Home / Romansa / The Wild Boss / The Beginning

Share

The Wild Boss
The Wild Boss
Author: Ayaya Malila

The Beginning

Author: Ayaya Malila
last update Last Updated: 2021-08-04 22:55:06

Empire State Building, New York.

Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada.

Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki.

“Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa.

Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah kompleks perumahan menengah ke atas yang berada di pinggiran Jakarta.

Quentin Arsyanendra, begitu sang ayah memberi nama. Dia masih ingat ketika sang ayah memamerkannya pada teman-temannya. Quentin yang saat itu duduk di bangku TK, menggelayut manja di gendongan ayahnya. Sedangkan Kalingga, kakaknya, saat itu berusia 15 tahun, berdiri gagah di samping sang Ayah, menerima jabat tangan dari teman-teman ayah sembari dagu terangkat dan tersenyum penuh wibawa.

"Quentin ini anak yang ramah. Sepertinya dia akan jadi orang yang mudah bergaul," Bramantya, sang ayah, mengangkat Quentin dan meletakkannya di pundak.

"Womanizer juga sepertinya, haha!" timpal salah seorang teman Bram sambil terbahak.

"Kalau Kalingga, dia yang akan kupersiapkan menjadi penggantiku, dibantu Quentin tentunya," ujar Bramantya sambil menepuk pundak Kalingga. "Karakternya sudah oke! Tinggal memoles lainnya," lanjutnya.

Sempurna rasanya hidup Quentin saat itu. Ayah yang benar-benar penyayang dan perhatian. Kakak yang baik dan selalu melindungi. Rasa-rasanya tak ada yang bisa menghilangkan kebahagiaan ini.

Namun semua salah, keceriaan dan segala keindahan hidup yang Quentin miliki, hanya berlangsung selama 3 tahun lamanya.

Hari itu, seharusnya menjadi hari ulang tahun ke-18 untuk Kalingga. Seluruh anggota keluarga heboh menyiapkan pesta kejutan untuk sang pangeran. Terutama Agni, ibunya. Beliau tegas menginstruksikan pada para pembantunya untuk melakukan ini dan itu, "Cepetan, mbok! Ini sudah mau jam 12 malam!" serunya cemas. "Sedikit lagi, Nyonya!" sahut si Mbok. Badan lebarnya terlihat menata sajian di atas meja makan.

Bram pun terlihat hilir mudik ke lantai atas untuk kemudian kembali turun. "Sudah siap, bapak!" pekik si Mbok sambil mengacungkan dua jempolnya.

Bramantya mengangguk dan mulai mengetuk pintu kamar Kalingga. Awalnya pelan, namun Kalingga tak kunjung membuka pintunya.

"Ngapain sih ni anak? Biasanya dia gampang banget dibangunin," gumamnya pada sang istri.

Kali ini, Bram mengetuk pintu kamarnya lebih keras, "Ngga! Bangun, Ngga! Papa mau ngomong!"

Hening. Sama sekali tak ada jawaban.

Tangan sang istri mulai pegal memegang kue tart. "Udah, dobrak aja kenapa sih, Pa!" sungutnya.

Bram menggedor-gedor pintu kamar Kalingga. "Kamu nyembunyiin cewek ya, Ngga! Jawab!" Bram mulai berpikiran negatif. "Papa dobrak, ya! Satu.. Dua.."

BRAKK!

Kaki besar Bram menjebol pegangan pintu. Pintu itupun didorongnya hingga terbuka lebar. Hampir saja sang istri menyanyikan lagu ulang tahun, saat dia melihat pemandangan mengerikan yang tersaji di depan matanya. Kue tart yang ia buat sepenuh hati bersama si Mbok, harus ia relakan terjatuh di lantai, demi tangannya yang tak lagi punya kuasa untuk menahan apapun. Bram hanya sanggup ternganga. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya bahwa dia akan mengalami hal seperti ini.

Pelan, diarahkan kakinya menuju pembaringan Kalingga. Ditatapnya wajah putra kesayangan. Ketampanan yang selama ini menghiasi wajah itu sudah menghilang. Digantikan dengan raut yang pucat, kaku, mata yang melotot dan mulut berbusa. Sejenak, Bram tak sanggup berpikir, kosong sekali kepalanya, tak tahu harus berbuat apa. Sedetik kemudian, terdengar tubuh ambruk seseorang, yang ia tahu itu adalah istrinya. Baru lah kesadarannya kembali. "Telepon ambulans, cepat!" teriak Bram dengan mata nyalang.

Quentin yang terlelap di kamarnya, terbangun mendengar keributan. Bocah itu mengerjapkan mata, lalu berjalan membuka pintu. Banyak orang lalu lalang di depan kamarnya. Semua terlihat panik. Mbok Yem, Mang Didin dan dua orang berseragam putih mendorong brankar memasuki kamar Kalingga, yang terletak tepat di samping kamarnya. Sebelum sempat melongok ke kamar kakaknya, gendang telinganya menangkap adiknya yang masih bayi menangis kencang. Urung mencari tahu penyebab kehebohan, Quentin berlari menuju kamar bayi. Diraihnya bayi mungil nan cantik yang baru berumur tiga bulan itu, lalu digendongnya hati-hati.

"Cup, cup, adek.. diem yaa, kita panggil mama, yaa.." hiburnya, berharap adiknya bisa kembali tenang. Namun, ternyata malah semakin kencang tangis si kecil.

"Aduh, cup Diandra.. Tangan kakak capek, hiks." Quentin mulai meringis saat tangan kirinya mulai kesemutan.

"Mama ... Adek nangis, Mama!" teriak Quentin. Tubuh kurus itu keluar dari kamar bayi mencari sang mama, sementara tangannya sibuk mengayun-ayunkan Diandra di gendongan.

Langkah kaki Quentin terhenti di depan tangga, ketika sebuah brankar lewat di depannya, membawa seseorang yang tertutup kain putih. Satu tangan menyembul keluar, menggantung di sisi brankar. "Kakak?" bisiknya lirih. Tak salah lagi, itu tangan Kalingga, Quentin mengenali jam tangan yang melekat di pergelangan.

Tangis Diandra makin kencang, begitu pula Quentin. Entah apa yang ditangisinya. Otak kecilnya memang tak mampu menangkap gambaran nyata yang masuk melalui matanya. Tapi hatinya begitu teriris mengingat tangan yang seakan tak bernyawa itu, terkulai lemas melewatinya.

"Tintin ...." Lirih suara sang ibu memanggilnya. Panggilan kesayangan untuk Quentin. "Adik bawa kesini. Gendong mama sini." Nada suara ibunya bergetar, terseok berjalan menghampiri bocah yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-8 seminggu lalu.

Sedikit takut, ia menghampiri ibunya yang tampak begitu pucat, bibir yang biasanya kemerahan itu bergetar hebat seakan menahan tangis. "Diandra haus, ya?" ucap sang ibu seraya membuka kancing dasternya, kemudian bersiap mengASIhi sang bayi.

"Mama ...." Ragu Quentin memanggil. "Kakak ... kakak kenapa?" Mata kecilnya menyipit memandang Agni. Namun, bukan jawaban yang didapat, melainkan raungan keras yang memekakkan telinga.

Quentin terkejut dan memundurkan badan. Dia tak menyangka ibunya akan bereaksi seperti itu. "Papa!" tak putus asa dalam mendapatkan jawaban, dia berlari mencari sang ayah. Quentin menemukannya bersujud di lantai kamar Kalingga. "Pa?" panggilnya lagi. Bram menoleh ke arah Quentin dengan wajah sayu.

"Kakak kenapa, Pa? Kakak dibawa kemana?" Quentin mendekati Bramantya dan menangkupkan kedua tangan mungilnya ke wajah Bram.

"Kakakmu pergi... Pergi ke surga.." jawab sang ayah.

Related chapters

  • The Wild Boss   Taruhan

    "Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da

    Last Updated : 2021-08-04
  • The Wild Boss   Sang Penjaga

    "Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir

    Last Updated : 2021-08-04
  • The Wild Boss   Gadis Misterius

    Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis

    Last Updated : 2021-08-15
  • The Wild Boss   Reunite

    "Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan

    Last Updated : 2021-08-19
  • The Wild Boss   Masih Perawan

    "Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin

    Last Updated : 2024-01-13
  • The Wild Boss   Wild Girl

    Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa

    Last Updated : 2024-01-14

Latest chapter

  • The Wild Boss   Wild Girl

    Wajah Quentin langsung memerah. "Ya, ampun," desisnya. "Memangnya kenapa kalau kau masih perawan? Apa benturan di kepala kemarin membuat otakmu sedikit bergeser?" Wajah cantik Helia memucat seketika. "Kau ...." Telunjuk gadis itu terarah tepat ke wajah Quentin. "Jadi kau pria yang tadi malam ...." "Ya, akulah pria bermasker tadi malam," sela Quentin. Tak disangka, Helia menggebrak meja. Dia berdiri dengan sorot mata nyalang dan berkacak pinggang. "Sudah kuduga!" seru Helia. "Aku mengenali sepasang mata coklat itu!" "Senang bertemu kembali denganmu, Rosemary. Kemana saja kau tadi malam? Kenapa menghilang?" Quentin tersenyum penuh kemenangan. Helia tak menjawab. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya, lalu melangkah cepat meninggalkan ruangan Quentin. Namun, belum sampai dirinya tiba di ambang pintu, Quentin lebih dulu melompat melewati meja kerjanya, lalu berlari cepat menyusul Helia. Dia mencekal lengan si gadis dan menariknya mundur. Quentin kemudian mengunci pintunya. "Kenapa

  • The Wild Boss   Masih Perawan

    "Maaf? Anda bilang apa?" Frank mencondongkan tubuhnya ke arah Quentin. "Tidak ... tidak apa-apa." Quentin tersenyum sambil melirik sesekali ke arah Rosemary yang sepertinya tak mengenalinya. Gadis itu malah sibuk mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan."Aku suka sentuhan modern dan etnis yang dipadukan secara serasi di interior ruangan ini," celetuk Rosemary tiba-tiba."Begitukah? Terima kasih jika anda menyukai hasli karya timku. Kami mempunyai ahli desain interior yang terbaik di kota ini," sahut Quentin jumawa."Ah, Helia. Tidak sopan sekali sikapmu," tegur Frank pelan sambil menarik tangan si gadis. "Maafkan putri saya, Tuan Arsyanendra. Dia memang suka berbuat seenaknya.""Siapa namanya?" Quentin menautkan alis."Namaku Helia Mahika, putri tunggal Frank Gallaway," jawab gadis yang kemarin mengaku Rosemary itu. Quentin jelas-jelas tidak salah mengenali, sebab di pelipis gadis itu, terdapat plester kecil berwarna putih yang tampak baru."Senang bertemu dengan anda." Quentin

  • The Wild Boss   Reunite

    "Baiklah, anggap saja balapan kita hari ini gagal. Akan tetapi, kita harus mengulanginya lain hari dengan taruhan yang sama," tegas Crow."Oke, aku setuju," putus Quentin sambil melirik Rosemary yang terus memandangnya. Dia lalu mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat pada gadis yang terlihat begitu cantik itu."Apa kau memberitahukan pada Crow tentangku?" Rosemary tampak waspada. Mata indahnya menatap tajam pada Quentin."Kau dengar sendiri apa yang baru saja kubicarakan bersama Crow," sahut Quentin enteng. "Kami sama sekali tak membahas tentangmu.""Apa dia ingin mengajakmu bertemu?" tanya Rosemary lagi."Itu sama sekali bukan urusanmu," jawab Quentin. "Beristirahatlah, aku akan memanggilkan dokter. Aku lupa bahwa aku harus memberikan laporan secepatnya jika kau terbangun."Quentin mengulurkan tangan ke arah Rosemary. Sontak, gadis itu berjingkat menghindar. "Mau apa kau!" sentaknya garang."Ya, ampun. Tenanglah, aku hanya ingin memencet tombol ini," tunjuk Quentin seraya menekan

  • The Wild Boss   Gadis Misterius

    Quentin berdiri dengan sikap kaku di samping ranjang. Diperhatikannya si gadis yang terbaring lemah. Dia masih belum sadarkan diri. Perban berwarna coklat membebat kepala, menutupi sebagian dahinya. Quentin terus memindai gadis yang menurutnya terlihat sangat cantik itu. Kulitnya kuning langsat. Bulu matanya panjang dan lentik. Quentin menerka-nerka bahwa sosok gadis itu sepertinya berasal dari Asia atau Amerika Latin. Dia memberanikan diri untuk mendekat dan menyentuh pipi si gadis yang terasa begitu halus. "Siapa kau sebenarnya?" gumam Quentin, seolah bertanya pada diri sendiri. "Berapa lama aku harus menunggumu terjaga?" tanyanya lagi. "Ck." Quentin mendengkus pelan, lalu kembali menegakkan badannya. Dia sudah memperkirakan akan menemani gadis itu dalam waktu yang tak sebentar. Akan tetapi, perkiraan Quentin itu ternyata salah. jemari lentik gadis itu tiba-tiba bergerak lemah. Quentin mengira jika dirinya salah lihat. Namun setelah memperhatikan dengan lebih jelas, jemari gadis

  • The Wild Boss   Sang Penjaga

    "Oke, deal!" Quentin mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Crow. "Lewat mana rutenya?""Death Valley, seperti biasa!" jawab Crow dengan yakin."Kurasa ini akan menjadi balapan yang mudah." Lagi-lagi Quentin tersenyum lebar, walaupun tak akan ada yang dapat melihatnya. Masker bergambar mulut iblis yang tertawa itu menutupi kehangatan raut wajah tampan itu. Sesuatu yang tak pernah ditampakkan di kantor. "Bawa mobilmu ke Blind Line. Kita mulai dari sana!" "Oke!" Quentin segera berbalik menuju mobil. Gerakannya begitu luwes saat memutar kemudi dan melajukan kendaraan menuju Blind Line yang terletak di ujung utara Death Valley.Di sana, ratusan orang juga telah menunggu. Gadis-gadis cantik nan seksi meliuk-liukkan tubuhnya sambil membawa bendera start. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang berasal dari bagasi salah satu mobil yang sudah dimodifikasi menjadi rangkaian sound system canggih.Quentin mulai fokus, meskipun sempat menoleh ke kiri, memperhatikan Keith yang berdir

  • The Wild Boss   Taruhan

    "Tuan, anda sudah sampai di lantai 16. Bukankah tadi anda memencet tombol 16?" tanya seorang penjaga lift yang berdiri tepat di samping Quentin. "Oh, i-iya!" Quentin tergagap. Lamunannya buyar seketika. Dia melangkah cepat keluar dari lift menuju satu lantai yang dia sewa selama beberapa tahun untuk menjalankan bisnis yang dia rintis sejak lulus dari jurusan arsitektur sebuah perguruan tinggi di New York. Quentin memiliki 15 orang pegawai yang siap membantu untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka begitu hangat dan loyal terhadap dirinya. "Selamat pagi, Sir," sapa sekretarisnya yang bernama Mallory. "Saya sudah membuatkan teh chamomile dan meletakkannya di meja anda," ujar wanita berambut coklat terang dengan iris mata hazel itu. "Terima kasih, Mallory," ucap Quentin datar seraya membuka pintu ruang kerja, lalu duduk di balik meja kerjanya. Sementara Mallory terus mengikuti. Dia sama sekali tak beranjak dari hadapan Quentin. Harus diakui, sekretarisnya itu terlihat begitu cantik da

  • The Wild Boss   The Beginning

    Empire State Building, New York.Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada. Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki. “Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa. Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah ko

DMCA.com Protection Status