"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?"
"Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor."Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!""Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdiri di antara kerumunan manusia yang berjajar di sisi jalan.Dia kemudian mengarahkan pandangannya ke kanan, di mana Crow bersiap memacu mobil BMW sportnya dengan raut tegang."Good luck, Boy!" seru Quentin dari dalam mobilnya seraya menyeringai."Kau yang seharusnya berdoa demi keberuntunganmu!" balas Crow tak kalah nyaring.Quentin terkekeh. Dia tak ingin terpancing oleh kalimat Crow tadi. Iris mata coklatnya lurus menatap ke depan, pada seorang gadis yang hanya memakai bikini berwarna merah di malam berangin seperti saat itu.Gadis itu menari erotis sembari mengangkat bendera start tinggi-tinggi ke udara, lalu dia turunkan bendera itu hingga ujungnya menyentuh aspal.Itulah pertanda balapan dimulai detik itu juga. Quentin lihai menggerakkan persneling seraya menginjak pedal gas. Ford Mustang generasi pertama itu melaju kencang mengalahkan sport BMW milik Crow.Kendaraan Quentin melaju kencang membelah Death Valley, sebuah jalan antar kota yang tak lagi terpakai akibat pembangunan rute baru. Kontur jalannya yg lurus fan datar, memudahkan Quentin untuk menguasai jalannya balapan. Akan tetapi, Quentin harus menahan napas ketika mobil sport keluaran terbaru itu menyalip mobilnya.Quentin berusaha mengejar. Dengan gesit, dia mengganti gigi bersamaan dengan kakinya yang tak lepas dari pegal gas.Sedikit lagi, Quentin bisa menyusul Crow. Namun tiba-tiba dari arah belakang, dua mobil berkecepatan tinggi menyusul dan menyeruduk mobil lawannya itu."Hei!" pekik Quentin, meski dia sadar bahwa hal itu sia-sia. Dua mobil tersebut semakin beringas menabrak bemper belakang mobil Crow.Tak ingin tinggal diam, Quentin berusaha membantu Crow. Nyalinya begitu besar saat harus menabrakkan mobil kesayangannya itu ke bodi kendaraan tak dikenal yang terus berusaha merangsek.Usaha Quentin membuahkan hasil. Mobil misterius itu terdesak ke tepi jalan yang berbatasan dengan tebing berbatu. Tanpa ampun, Ford Mustang milik Quentin terus mendorong mobil itu hingga menabrak batu besar yang menonjol di permukaan tebing. Bagian depan kendaraan misterius itu remuk. Sedangkan mobil misterius lainnya melarikan diri.Quentin dilanda rasa penasaran yang teramat sangat. Dia tak peduli meskipun Crow berhasil menyalip dan meninggalkan dirinya. Dalam waktu singkat, Quentin melupakan balapan. Dia memilih untuk menepikan mobil tepat di belakang mobil yang sudah hancur tersebut.Dengan langkah hati-hati dan penuh kewaspadaan, Quentin turun dari kendaraan, lalu berjalan mendekat. Dibukanya pintu samping kemudi yang telah ringsek akibat bergesekan dengan batu tebing.Quentin terbelalak tak percaya ketika seseorang yang berada di balik kemudi itu adalah seorang perempuan. Kepala gadis itu terkulai di atas kemudi. Darah mengucur dari pelipis. Entah kenapa airbag mobil tersebut tidak berfungsi sehingga tidak dapat melindungi kepala si gadis.Merasa khawatir akan keadaannya, Quentin nekat menarik tubuh gadis itu secara perlahan dan hati-hati, hingga keluar dari mobil.“Hei, bangun!” Quentin menepuk pelan pipi yang terasa begitu halus itu.Gadis itu melenguh pelan, sedangkan matanya tetap terpejam.“Kenapa kau mengganggu balapan kami?” kali ini, Quentin mulai tak sabar. Dia menggoyang-goyangkan tubuh ramping berbalut jumpsuit berwarna putih. Namun, Quentin sama sekali tak mendapatkan respons.“Ah, sialan! Aku jadi kalah balapan!” umpat Quentin seraya menendang beberapa kerikil kecil hingga terlontar beberapa meter jauhnya. Amarahnya itu tak berlangsung lama. Sisi nuraninya kembali muncul saat menyadari keadaan si gadis yang tidak baik-baik saja.Quentin segera meraih ponsel yang bertengger di wadah khusus yang menempel pada dashboard mobilnya. Dia buru-buru menghubungi Keith untuk menjelaskan apa yang terjadi. "Orang-orang misterius menyerang mobil Crow! Aku sudah melumpuhkan satu kendaraan, sedangkan kendaraan lain berhasil melarikan diri," jelas Quentin."Apa? Jadi kau kalah?" Keith malah tak memedulikan penjelasan Quentin."Ceritakan semuanya pada Crow! Aku mengundurkan diri dari balapan lebih dulu. Dia bisa mengambil mobilku besok," papar Quentin."Hei, kau mau ke mana!" seru Keith."Nanti saja kuceritakan semuanya padamu. Yang penting sekarang, katakan semuanya pada Crow," tutup Quentin. Dia mengakhiri panggilan tanpa menunggu tanggapan Keith, kemudian beralih pada gadis misterius yang tengah terluka itu.Susah payah Quentin memindahkan tubuh si gadis ke jok belakang mobilnya. Dia berniat membawa gadis itu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, beberapa orang petugas medis, siap menyambutnya dan memindahkan gadis tersebut ke atas brankar."Apakah anda kerabatnya?" tanya salah seorang petugas medis."Ya, begitulah. Dia sepupuku." Quentin terpaksa berbohong."Baiklah. Kami akan segera membawanya ke ruang gawat darurat. Anda boleh menunggu di tempat yang sudah disediakan," jelas petugas itu."Haruskah aku menunggunya?" tanya Quentin polos."Apakah anda tega membiarkan saudara anda sendirian di saat kami melakukan tindakan kepadanya?" petugas medis tersebut balik bertanya, membuat Quentin seketika membisu.Dia tak mempunyai alasan lain, sehingga mau tak mau Quentin harus menunggui seseorang yang sama sekali tidak dia kenal. "Ya, sudah. Lakukan apa yang perlu dilakukan. Aku akan menunggu di sana." Quentin menunjuk ke deretan bangku panjang ruang tunggu.Dengan langkah lunglai, dia memilih satu tempat duduk di sana. Lelah menyandarkan punggung, Quentin pun merebahkan diri di kursi bercat abu-abu itu. Tanpa terasa, dia tertidur untuk beberapa saat lamanya sampai seorang pria berseragam dokter membangunkan dirinya."Apakah anda kerabat dari nona yang masuk ke ruang gawat darurat tiga jam yang lalu?" tanya sang dokter."Ya, betul. Itu saya," jawab Quentin dengan segera."Anda patut bersyukur bahwa kondisinya stabil. Hanya ada satu luka robek di pelipis dan trauma ringan di kepala. Selebihnya, dia baik-baik saja," jelas dokter itu."Syukurlah." Quentin mengempaskan napas lega."Anda bisa menemaninya di ruang perawatan, sambil menunggu kami selesai memeriksa hasil lab dan CT scan," tutur sang dokter."Menunggunya?" ulang Quentin. "Ta-tapi, saya ....""Biasanya setelah sadar, pasien akan mengalami sedikit syok. Tugas anda adalah menemani dan menenangkannya," sela si dokter sebelum Quentin sempat menyelesaikan kalimatnya.Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa
"Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin
"Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan
Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis
"Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir
"Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da
Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko