"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin.
"Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin mengulurkan tangan, dan disambut si gadis dengan sikap yang sedikit arogan. "Kening anda kenapa?" tanya Quentin iseng."Tidak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil," timpal Rosemary, alias Helia dingin. Wajar jika gadis itu tak dapat mengenali Quentin, karena tadi malam arsitektur tampan itu menyembunyikan wajahnya di balik masker."Putriku adalah seorang pembalap profesional. Dia sering mengikuti kompetisi tahunan yang diadakan oleh negara bagian," jelas Frank bangga."Oh, ya?" Quentin kembali memperhatikan Helia yang tampak risi."Biasa saja," ujar Helia angkuh."Ah, baiklah. Mari kita kembali ke bisnis. Aku menyewa anda untuk merancang kluster perumahan elit baru yang rencananya akan kubangun di pinggiran kota Manhattan," sela Frank."Tentu! Konsep seperti apa yang anda inginkan?" tawar Quentin."Aku menginginkan sesuatu yang spektakuler. Mungkin Helia bisa menjelaskan lebih detil." Frank mengarahkan pandangan pada sang putri.Helia mengempaskan napas panjang, lalu mengeluarkan laptop dari dalam tas kerjanya dengan malas-malasan. "Sebenarnya aku tidak ingin mengurusi pekerjaan ayahku. Tujuan hidupku bukan di sini," gerutu Helia.Frank langsung berdehem. "Bisakah kau fokus, Nak?" pintanya pelan.Quentin mengulum bibir, mencoba menahan tawa atas interaksi ayah dan anak di hadapannya itu. Dia tak lagi banyak bicara, apalagi saat Helia menjelaskan konsep yang diinginkan oleh sang ayah. Cukup lama mereka berdiskusi untuk mematangkan rencana, hingga dicapai kata sepakat."Baiklah, aku setuju." Frank terlihat sangat puas. "Selanjutnya akan kuserahkan pada putriku, karena aku harus mengikuti pertemuan di balai kota sekarang juga."Sontak Helia melotot. Dia melayangkan tatapan protes. Namun, Frank tak peduli. Pria paruh baya itu malah meninggalkan ruangan setelah bersalaman dengan Quentin.“Keterlaluan!” Helia menggerutu pelan sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wanita muda itu menunjukkan rasa tidak suka atas tindakan sang ayah.“Itulah kenapa aku ingin hidup mandiri. Di Afrika pun tak masalah,” ujarnya setengah berbisik. Padahal, di sana hanya ada dia dan Quentin.“Kenapa begitu?” tanya Quentin seraya menautkan alis.“Kau lihat sendiri bagaimana sikap Tuan Frank Gallaway bersikap semaunya padaku. Bila kau ingin tahu satu rahasia besar, aku akan memberimu bocoran, Tuan Arsy … um … Arsi ….”“Panggil saja Quentin.” Pria tampan itu paham dengan raut kebingungan yang ditunjukkan oleh Helia.Helia menatapnya sesaat, lalu tersenyum. Sepasang mata hazelnya yang bulat, tampak begitu bercahaya. “Itu jauh lebih baik. Lagi pula, ayahku tidak di sini,” ujarnya enteng.Quentin manggut-manggut. Dia yang awalnya berdiri, mempersilakan Helia agar duduk.“Jadi, ada rahasia besar apa yang ingin kau bagi denganku, Nona Gallaway?” tanya Quentin penuh wibawa.Helia tidak segera menjawab. Wanita muda itu justru memperhatikan lekat Quentin, seakan tengah menganalis pria tampan tadi. “Apa kau berasal dari Asia?” tanyanya tiba-tiba. Helia seperti tak fokus pada satu pembahasan. Dia melayangkan pertanyaan di luar topik pembicaraan.“Um … begitulah. Apa itu masalah bagimu?” Quentin balik bertanya. Ada rasa risi dalam diri sang arsitek, ketika Helia memperhatikannya dengan saksama. Quentin menjadi salah tingkah.“Tidak. Tentu saja itu bukan masalah,” jawab Helia enteng. Dia menopang siku menggunakan tangan kiri. Sementara, jari telunjuk kanan asyik memilin helaian rambut di dekat telinga. “Aku suka orang Asia. Orang tuaku bahkan tidak memberikan nama Amerika. Kau tahu kenapa?”Quentin memicingkan mata. Baginya, sikap Helia dinilai terlalu aneh untuk menjadi putri dari seorang pengusaha ternama seperti Frank Gallaway. Entah itu merupakan karakter asli wanita muda tersebut, atau dia sedang berpura-pura.Quentin menganggapnya sebagai salah satu trik untuk menarik perhatian.“Kenapa?” tanya Quentin pelan dan dalam.Helia tersenyum manis. Terlihat sangat alami dan tulus, seiring dengan binar indah di sepasang mata hazelnya. “Ibuku berasal dari Asia. Apa kau tahu Indonesia?”Seketika, Quentin bereaksi. Dia sedikit mengubah sikap duduk, meski tak terlalu berpengaruh pada gayanya yang kharismatik. “Sungguh?”Helia menggangguk yakin.“Asal kau tahu, Nona Gallaway. Sebenarnya, aku juga berasal dari Indonesia. Namun, aku lama tersesat di negara ini.” Quentin tersenyum simpul.Lain halnya dengan Helia. Wanita muda itu terlihat sangat antusias. Dia bahkan sampai terlihat bingung hendak berkata apa. Namun, sesaat kemudian putri pengusaha properti ternama di Manhattan tersebut dapat menguasai diri.Helia membetulkan sikap duduk.Wanita cantik berambut sebahu itu manggut-manggut. “Ini luar biasa. Aku senang sekali, jika bertemu dengan orang Indonesia. Sebenarnya, aku ingin ke sana. Namun, aku tidak tahu tempat tujuan yang bagus ….”“Bagaimana dengan tempat tinggal ibumu?” tanya Quentin menyela ucapan Helia. “Apakah dia juga tersesat dan tak pernah pulang lagi ke negara asalnya?”Helia terdiam mendengar pertanyaan pria di hadapannya. Senyum kelu terlukis di sudut bibir wanita muda itu. Dia kembali menunjukkan raut kebingungan. Helia menggeleng samar.Tanggapan Helia membuat Quentin sama bingung. Pria itu berusaha mencerna bahasa tubuh yang diperlihatkannya. Quentin tak berani menerka-nerka.“Apa kau sangat mengenal negaramu … um … maksudku … kau sudah lama tinggal di sini. Apakah kau masih mengingat tempat-tempat atau apa pun yang berkaitan dengan Indonesia?” tanya Helia.“Aku tidak boleh lupa dengan negara asalku. Seberapa jauh burung terbang, dia tetap akan kembali ke sarangnya. Kecuali, jika burung itu memang tidak memiliki sarang atau terbuang.” Quentin tersenyum kikuk. Dia seakan baru menyadari kata-katanya.“Apakah kau berniat kembali ke Indonesia? Berkunjung? Berlibur?” Helia menaikkan sebelah alis.Quentin tak segera menjawab. Dia kembali mencerna pertanyaan Helia. “Maksudmu?”.Helia menggeser duduknya jadi lebih dekat. Wanita muda itu terlihat sangat serius. “Bisakah kau meluangkan waktu untuk membawaku ke Indonesia? Aku ingin sekali ke sana, tetapi ayah tidak pernah mengizinkan. Akan kuberikan imbalan untukmu.”“Apa?”“Aku masih perawan.”Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko