Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya.
Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin.Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri."Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi."Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar.Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis itu memang bergerak. Bahkan kini si gadis dapat mengangkat tangannya meski pelan dan teramat lemah."Hei, kau sudah sadar?" Quentin menyentuh lengan gadis itu. Sontak si gadis membelalakkan mata dan menoleh ke arahnya dengan raut yang teramat panik. Dia langsung bangkit dari ranjang sambil mencoba untuk turun."Jangan! Selang infusnya bisa lepas!" cegah Quentin. Susah payah dia berusaha menarik gadis misterius itu agar kembali berbaring."Siapa kau?" tanya si gadis seraya menatap tajam pada Quentin."Aku yang menabrak mobilmu sampai ringsek tadi," jawab Quentin jujur."Kau ...." Ekspresi marah tampak jelas di wajah cantiknya. "Apa hubunganmu dengan Crow?" geram gadis itu."Apa hubunganmu dengan Crow?" Quentin malah mengulang pertanyaan yang sama. "Kenapa kau berusaha mencelakainya?""Kuperingatkan padamu. Jangan pernah menghalangi jalanku atau kau akan menerima akibatnya," ancam si gadis. Walaupun kondisi tubuhnya lemah, tetapi dia berani menantang Quentin."Terbalik, Nona. Lihatlah keadaanmu saat ini yang terbaring lemah tak berdaya. Kalau mau, aku bisa melaporkanmu ke polisi sekarang juga. Aku memiliki banyak bukti yang memberatkan dirimu. Kamera dashboardku menyala dan merekam momen di saat kau berusaha mencelakai mobil Crow," tutur Quentin. Sikapnya yang tenang, berbanding terbalik dengan si gadis misterius yang semakin memucat."Kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa!" sentak gadis itu nyaring, seolah tak peduli bahwa waktu telah menunjukkan tengah malam."Kalau begitu, katakan padaku. Dengan siapa aku berurusan?" timpal Quentin enteng, membuat si gadis semakin meradang."Jangan sombong, Tuan! Aku bisa membelimu sekarang juga!" ujarnya tak mau kalah."Aku tak yakin kau bisa membeliku." Quentin terkekeh."Seratus ribu dollar untuk membungkam mulutmu!" tawar si gadis, masih dengan suara yang teramat nyaring.Mendengar hal itu, Quentin malah terbahak. "Kau serius ingin memberiku seratus ribu dollar?"tanyanya meremehkan."Aku tidak pernah bercanda dengan siapapun!" tegas si gadis."Oh, ya?" Quentin mendekatkan wajahnya pada gadis itu. "Sayang sekali, aku tidak semiskin yang kau kira. Seratus ribu dollar itu nominal yang teramat kecil menurutku," ledeknya."Berapa yang kau mau?""Aku tidak mau uang," jawab Quentin."Aku bisa memberikan banyak hal. Semua yang kau inginkan selain uang." Gadis itu seakan tak putus asa menjerat Quentin dengan tawarannya."Kurasa keinginanku sangatlah mudah. Aku hanya ingin tahu namamu," sahut Quentin seraya tersenyum lebar."Kau memang kurang ajar!" umpat si gadis."Terserah padamu kalau memang tak ingin memberitahu." Quentin mengangkat kedua bahunya, lalu berbalik hendak meninggalkan ruang perawatan itu."Mau ke mana kau!" pekik gadis itu."Tentu saja melaporkanmu ke kantor polisi." Quentin terkekeh. Hiburan baginya ketika melihat ekspresi wajah gadis di depannya yang tegang dan bersungut-sungut."Tunggu!" sergah si gadis tatkala Quentin sudah berada di ambang pintu."Mereka biasa memanggilku Rosemary," jelasnya tiba-tiba.Quentin langsung menghentikan langkah. Dia kembali berbalik dan mendekat ke ranjang si gadis. "Mereka siapa?" tanyanya lembut. Tanpa permisi, Quentin langsung menyentuh dagu Rosemary dan memaksanya untuk mendongak.Mulut Rosemary terkunci. Dia balas menatap Quentin dengan penuh kebencian.Untuk sesaat, Quentin terhanyut dalam iris mata berwarna hazel itu. Jika tak pandai mengendalikan diri, tentu dia sudah melepas maskernya dan melumat bibir ranum kemerahan gadis itu.Quentin segera menjauhkan diri dari tatapan melenakan Rosemary. Dia mundur beberapa langkah sambil berkacak pinggang. "Jadi, bagaimana? Apa aku harus ke kantor polisi sekarang?""Tunggu! Aku akan memberimu satu juta dollar! itu jumlah yang fantastis, bukan?" tawar Rosemary lagi.Namun, Quentin hanya terbahak. "Bukankah tadi sudah kubilang kalau aku tidak menginginkan uang? Lagi pula, kau pikir aku percaya dengan semua kata-katamu? Aku tidak mengenal siapa dirimu. Kau juga tidak memberitahu nama aslimu, dan tiba-tiba kau menawari uang sebanyak itu," ujarnya."Berhentilah mempermainkanku! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa!" Rosemary mulai kehabisan kesabaran."Kalau begitu, katakan dengan jelas siapa kau sebenarnya dan siapa mereka yang kau maksud?" ucap Quentin penuh penekanan.Rosemary terdiam untuk beberapa saat. "Crow adalah penjahat. Dia mencuri semua yang dimiliki oleh keluargaku. Aku hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi hakku!" tegasnya kemudian."Jadi, namamu benar Rosemary?" tanya Quentin lembut."Itu hanya nama panggilan." Rosemary menunduk dalam-dalam, tidak berani melawan tatapan Quentin."Jadi, siapa namamu sebenarnya?""Aku ...." Rosemary mengangkat wajahnya, lalu mengernyit saat memperhatikan Quentin. "Apakah kau asli warga kota New York ?" tanyanya tiba-tiba."Tidak," jawab Quentin singkat. "Aku berasal dari salah satu kota di Asia."Oh, ya?" Rosemary tampak begitu antusias. "Aku juga gadis campuran. Ibuku juga berasal dari Asia. Ayahku ....""Ayahmu?" lanjut Quentin saat Rosemary menjeda kalimatnya."Aku tidak boleh menceritakan apapun tentang ayahku. Kau sudah tahu terlalu banyak," ujar Rosemary."Hm, baiklah kalau kau tidak ingin menceritakan tentang ayahmu." Quentin menghela napas panjang. "Setidaknya beritahukan alasanmu sampai kau ingin membunuh Crow?""Aku tidak hendak membunuh Crow. Aku berniat untuk menculiknya, tapi kau datang dan mengacaukan semuanya," sungut Rosemary."Oh, jadi begitu." Quentin manggut-manggut. Dia berniat untuk melanjutkan interogasi, ketika telepon genggamnya berdering.Quentin mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia mengernyit saat melihat nomor tak dikenal memenuhi layar. Merasa penasaran, Quentin segera mengangkat teleponnya."Aku Crow. Keith sudah menceritakan semuanya. Kuhargai semua kebaikanmu, tapi bisakah kita bertemu sekarang juga?" pinta Crow tanpa basa-basi.Bukannya menjawab, Quentin malah mengalihkan perhatiannya pada Rosemary. "Aku sedang berada di rumah sakit," tutur Quentin.Sontak Rosemary menggelengkan kepala kuat-kuat, seolah meminta Quentin untuk tidak memberitahukan keberadaannya."Apa kau terluka?" Crow terdengar sedikit khawatir."Ya, begitulah," kilah Quentin."Astaga. Demi menolongku, kau sampai harus terluka. Baru kali ini aku menemukan lawan sebaik dirimu," sanjung Crow."Tidak perlu berlebihan, Crow. Aku melakukannya tidak secara cuma-cuma," sahut Quentin."Apa yang harus kulakukan untukmu?" Crow memahami arah pembicaraan Quentin."Tidak banyak. Kuharap kau bisa membatalkan taruhan, sehingga aku tidak perlu kehilangan mobilku," jawab Quentin."Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko