“Apanya yang berhasil, Cok?” tanya Bang Parlin lagi. Ucok hanya cengengesan, aku juga tidak mengerti, apa yang berhasil. “Cok, sini dulu kau, Cok, apa yang berhasil?” Bang Parlin mengulang pertanyaannya seraya memegang tangan Ucok. “Itu, Yah, Ayah menang,” kata Ucok, dia tampak gugup. “Cok!” Bang Parlin membentak anaknya. “Aku dipukulinya, Yah, bolaku diambil, dia bocorkan bolaku lalu dia buang,” kata Ucok. “Terus?”“Aku takut Ayah kalah, makin dibully lah aku, Yah,”“Hmm, terus,” “Kuamalkan yang Ayah ajarkan,” kata Ucok. Ya, Allah, anakku yang baru tiga belas tahun sudah bisa seperti ayahnya. “Cok, dengar dulu sini, Ayah bilang apa waktu Ayah ajarkan itu?” kata Bang Parlin lagi. “Ayah bilang hanya dipakai bila darurat, jika barang yang disayanginya dicuri orang,” kata Ucok. “Terus dia curi apa rupanya sampai kau buat dia jadi percobaan, heh?” suara Bang Parlin makin keras. “Dia ambil bolaku, Yah?” “Hanya bola? Demi bola kau buat orang sakit perut, ah, sudah Ayah bilang,
Bang Parlin mempersilahkan tamu tersebut masuk, Baron dibopong dua orang, dia terlihat lemah, wajahnya pucat.“Baiklah, Bang Parlin, aku mengaku kalah, kau main curang,” kata Baron dengan suara lemah.“Oh, terus,” kata Bang Parlin.“Tolong jangan kau siksa aku begini,” kata Baron lagi.Tak ada permintaan maaf dari mulut si Baron ini, aku tahu itu yang ditunggu Bang Parlin. Dasar memang Baron masih sok jago.“Kau harus minta maaf,” kataku akhirnya.“Baiklah, aku minta maaf,” kata Baron, permintaan maafnya sepertinya tak tulus.“Tolong aku Bang Parlin, aku minta maaf,” katanya lagi.“Minta maaf pada anakku, kau telah memukul kepalanya, mengambil bolanya, minta maaf pada Ucok, kembalikan bolanya,”
Semua telah diurus, sekolah mengaji diurus anak angkat Bang Parlin, kantor desa kuserahkan padahal sekretaris desa. Rumah Bang Parta yang jaga, kami pun bersiap berangkat.“Aku sudah lima puluhan, Parlin, aku hanya ingin menikmati hari tua, jadi jangan cari yang anak gadis ya, kalau bisa yang seperti Sofie,” pesan Bang Parta lagi sebelum kamu berangkat.“Siap, Bang, Abang tenang saja, dua minggu lagi kami pulang,” kata Bang Parlin.“Iya, aku percaya pada kalian,” kata Bang Parta.Kami pun berangkat ke Medan, di Medan baru pesan tiket ke Pontianak dan juga tiket ke Ketapang. Ini akan jadi perjalanan yang panjang. Dua kali transit, kami harus naik pesawat ke Jakarta, dari Jakarta ke Pontianak, dan dari Pontianak ke Ketapang.“Kita kabari Kak Sofie ya, Bang,” kataku ketika kami menunggu di Bandara Kualanamu.
“Saya Parlin, perwakilan perusahaan sawit, ini Sofie, pimpinan perusahaan sawit,” kata Bang Parlin memperkenalkan diri.“Ya, saya Ampong,” jawab pria itu singkat.“Kami datang mau membicarakan masalah lahan itu, Pak,” kata Bang Parlin lagi.“Oh, ya,” jawabnya lagi.Alangkah pelitnya bapak ini bicara, jawabannya selalu singkat. Kami disuguhi minuman dan makanan. Aku mulai ragu tentang kehalalan makanan tersebut, karena di luar tadi aku sempat melihat hewan ternak babi.“Maaf, kami tak bisa makan ini,” kata Bang Parlin, aku takut bapak itu tersinggung, karena memang yang dia suguhkan daging panggang.“Kamu orang mana?” tanya Bapak tersebut.“Batak, Pak?”“Batak kan makan babi?
Talak Bang Parta ternyata baru talak satu, belum juga habis masa iddah, jadi rujuknya mudah saja. Disaksikan Bang Parlin dan guru mengaji kami, Bang Parta dan Kak Sofie akhirnya rujuk.“Parlin, kadang aku iri sama kau, iri yang positif ya,” kata Bang Parta di suatu sore, saat itu kami berempat lagi duduk santai di depan rumah.“Iri bagaimana, Bang,”“Aku ingin kek kau itu, Parlin, bisa diandalkan di mana saja, kasusnya yang sudah bertahun-tahun bisa kau selesaikan dalam dua minggu, padahal aku sudah nyerah,” kata Bang Parta lagi.“Hanya kebetulan, Bang,” kata Bang Parlin merendah.“Apa rahasianya, kau bilang apa sama Pak Ampung, aku sudah suap dia motor baru, dia gak mau,” kata Bang Parta.“Gak ada yang spesial, kami hanya bicara tentang adat masing-m
Keempat penjahat itu terus mengosongkan isi kantong celana Bang Parlindungan, biarpun mereka pakai sebo, aku yakin salah satunya adalah pria calon penerima zakat tersebut, dia pasti kecewa karena sudah dipermalukan Bang Parlin, dia pasti sudah sakit hati karena gagal dapat uang lima puluh juta, mungkin dia mengira uang tersebut kami bawa-bawa. Setelah puas merampas semua harta benda kami, mereka lalu kabur, motor kami juga mereka bawa. Suasana jalan perkebunan itu tetap sepi, tak ada orang lewat. “Sakit kali kakiku, Bang,” kataku ketika Bang Parlin mengajakku berjalan kaki. Mau hubungi orang pun tak bisa karena HP sudah dirampok orang, sementara orang tak ada yang lewat. Jalan perkebunan memang selalu sepi, kalau tidak karena panen jarang dilalui kenderaan. Terdengar suara motor, aku sedikit lega, akhirnya ada orang yang lewat, akan tetapi ketika kami coba berhentikan motor itu dia justru tancap gas, entah dia takut pada kami atau apa aku tak tahu. “Udah, sini Abang gendong,” ka
Mencari orang untuk menerima zakat Bang Parta ternyata bukan pekerjaan mudah, harus tepat sasaran. Pantas saja bantuan pemerintah sering tak tepat sasaran karena ada sebagian orang mengaku miskin sekali hanya untuk dapat Zakat. Seperti hari itu kami kedatangan tamu, seorang wanita cantik berpakaian lusuh.“Saya dengar Bang Parlin mau memberikan zakat lagi, aku mau mendaftar, Bang, suamiku kawin lagi, anakku putus sekolah, tak sanggup lagi aku biayai sekolahnya,” kata perempuan tersebut.Ada kebocoran ini, padahal seharusnya tidak boleh ada yang tahu kami cari orang, bisa-bisa rumah kami dipenuhi orang dari segala penjuru. Kamilah yang harus mendatangi orang, bukan orang yang mendatangi kami begitu prinsip Bang Parlin.“Boleh lihat kartu keluarga, Bu?” tanya Bang Parlin.“Huhuhu,” Ibu itu justru menangis.“Ken
Diskusi kami berakhir buntu, Bang Parta tetap tidak bisa memberikan zakat kepada orang yang suaminya telah merampok adik yang paling dia sayang. Sementara aku sudah kasihan melihat Juliana.“Karena ini zakat Bang Parta, tentu saja harus seijin Bang Parta, jika dia tidak mau ya, apa boleh buat, batal saja,” kata Bang Parlin.“Kasihan dia, Bang, kita kasih duit kita saja ya, minimal dia bisa menuntut cerai dan pulang ke kampungnya di Jawa,” kataku pada Bang Parlin.“Subhanallah, terbuat dari apa hatimu, Nia, orang yang sudah merampok kalian mau kalian bantu?” kata Kak Sofie.“Dia sudah lulus, Kak, dulu pun kami pernah bantu orang yang sudah fitnah kami,” kata Bang Parlin.Kami masih berdiri sambil diskusi di dekat mobil, kini Kak Sofie sepertinya sudah berubah pendirian.“
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga