Bang Parlindungan ternyata serius ambil paket B, dia rutin ke ibukota kabupaten mengurus hal tersebut. Dengan mudahnya Bang Parlin lulus, akhirnya dia dapat ijazah setara SMP. Saatnya lagi dia ambil paket C. Bang Parlin tampak bersemangat sekali.
“Abang hanya ingin tunjukkan ke anak-anak, pendidikan itu penting, Dek, bukan mau gaya-gayaan, abang prihatin mendengar perkataan seorang anak, gak usah sekolah pun bisa sukses, contohnya Bang Parlin,” kata Bang Parlin ketika aku mempertanyakan keseriusannya. Umur sudah hampir lima puluh, masa sekolah lagi.
Gudang pabrik sudah penuh dengan CPO, sudah tak ada lagi tempat untuk menimbun. Bang Parlin kembali resah, karena tak bisa menampung sawit lagi.
“Ada ide, Dek?” tanya Bang Parlin di suatu pagi. Saat itu dia seperti malas untuk berangkat ke pabrik.
“Tutup saja untuk sementara waktu, Bang,
Rara, wanita cantik dan baik itu mau datang ke desa, jauh-jauh dari Bandung sana, mau lihat sapi? Ah, mustahil, dia pasti mau lihat Bang Parlin. Dari sekian banyak wanita hanya Rara yang bisa membuat aku cemburu begini. Dia tidak jahat sebenarnya, tak juga berusaha mengambil suamiku. Tapi kebaikannya itu yang justru membuat aku cemburu. Dia terlalu baik pada kami, ini rasa yang aneh.“Aku serius, Bang, satu kali dua puluh empat jam, tamu harus lapor,” kataku ketika Bang Parlin masuk kamar.“Hahaha,” Bang Parlin justru tertawa seraya ganti baju.“Kok ketawa, Bang?”“Bahaya kau, Dek,”“Kok bahaya pula?”“Iyalah, Dek, adek mempergunakan jabatan untuk urusan cemburu,” kata Bang Parlin seraya tertawa lagi.“Ish, bukan
“Jadi begitu ya, Bang?” kataku ketika Rara dan keluarganya sudah pergi.“Begitu bagaimana, Dek?”“Abang mau jadi caleg karena Rara juga, rambut Abang gobel karena Rara, Abang jadi anggota partai karena Rara, semua karena Rara,” kataku kemudian.“Gak begitu konsepnya, Dek,” jawab Bang Parlindungan.“Konsep?” aku sampai mengerjitkan kening. Sekian lama berumah tanggal, baru kali ini kudengar Bang Parlin sebut kata konsep.“Iya, mungkin benar Abang mau caleg karena Rara, tapi bukan begitu konsepnya, Abang hanya meneruskan cita-cita Ayah Rara yang tidak kesampaian. Terus rambut gobel, mungkin memang benar ini dulu karena Rara, tapi bukan begitu konsepnya, rambut ini sudah jadi ciri khas Abang, sudah nyaman begini,” kata Bang Parlindungan, dia bicara seraya menggerakkan tangan, mirip pejaba
Bang Parlin akhirnya resmi mundur dari partai politik tersebut, dia mengajukan surat pengunduran diri dan disetujui ketuanya. Bang Parlin memang tidak cocok jadi pengurus partai politik, karena dia terlalu lurus.“Betul juga ya, Dek, setiap yang pakai kata terlalu itu kurang baik,” kata Bang Parlin, saat itu kami lagi melihat plang reklame yang ada di depan rumah dicopot.“Kecuali terlalu banyak duit, Bang, yang itu makin terlalu justru makin baik,” jawabku seraya tersenyum.“Abang terlalu lugu ikut politik,” kata Bang Parlin.“Bukan terlalu lugu, Bang, terlalu jujur,”“Betul juga, Abang menyerah, sekarang Abang dorong adek yang maju, kamu itu punya bakat,” kata Bang Parlin lagi.“Maju ke mana, Bang?”“Maju jadi
Lapangan desa itu sudah ramai orang. Para ibu-ibu sudah kumpul di pinggir lapangan, bapak-bapak juga sudah ramai-ramai. Lapangan ini adalah lahan kami yang dipergunakan untuk kegiatan masyarakat. Jika ada acara di sinilah dilaksanakan. Ketika kami sampai, tiga anak angkat Bang Parlin sudah menyambut kami.“Biarkan kugantikan tempatmu, Pak Parlin, biar aku yang duel dengan orang sombong itu,” kata salah satu anak angkat Bang Parlin. “Iya, Pak, biar aku saja, aku pernah belajar karate,” kata yang satu lagi. “Aku saja, Pak, aku penggemar bela diri MMA,” kata yang satu lagi. Akan tetapi Bang Parlindungan tersenyum. “Udah, biar aku saja,” jawab Bang Parlin. Seorang ibu-ibu berdaster mendekati kami. “Tolong Bang Parlin, tolong jewer telinganya untukku, anaknya suka membully anakku,” kata Ibu tersebut. Ternyata sudah banyak korban bullyan si Dion ini, dalam hati aku juga berharap Bang Parlin memberikan pelajaran, karena anakku juga sudah benjol kepalanya dia pukul. Seorang nenek-nene
“Apanya yang berhasil, Cok?” tanya Bang Parlin lagi. Ucok hanya cengengesan, aku juga tidak mengerti, apa yang berhasil. “Cok, sini dulu kau, Cok, apa yang berhasil?” Bang Parlin mengulang pertanyaannya seraya memegang tangan Ucok. “Itu, Yah, Ayah menang,” kata Ucok, dia tampak gugup. “Cok!” Bang Parlin membentak anaknya. “Aku dipukulinya, Yah, bolaku diambil, dia bocorkan bolaku lalu dia buang,” kata Ucok. “Terus?”“Aku takut Ayah kalah, makin dibully lah aku, Yah,”“Hmm, terus,” “Kuamalkan yang Ayah ajarkan,” kata Ucok. Ya, Allah, anakku yang baru tiga belas tahun sudah bisa seperti ayahnya. “Cok, dengar dulu sini, Ayah bilang apa waktu Ayah ajarkan itu?” kata Bang Parlin lagi. “Ayah bilang hanya dipakai bila darurat, jika barang yang disayanginya dicuri orang,” kata Ucok. “Terus dia curi apa rupanya sampai kau buat dia jadi percobaan, heh?” suara Bang Parlin makin keras. “Dia ambil bolaku, Yah?” “Hanya bola? Demi bola kau buat orang sakit perut, ah, sudah Ayah bilang,
Bang Parlin mempersilahkan tamu tersebut masuk, Baron dibopong dua orang, dia terlihat lemah, wajahnya pucat.“Baiklah, Bang Parlin, aku mengaku kalah, kau main curang,” kata Baron dengan suara lemah.“Oh, terus,” kata Bang Parlin.“Tolong jangan kau siksa aku begini,” kata Baron lagi.Tak ada permintaan maaf dari mulut si Baron ini, aku tahu itu yang ditunggu Bang Parlin. Dasar memang Baron masih sok jago.“Kau harus minta maaf,” kataku akhirnya.“Baiklah, aku minta maaf,” kata Baron, permintaan maafnya sepertinya tak tulus.“Tolong aku Bang Parlin, aku minta maaf,” katanya lagi.“Minta maaf pada anakku, kau telah memukul kepalanya, mengambil bolanya, minta maaf pada Ucok, kembalikan bolanya,”
Semua telah diurus, sekolah mengaji diurus anak angkat Bang Parlin, kantor desa kuserahkan padahal sekretaris desa. Rumah Bang Parta yang jaga, kami pun bersiap berangkat.“Aku sudah lima puluhan, Parlin, aku hanya ingin menikmati hari tua, jadi jangan cari yang anak gadis ya, kalau bisa yang seperti Sofie,” pesan Bang Parta lagi sebelum kamu berangkat.“Siap, Bang, Abang tenang saja, dua minggu lagi kami pulang,” kata Bang Parlin.“Iya, aku percaya pada kalian,” kata Bang Parta.Kami pun berangkat ke Medan, di Medan baru pesan tiket ke Pontianak dan juga tiket ke Ketapang. Ini akan jadi perjalanan yang panjang. Dua kali transit, kami harus naik pesawat ke Jakarta, dari Jakarta ke Pontianak, dan dari Pontianak ke Ketapang.“Kita kabari Kak Sofie ya, Bang,” kataku ketika kami menunggu di Bandara Kualanamu.
“Saya Parlin, perwakilan perusahaan sawit, ini Sofie, pimpinan perusahaan sawit,” kata Bang Parlin memperkenalkan diri.“Ya, saya Ampong,” jawab pria itu singkat.“Kami datang mau membicarakan masalah lahan itu, Pak,” kata Bang Parlin lagi.“Oh, ya,” jawabnya lagi.Alangkah pelitnya bapak ini bicara, jawabannya selalu singkat. Kami disuguhi minuman dan makanan. Aku mulai ragu tentang kehalalan makanan tersebut, karena di luar tadi aku sempat melihat hewan ternak babi.“Maaf, kami tak bisa makan ini,” kata Bang Parlin, aku takut bapak itu tersinggung, karena memang yang dia suguhkan daging panggang.“Kamu orang mana?” tanya Bapak tersebut.“Batak, Pak?”“Batak kan makan babi?