jelas. Walaupun aku akui masih ada rasa di hati ini tapi aku lebih pertimbangkan ke depannya. Demi kesehatan mentalku dan juga psikis Nia. "Nduk, Doni kok nggak pernah jenguk Nia sekalipun?" tanya ibu suatu hari saat kami lagi istirahat siang. "Amira juga nggak tau, Bu! Mungkin aja dia sibuk, lah biasa memang gitu. Mana pernah peduli dia dengan Nia," gerutuku. Teringat dulu kala masih tinggal dengan mantan suami. Mas Doni yang bekerja sebagai karyawan toko bila libur yang ada dibenaknya hanya bersantai. Kalo tidak main game, nongkrong atau di rumah ibunya seharian. "Mas, kalo kamu di rumah itu ajak main kenapa Nia. Dia itu juga anakmu, jaga dia sebentar biar aku bisa mengerjakan y
Entah sejak kapan, Amira--istri yang kunikahi dua tahun lalu begitu mulai perhitungan. Jatah belanja yang kuberi 500 ribu untuk sebulan mulai dikeluhkannya. Aku tidak habis pikir, uang segitu seharusnya cukup untuk sebulan. Karena pengeluaran hanya untuk belanja, tidak bayar sewa rumah ataupun cicilan. Akan tetapi, Amira terus meminta uang alasannya untuk membeli susu Nia. Seperti saat itu, aku yang baru saja pulang kerja harus mendengar keluhannya. "Mas, aku minta uang seratus ribu aja untuk beli susu Nia," melasnya menadahkan tangan. "Uang, uang, uang aja kerjamu! Kemarin udah Mas kasih lima ratus, apa udah habis? Makanya jadi istri tuh jangan boros," semburku acuh. "Lima ratus ribu mana cukup untuk sebulan, Mas! Bayar listrik seratus, bayar warung seratus, angsuran lima puluh, belum lagi ibumu selalu minta jatah dariku seratus tiap bulan," keluhnya kesal. "Jangan bawa-bawa ibuku, tiap bulan Mas yang jatah sendiri ibu. Jadi jangan ngeles kamu!" bentakku seraya berlalu. Aku sun
Sudah hampir lewat tanggal jatuh tempo yang diputuskan hakim untuk Mas Doni menafkahi Nia. Bila dia pura-pura lupa atau tidak mau maka siap-siap saja dia jantungan. Aku akan menunggu sampai dua hari ini. Sesuai permintaanku pada hakim bahwa Mas Doni wajib menafkahi Nia sebesar satu juta tiap bulan. Itu sudah keringanan yang kuberikan padanya, mengingat gajinya yang cuma dua juta. Jadi, selama kami berpisah dia cukup memenuhi kebutuhan sendiri. Aku tau kalo Mas Doni dapat kenaikan gaji karena saat itu tidak sengaja mendengar. Ya, diam-diam aku pergi ke rumah mertua. Ingin melihat apa saja yang dilakukan mantan suamiku itu di sana. Sengaja aku jalan lewat belakang agar tidak diketahui. [Mas, jangan lupa nafkah Nia!] kuketik pesan pada Ayah Nia sedari pagi. [Hapus itu video, kalo nggak jangan harap!] [Seharusnya kamu mikir, Mas! Nia itu anak kamu juga jadi sudah wajib kamu nafkahi tanpa embel-embel video] balasan kukirim dengan emot kesal. [Yang minta ceraikan kamu, jadi kamu tangg
Alhamdulillah, beberapa hari buka warung berjalan lancar. Semakin banyak yang belanja membuatku kewalahan hingga dibantu ibu. Apalagi setelah Subuh banyak yang sudah antri karena ibu-ibu pada masak buat bekal kerja suaminya. "Neng, kok tambah mahal sekarang ya?" keluh seorang ibu sambil memilih ikan. "Ya Bu, apalagi jelang tahun baru ini. Semua harga naik dari sananya, biasa juga gitu pas jelang lebaran 'kan," jawabku tersenyum. Sebisa mungkin aku ramah dan sabar karena pembeli adalah raja jadi dilayani sebaik mungkin. Warung juga belum lama buka jadi setidaknya jangan buat mereka tidak kecewa. "Tapi di warung Amira ini lebih murah loh, Jeng! Daripada warung Kang Kasman sana, padahal dia sudah berdagang lama," sergah Budhe Rasmi membelaku. Lagi-lagi aku tersenyum menanggapinya seraya menghitung belanjaan pembeli lain. Dari awal buka Budhe Rasmi sudah seperti tangan kananku saja yang bantu mulai promosi hingga juru bicara. Lucu juga kalo Kang warung saja punya jubir. "Ibu-ibu ngg
Aku mencibir sinis melihat keduanya pucat pasi. Tadinya terlihat garang tapi seketika melempem begitu kelemahan mereka ada dalam genggamanku. "Dari mana Mbak tau soal itu?" tanyanya heran. "Nggak perlu kamu tau yang penting kamu nggak mencegah Mas Doni menafkahi anaknya sendiri. Kalo nggak aku nggak jamin video kamu aman, ngerti kamu!" ancamku. "Sudah, Win! Kita pulang aja, di sini kita hanya dapat malu aja. Ibu yakin, Amira pasti sudah menghasut mereka semua," ajak mantan mertua menarik tangan wanita muda itu. Keduanya kemudian pergi setelah disoraki oleh ibu-ibu di sini. Raut wajah ibunya Doni sekali lagi menatap benci padaku. Entah apa lagi yang akan diperbuatnya, tak kuambil pusing. Lebih baik melanjutkan lagi dagang yang sempat tertunda tadi. "Memang ya mantan mertua kamu itu lagaknya kaya tapi ternyata mental miskin," tuding Budhe Rasmi geram. "Iya, untung aja Nak Amira sudah cerai dari suaminya. Kelakuannya ibu tadi naudzubillah!" ucapnya seorang ibu sambil menggeleng kep
Adzan Subuh terdengar mengalun merdu, seperti biasa kami sekeluarga menunaikan ibadah lima waktu tersebut. Waktunya bertepatan saat pulang belanja dari pasar induk. Setiap hari pukul tiga dini hari, aku sudah bangun bersiap untuk ke pasar. Sementara belum memiliki mobil pick up, aku cuma mampu membeli becak barang. Lumayanlah masih cukup mengangkut barang daganganku. "Mang, sholat Subuh dulu!" titahku setelah kami tiba di rumah dan bermaksud hendak menurunkan barang tapi kucegah. Awalnya bapak yang mengantarku ke pasar tapi malam itu saat kami baru saja siap makan, Mang Asep bertandang ke rumah. Dengan wajah sedih beliau mengutarakan ingin mencari pekerjaan. "Amira, bagaimana kalo Mang Asep yang menggantikan tugas bapak ke pasar?" tanya bapak padaku meminta pendapat. "Tapi mau digaji berapa, Pak? Warung juga belum terlalu besar, takut nggak bisa gaji Mamang," sahutku ragu. Ya, warung juga belum lama buka masih baru berjalan. Aku juga belum ada nabung hasil dagang, masih mutar mo
"Sudah, jangan sedih Amira! Budhe cuma kasih saran aja tadi, tapi semua berpulang kepada dirimu. Jadi janda harus pandai bawa diri, banyak gunjingan seliweran sana sini," hibur Budhe Rasmi merasa tidak enak. "Amira tau, Budhe! Saat ini Amira masih fokus pada Nia dan usaha warung ini dulu. Nanti kalo jodoh sudah datang, Amira pasti nggak nolak kok," sahutku yakin. Ibu tersenyum sembari mengelus punggungku. Sebagai orang tuaku, beliau tidak pernah memaksaku cepat menikah. Bagaimanapun jika seorang janda ingin merajut rumah tangga lagi itu adalah terserah dirinya sendiri. Keputusan tetap ada di tangan si janda. "Kalo si pengacara itu bagaimana?" celetuk Budhe Rasmi tiba-tiba mengungkit Mas Kevin. "Maksud kamu Cah bagus itu?" sahut ibu kaget. Budhe Rasmi mengangguk. "Namanya Mas kevin, Bu, Budhe! Dia cuma teman, masih lajang juga mapan. Mana mungkin dia mau sama Amira yang janda dan susah ini," sergahku tertawa. "Jangan salah, Amira! Janda sekarang selalu terdepan, kamu lihat si Wan
"Amira, sudah siap?" tanya ibu begitu nongol di balik pintu. "Sudah, Bu!" jawabku lalu mengambil tas kecil berisi surat-surat penting. Keluar kamar sudah ramai keluarga berkumpul termasuk uwak. Hari ini adalah hari pernikahan keduaku dengan Mas Kevin. Sebuah mobil pajero sport sudah bertengger manis depan rumah siap menjemputku sekeluarga. Di belakang mobil juga terparkir bus besar yang akan membawa rombongan ibu-ibu perwiridan. Setelah mengunci pintu, kami menuju mobil. Bus juga telah penuh orang-orang, sehingga suasana menjadi ramai riuh. Semua orang senang dengan pernikahanku kali ini. "Gusti Allah, cantik sekali kamu Amira!" puji Budhe Rasmi melihatku yang akan naik mobil. Aku hanya mengenakan kebaya putih untuk ijab qabul. Mas Kevin bilang tidak usah repot membawa baju karena di Vila sudah tersedia baju pengantinnya. "Alhamdulillah, Budhe!" jawabku tersenyum manis. "Ayo berangkat, Amira!" teriak mereka dari belakang dengan semangat. Aku mengacungkan jempol lalu naik ke mo
Usai acara lamaran dan menyantuni anak yatim, beberapa tetangga masih betah mengumpul di rumahku. Mas Kevin dan keluarga sudah pulang sejak setengah jam yang lalu. Ibu dan uwak kembali sibuk di dapur membereskan sisa masakan. Sebagian akan dibawa pulang uwak untuk anak-anaknya. "Amira, duduk sini bentar!" panggil Budhe Rasmi yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu di teras rumah. Aku yang saat itu baru keluar kamar mengganti kebaya dengan daster pun mendekat. "Ada apa, Budhe?" "Mereka ini masih penasaran sama calon suami kamu." "Penasaran apa, ibu-ibu?" tanyaku tersenyum lalu duduk di samping Budhe Rasmi. "Benar dia pengacara?" Seorang ibu mulai bertanya. "Lah, sampeyan ini gimana sih, Jeng? Itu di undangan jelas ditulis kok," sembur Budhe Rasmi sambil membuka lembaran kertas lalu ditunjukkan pada ibu tadi. "Sampeyan kok sewot sih, Jeng Rasmi. Saya kan tanya sama Amira langsung," ucapnya manyun. Aku hanya menggeleng melihat mereka bersitegang. Walaupun Budhe Rasmi membelaku terk
Sesuai rencana dua minggu sebelum hari H pernikahan, Mas Kevin dan seluruh keluarga akan datang melamar secara resmi. Itu berarti esok hari, jadi hari ini aku buka warung hingga sore saja. "Budhe besok ke rumah, ya? Bantu-bantu ibu masak." Tetanggaku yang bertubuh gendut menoleh ke arahku. Dahinya berkerut seperti menunjukkan penasaran. Bahkan, tangan yang akan meraih sayuran terhenti."Ada acara apa, Amira?""Mas Kevin dan keluarga mau datang melamar," jawabku tersenyum. "Cieee, yang lagi bahagia akhirnya lepas dari status janda!" sindir Bu Ratna tetap seperti kebiasaannya. Kali ini aku tidak marah dan malas menanggapinya, hanya tidak ingin merusak momen bahagia. "Kenapa Jeng Ratna seperti nggak senang? Apa karena calon suami Amira orang kaya? Nggak seperti yang Jeng Ratna harapkan gitu," sungut Budhe Rasmi agak kesal. "Iya, alhamdulillah Bu Ratna. Biar nggak ada lagi yang julid ngomongin statusku," sambungku menohok. Bu Ratna terdiam lalu memilih belanjaannya. Budhe Rasmi hanya
"Insya Allah, Bu! Sekarang boleh kan Kevin manggil ibu dan bapak?" tanyanya menatap kami satu persatu. Mendengar itu bapak dan ibu kaget, tak kecuali aku. Tidak menyangka Mas Kevin mau merubah panggilan pada orang tuaku sebelum kami menikah. "Boleh Cah bagus, bibi eh ibu senang sekali. Kesannya lebih akrab, ya kan Pak!" sahut ibu menyenggol bapak yang masih bengong. "Eh iya, boleh boleh boleh!" seru bapak menirukan tokoh kartun di televisi itu. Sontak kami tertawa melihat reaksi bapak yang lucu. Mas Kevin menatapku lalu aku acungkan jempol. Dia tersenyum kikuk juga, mungkin merasa orang tuaku tidak akan suka tapi malah membuat mereka senang. "Sudah azan Maghrib, mari kita sholat dulu!" ujar bapak bangkit dan bersiap-siap. "Mau jamaah di rumah apa Mesjid, Pak?" tanya ibu. "Laki-laki sholat wajib di Mesjid, Bu! Sampeyan di rumah aja sama Amira. Sekalian bapak mau ngenali calon mantu kita ini sama warga," jawab bapak bangga. "Yuk, Nak Kevin!" ajak bapak setelah sarungan dan mema
"Jeng Rasmi jangan asal nuduh ya! Mana buktinya kalo suamiku itu suami orang?" tantang Bu Ratna berkacak pinggang. Sepertinya bau-bau keributan akan segera terbit ini. "Sudah-sudah, jangan ribut di sini!" pekik ibu melerai. Budhe Rasmi terdiam dan Bu Ratna mendengkus. Aku bergeming melihat mereka ribut dan acuh sambil merapikan dagangan yang berserak sisa belanja ibu-ibu. "Saya minta kalo Jeng Ratna nggak belanja jangan buat onar. Dari kemarin sampeyan selalu memfitnah Amira. Apa salah anakku pada sampeyan?" tegas ibu bertanya dengan berani. Ya, semakin didiamkan Bu Ratna semakin melunjak. Entah apa maksudnya selalu memojokku. Kalo memang ada dendam lama kenapa aku yang selalu jadi sasaran. "Siapa yang memfitnah, itu kenyataan!" sahutnya masih ngeyel. "Kalo kenyataan, tunjukkan buktinya Bu! Kalo nggak terbukti, ibu bisa saya laporkan atas tuduhan pencemaran nama baik." Kali ini aku yang angkat bicara. Wajah Bu Ratna berubah pias, dia pasti takut karena memang tidak ada bukti. "
"Ayah? Ibu nggak lihat, sayang! Mana ayah?" tanyaku pura-pura celingukan. Sengaja aku seperti itu agar Nia merasa salah lihat. "Tadi di citu!" tunjuknya cemberut. Aku menatap Mas Kevin agar mau membujuk Nia lagi. Lelaki itu menyuruhku sabar dan tersenyum. Untuk mengalihkan perhatian anakku, setelah turun dari komedi putar Mas Kevin mengajak kami membeli es krim. Nia kembali ceria dan bersorak. Dia memang demen sekali es krim, bila di rumah ada kang es lewat pasti sibuk manggil dan lari mengejar. "Makannya pelan-pelan, mulutnya penuh es gini," ucapku cekikan sembari mengambil tisu dan mengelap mulut Nia. "Tadi benar ada Doni, Nduk? Ibu dengar Nia manggil ayahnya," tanya ibu lirih. "Iya, Bu! Tapi nggak lama menghilang seperti nggak mau ketemu Nia. Lagian Mas Doni nggak sendiri, ada anak kecil dan perempuan bersamanya," jawabku terbayang kembali. "Siapa perempuan itu?" "Amira nggak tau, Bu! Bukan si Winda yang kemarin. Mungkin pacarnya yang baru," ujarku mengedikkan bahu. Apa kab
Deheman dari orang yang lewat menyadarkan kami. Dengan tersipu malu aku menyembunyikan wajah, Mas Kevin segera membantuku berdiri. "Kamu nggak apa-apa, Amira?" tanyanya begitu kami sudah posisi normal. "Nggak Mas, maaf ya aku kurang hati-hati," jawabku dengan memperhatikan sekeliling. Untung saja tidak berapa ramai di taman ini, malu sekali andai banyak yang melihat. "Seperti biasa kamu sering jatuh, tapi tenang aja mulai sekarang Mas yang akan memegangmu." Aku mengangguk tersenyum mana kala tangannya dengan lembut tetap menggenggam tanganku. Kami pun melanjutkan langkah masuk ke dalam restoran. Sebelum tiba di meja tempat berkumpul kedua calon besan, semua mata memandang tak berkedip. Tatapan mereka turun ke tangan kami dan tersenyum-senyum. "Wah, sepertinya ada kabar baik nih!" seru Rasmi girang. Mas Kevin melepaskan tangannya lalu kami duduk di tempat semula. "Gimana Vin, sukses?" tanya Om Burhan memancing. "Kalungnya bagus banget, Nduk!" celetuk ibu sebelum Mas kevin sempa
Untuk sesaat aku terpana, Mas Kevin yang tau sedang kupandangi tersenyum. Kemudian berhenti melangkah lalu menyalami kedua orang tuaku dengan takzim. "Apa kabar Paman dan Bibi?" tanya Mas Kevin ramah. "Alhamdulillah baik, Kevin! Kamu sendiri gimana?" sahut bapak. "Alhamdulillah juga, Paman! Maaf kalo merepotkan Paman dan Bibi datang kemari," ujarnya tidak enak. "Nggak apa-apa, Cah bagus! Kami senang kok, ya kan Amira?" sentak ibu menyadarkanku. Aku jadi tersipu kala semua mata menatapku. Sepertinya aku ketahuan sedang melamun lalu secepatnya mengangguk. "Ya, Bu! Tanya apa tadi?" Sontak mereka tertawa dan itu sukses membuatku jadi malu. Wajahku sudah seperti kepiting rebus, merah merona. "Cieee, malu dia!" celetuk Rasmi yang tak ayal menimbulkan gema tawa kembali. "Sudah, sudah! Jangan goda Amira lagi, kita makan dulu," ucap Tante Ayu tersenyum lalu menunjuk pelayan yang datang membawa pesanan. Tidak lama suara sendok beradu pada masing-masing piring siempunya yang sedang maka
Terkejut menghiasi wajahku maupun bapak. Perkataan ibu begitu tidak disangka. Benarkah kalo Bu Ratna itu pernah menyukai bapak. "Bu, ibu nggak salah ngomong gitu?" tanya bapak shock. Ibu menggeleng. "Mungkin sebab cintanya nggak tercapai pada bapak hingga dia berani memfitnah Amira," ucap ibu lagi. "Kok bapak nggak tau, Bu?" "Ibu juga tau dari Budhenya bapak, dulu saat bapak akan melamar ibu. Katanya Jeng Ratna itu sempat menaruh hati tapi bapaknya nggak peka," jelas ibu. "Ya mana bapak tau, wong dia aja nggak ngomong apa-apa. Tapi sudahlah, itu masa lalu. Bapak malah lebih beruntung bisa menikah dengan ibu," sahut bapak tersenyum. Pipi ibu merona dipuji bapak sedemikian, aku pun juga terkekeh geli dalam hati. Melihat orang tuaku teringat diriku sendiri. Entah kapan aku bisa dapat jodoh awet sampai tua seperti mereka ya Allah, batinku sedih. Begitu jam berdentang pukul sepuluh malam, kami beranjak ke peraduan masing-masing. Aku menidurkan Nia di kasur, kutatap wajahnya yang ter