Baru kali ini kulihat Bang Parlin begitu bahagia, biasanya dia berusaha menolak bantuan orang, kali ini langsung diterima. Sapi limosin raksasa milik Torkis langsung dirobohkan, seperti biasa tak ada drama, Bang Parlin sangat ahli menjinakkan sapi, dia hanya sentuh paha atas kaki belakang sapi tersebut, sapi itu sudah tumbang, lalu kaki sapi diikat oleh panitia yang lain. “Kau memang pahlawan, Torkis, hampir saja Rambo disembelih,” kata Bang Parlin ketika mereka minum kopi bersama di teras rumah. Penyembelihan kurban sendiri di lapangan sekolah SD yang berada di depan rumah kami. “Terima kasih, Pak, akhirnya kurasakan juga jadi pahlawan, duh ... sebentar dulu, Pak, aku nikmati dulu jadi pahlawan ini,” kata Torkis seraya membusungkan dada. “Lebaynya kau, Torkis,” kataku kemudian. Torkis kini memang sudah jadi miliarder, selain masih punya kebun sawit, mereka punya perusahaan pembibitan, perkebunan besar juga ambil bibit dari mereka. Ayu-istri Torkis juga punya usaha bunga, berbagai
Torkis serius, dia beli ayam sepasang untuk Ucok, dia juga beli sama kandang kawatnya. Tadinya dia sudah berikan uang seratus ribu, tapi ucok malah minta dibelikan langsung ayam sepasang.“Ayah, apa benar Bang Torkis dulu modalnya dua ayam?” tanya Ucok di suatu siang, saat itu kami lagi makan siang bersama.“Benar, Cok, saat itu dia sebesar kau ini, dia anak yatim piatu, tak ada lagi kedua orang tuanya, Ayah berikan dia sepasang ayam dan pekerjaan mengurus sapi,” jawab Bang Parlin.“Berapa lama biar dia dapat satu sapi besar?” tanya Ucok lagi. Sepertinya Ucok tertarik dengan sistem tersebut.“Lama, sampai empat tahun, tapi langsung sapinya banyak, karena dapat lagi dari gaji dia ngurus sapi, sepuluh tahun dia sudah punya sapi ratusan ekor, umurnya waktu itu baru dua puluh empat tahun,” kata Bang Parlin.
Ingin aku bantu Bang Parlin mewujudkan keinginannya, akan tetapi aku juga tak tahu harus berbuat apa. Keinginannya kali ini sepertinya sulit untuk terwujud. Bangun pabrik itu tentu saja butuh waktu butuh dana besar, belum lagi cari karyawan dan sebagainya. Ah, rasanya Bang Parlin sudah mulai tak waras.“Abang tau, gak, apa yang membuat aku pertama jatuh cinta sama abang?” tanyaku di suatu hari, saat itu kami lagi di kebun, aku menemani suami menggembalakan sapi. Belakangan ini memang entah kenapa aku ingin selalu dekat Bang Parlindungan. Aku merasa kejiwaannya seperti terganggu masa mau bangun pabrik untuk bantu petani desa. Orang bangun pabrik untuk cari untung Bang Parlin malah cari rugi.“Apa pula itu?” jawab Bang Parlin seraya mengelus kepala Rembo-sapi limosin kesayangannnya.“Abang punya prinsip hidup, yaitu mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan,&rd
Pabrik Kelapa sawit itu berada di pinggir jalan raya, tiga belas kilo meter jauhnya dari rumah. Masih satu kecamatan dengan kami. Bang Parlin mulai sibuk dengan usaha barunya. Setiap hari dia pergi ke pabrik sampai sapinya ditinggal, dia menyerahkan pengurusan sapinya pada salah satu karyawannya.Malam itu Bang Parlin pulang dari pabrik, rambutnya tampak kusut, begitu sampai, dia langsung berbaring di sofa.“Dah magriban, Bang?” tanyaku seraya melirik jam dinding.“Astagfirullah, lupa, Dek,” jawabnya seraya langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi.Untuk pertama kali Bang Parlin lupa salat maghrib, selama ini dialah yang selalu mengingatkan, Ya, Allah, apakah suamiku ini berubah karena urusan pabrik. Dulu aku pernah minta dibangun pabrik minyak goreng, dia tidak mau dengan alasan itu bukan bidangnya. Apakah suamiku memaksakan diri mengerjakan
“Aku tak setuju jika harus minjam uang, Bang,” kataku dengan suara agak kutinggikan.“Jadi kita harus bagaimana lagi, Dek? Apakah abang mundur sekarang, membiarkan pabrik itu terbengkalai lagi?” jawab Bang Parlin, suaranya tak kalah tinggi. Semenjak suamiku ini ngurus pabrik dia banyak berubah, kami jadi sering bertengkar.“Bang, abang kan anti ngutang, anti riba, ingat gak Bang, waktu aku gadaikan emasku, Abang marah sampai mau jual kebun, tolonglah, Bang, jangan bergeser dari prinsip hidup Abang,” aku melunakkan suara.“Ini darurat, Dek, dalam keadaan darurat yang haram pun bisa jadi halal,” Bang Parlin mengulang perkataannya.Bang Parlin makin lain dan bertindak di luar kebiasaan, sore itu juga dia menjual sapi sepuluh ekor, yang membuat aku makin kesal, Bang Parlin tak bilang padaku, tiba-tiba saja sudah datang
Semenjak pertemuan tak disengaja dengan bupati tersebut, kondisi daerah kami mulai stabil, ada banyak pabrik sawit mengikuti jejak Bang Parlin. Tetap menerima sawit rakyat dan tetap produksi. Karyawan tetap bekerja, sawit laku. Luar biasa ide sederhana Bang Parlin, kini dia jadi panutan satu kabupaten, tidak lagi panutan satu desa. “Pabrik mulai adem, Dek, terima kasih, adek memang kepala desa yang baik,” kata Bang Parlin di suatu sore, saat itu dia baru pulang dari pabrik. “Yang jago itu Abang, kok terima kasih padaku?” tanyaku heran. Tentu saja heran, dia yang berbuat, bahkan sebelum bupati memikirkan Bang Parlin suamiku itu sudah mengerjakan. Ide sederhananya diikuti orang, dipuji bupati. Kok terima kasih ke aku? Padahal aku sempat memarahi Bang Parlin karena itu. “Adek yang atur pertemuan dengan bupati itu, kan, pura-pura mau makan ke sana, karena memang adek tahu bupati lagi di restoran itu,” kata Bang Parlin. Wah, ternyata Bang Parlin berpikir seperti itu, padahal hanya keb
Bang Parlindungan ternyata serius ambil paket B, dia rutin ke ibukota kabupaten mengurus hal tersebut. Dengan mudahnya Bang Parlin lulus, akhirnya dia dapat ijazah setara SMP. Saatnya lagi dia ambil paket C. Bang Parlin tampak bersemangat sekali.“Abang hanya ingin tunjukkan ke anak-anak, pendidikan itu penting, Dek, bukan mau gaya-gayaan, abang prihatin mendengar perkataan seorang anak, gak usah sekolah pun bisa sukses, contohnya Bang Parlin,” kata Bang Parlin ketika aku mempertanyakan keseriusannya. Umur sudah hampir lima puluh, masa sekolah lagi.Gudang pabrik sudah penuh dengan CPO, sudah tak ada lagi tempat untuk menimbun. Bang Parlin kembali resah, karena tak bisa menampung sawit lagi.“Ada ide, Dek?” tanya Bang Parlin di suatu pagi. Saat itu dia seperti malas untuk berangkat ke pabrik.“Tutup saja untuk sementara waktu, Bang,
Rara, wanita cantik dan baik itu mau datang ke desa, jauh-jauh dari Bandung sana, mau lihat sapi? Ah, mustahil, dia pasti mau lihat Bang Parlin. Dari sekian banyak wanita hanya Rara yang bisa membuat aku cemburu begini. Dia tidak jahat sebenarnya, tak juga berusaha mengambil suamiku. Tapi kebaikannya itu yang justru membuat aku cemburu. Dia terlalu baik pada kami, ini rasa yang aneh.“Aku serius, Bang, satu kali dua puluh empat jam, tamu harus lapor,” kataku ketika Bang Parlin masuk kamar.“Hahaha,” Bang Parlin justru tertawa seraya ganti baju.“Kok ketawa, Bang?”“Bahaya kau, Dek,”“Kok bahaya pula?”“Iyalah, Dek, adek mempergunakan jabatan untuk urusan cemburu,” kata Bang Parlin seraya tertawa lagi.“Ish, bukan