Masa paceklik melanda desa yang aku pimpin. Sawit nyaris tidak laku. Pabrik kelapa sawit yang ada tidak bisa menampung hasil panen yang melimpah.“Bagaimana sih pemerintah ini, Bu Kades, masa ekspor gak boleh?” kata seorang warga, warga tersebut pemilik kebun sawit yang cukup luas. Saat itu dia datang protes ke kantor desa.“Maaf, Pak, saya tidak tahu tentang itu,” jawabku kemudian.“Begitu jawaban pejabat, hanya tidak tahu?”“Saya hanya kepala desa, Pak, tidak punya kuasa menentukan harga sawit,” kataku sedikit kesal.“Kepala desa juga pemerintah kan? Untuk apa kami pilih Ibu jika tidak bisa memperjuangkan hak kami,” katanya lagi.Aku tahu beliau ini kesal dengan harga sawit yang turun gila-gilaan, tapi dia protes salah tempat, aku memang perwakilan pemerint
Warga desa mulai ada kesibukan baru, lidi sawit dibersihkan dan dikumpul. Bang Parlin berani menampung tiga ribu perkilo, jauh lebih besar dari harga buah sawit itu sendiri. Baru tiga hari, rumah kami sudah penuh dengan lidi. Aku mulai resah dan bingung. Untuk diapakan Bang Parlin lidi sebanyak ini?“Bang, sudah ada penampung lidinya?” tanyaku pada Bang Parlin di suatu malam. Setelah anak-anak tidur memang waktu berkualitas kami, kami akan bicara membahas apa saja.“Sudah, Dek, tapi mereka tak bisa jemput, katanya terlalu jauh.” Jawab Bang Parlin.“Emang di mana, Bang?”“Di Belawan, Dek, lidi ini barang ekspor, India dan Bangladesh sangat butuh lidi,”“Oh, jadi bagaimana, Bang?”“Entahlah, Dek, Abang juga masih berpikir ini,” kata Bang Parlindun
Suasana malam di rumah Rapi jadi meriah dan sibuk. Istri Rapi sibuk memasak, sayangnya bahkan beras di rumah mereka tidak cukup untuk makan kami semua. Belum lagi lauknya.“Niyet, niat kali kau ngerjai aku ya,” kata Rapi ketika disuruh istrinya belanja malam itu juga.“Hahaha,” aku hanya tertawa, lucu juga melihat Rapi yang kebingungan. Bahkan lantai ruang tengah rumahnya tidak sanggup menampung rombongan kami.“Ini uangnya, Rapi,” kata Bang Parlindungan ketika Rapi sibuk memeriksa isi dompetnya.“Terima kasih, Bang Parlin, kau memang Rambo, menolong jika dibutuhkan,” jawab Rapi seraya menerima uang merah beberapa lembar dari tangan Bang Parlin.“Belanja yang banyak ya, Rapet, kami kuat makan lo,” kataku pada Rapi. Dia hanya membalas dengan menunjukkan kepalanya tangannya. Lucu juga melihat
Maaf, Pak, aku hanya ingin bersedekah lebih jauh, aku ingin mengikuti jejak Bapak,” kata, Torkis ketika kami hendak pamit pulang.“Sedekah itu baik, Torkis, baik sekali pun, mengambil uang dari sedekah itu untuk gaji pengurus juga wajar, yang gak wajar itu jika sedekah sudah dibisniskan, lihat itu, mobil mereka saja fortuner, yang sedekah mungkin masih naik motor, udah, gak usah ikut-ikutan, jika mau sedekah, lihat saja dulu sekelilingmu,” kata Bang Parlin.“Iya, Pak,” kata Torkis.“Contoh lihat sekeliling itu, ini warga desa kita, mereka butuh bibit cabe, untuk ditanam di sela-sela sawit,” kata Bang Parlin lagi“Ok, Pak, aku sediakan,” kata Torkis.Jadilah kami pulang masing-masing membawa bibit gratis dari Torkis, Torkis yang dulu tukang ngangon sapi sekarang sudah kaya raya, bahkan lebi
Ketika aku duduk di meja, aku baru merasakan sesuatu yang hilang. Stempel kantor desa tidak ada, biasanya selalu ada di sudut kiri meja. Padahal sudah seharian mencari apa yang hilang.“Mana stempel?" tanyaku pada sekretaris desa.“Mana saya tahu, Bu, kukira Ibu bawa ke rumah,” jawab sekretaris desa tersebut.Wah, untuk apa orang mencuri stempel? Itu tak berguna tanpa tanda tangan, kalau hanya stempel bisa dengan mudah menirunya.Baru satu hari aku ngantor, sudah ada yang berubah, sudah ada berkas yang ditandatangani sekretaris desa. Aku kesal, baru beberapa hari tidak ngantor sekretaris desa ini sudah melangkahi tugasku. Akan tetapi memang peraturannya seperti itu, jika kepala desa berhalangan sekretarislah yang mengambil alih tugas.“Bang,” panggilku pada Bang Parlin, suamiku itu masih setia m
Sungguh tak kusangka Bang Parlindungan bisa juga main tipu muslihat, pria yang mengaku sebagai ketua bidang hukum perusahaan perkebunan itu sakit perut. Anehnya tiga tamu dan Bang Parlindungan ikut minum kopi, hanya pria itu yang kena.“Jahat juga Abang ya?” kataku.“hehehe,” Bang Parlin hanya terseyum tipis.“Bagaimana Pak Sekdes itu, Bang, aku gak nyaman kerja jika ada dia, dia sampai bunuh anjing untuk menakutiku,” katanya kemudian.“Dilema, Dek, di satu sisi memang dia harus dipecat, karena perbuatannya yang sudah tak bisa ditelolir, tapi dia akan makin sakit hati, apalagi jika warga desa tahu perbuatannya, dia akan makin dikucilkan di desa ini,” kata Bang Parlin.Bang Parlindungan belum berubah dari dulu, masih sempat-sempatnya dia memikirkan nasib orang yang sudah berbuat jahat pada istrinya. Teri
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada Bang Parlin, tidak biasanya Bang Parlin langsung marah pada tamu. Dia orang yang sangat menghormati tamu, bahkan tamu yang jahat sekalipun. Ini Bang Parlin langsung marah, tentu saja aku heran.“Abang benci orang seperti itu, Dek,” jawab Bang Parlin.“Ish, Abang, benci pun pilih kasih, si sekdes itu sampai bunuh anjing, Abang masih saja bantu,” kataku kemudian.“Beda, Dek, jika seseorang itu masih sadar yang dia lakukan salah, masih ada kemungkinan dia berubah. Itu yang tadi malah bangga dengan kesalahannya, dia bawa cewek berduaan, dia dengan bangganya bilang “ teman tapi mesra “ sementara istrinya diganggu orang dia sudah mau meracuni, sementara istri orang dia bawa-bawa, kan sakit jiwa itu,” kata Bang Parlin.“Oooo, begitu,” aku manggut-manggut, t
Bang Parlin terdiam, Ucok terus saja mendesak dengan kata-kata Bang Parlin yang dia ucapkan ulang. Aku jadi ikut dilema, apakah keinginan anakku ini harus dituruti? Tapi kasihan suamiku, dia sangat sayang pada sapinya, apalagi Rembo, sapi raksasa seberat satu ton itu sangat dia sayang. “Kalau memang di desa ini tidak ada yang berkurban, udah kita ambil semua, delapan sapi kita kurbankan,” kata Bang Parlin. Memang harus delapan sapi biar cukup untuk seluruh desa. “Yah, ayah kalah sama Rapi,” kata Ucok. “Apa, memang si Rapet kurban berapa, lagian kurban itu bukan kalah menang, bukan lomba kurban paling banyak,” kata Bang Parlin. “Rafi Ahmad, Bang, bukan si Rapet,” kataku coba menjelaskan kesalahpahaman. “Lihat ini, Yah, kurban Rafi, namanya jadi Sapi Ahmad, besarnya kan, mirip si Rembo,” kata Ucok seraya menunjukkan isi HP-nya. Ah, anakku ini sudah korban media sosial, ternyata dia ingin ayahnya kurban seperti artis terkenal. Ucok, Ucok, memang Ayahmu siapa? Malam harinya Bang P