Quentin Arsyanendra, laki-laki yang hidup dalam kekangan seorang ayah sejak kanak-kanak. Tidak pernah bergaul, tidak pernah merasakan sekolah di sekolah umum, apalagi percintaan. Tapi semuanya berubah saat Quentin memasuki kehidupan kampus. Seorang teman mengenalkannya pada dunia balap mobil liar. Sejak saat itu, dia tergila-gila pada balap mobil hingga dia lulus dan masuk dunia bisnis. Quentin seperti hidup menjadi dua pribadi yang berbeda. Di siang hari, dia adalah si Tangan Dingin, selalu serius dan tak pernah tertawa. Namun di malam hari, dia berubah menjadi Crazy Jack, si pembalap gila yang selalu ceria. Semuanya menjadi pelik tatkala si cantik Helia Mahika masuk ke dalam kehidupannya. Quentin harus mulai memilih, akan menjadi apa dia seharusnya. Si Tangan Dingin? Ataukah Crazy Jack? Semua pilihan mengandung resikonya! You have to be ready, Tintin!
View MoreWajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments