Talak Bang Parta ternyata baru talak satu, belum juga habis masa iddah, jadi rujuknya mudah saja. Disaksikan Bang Parlin dan guru mengaji kami, Bang Parta dan Kak Sofie akhirnya rujuk.
“Parlin, kadang aku iri sama kau, iri yang positif ya,” kata Bang Parta di suatu sore, saat itu kami berempat lagi duduk santai di depan rumah.
“Iri bagaimana, Bang,”
“Aku ingin kek kau itu, Parlin, bisa diandalkan di mana saja, kasusnya yang sudah bertahun-tahun bisa kau selesaikan dalam dua minggu, padahal aku sudah nyerah,” kata Bang Parta lagi.
“Hanya kebetulan, Bang,” kata Bang Parlin merendah.
“Apa rahasianya, kau bilang apa sama Pak Ampung, aku sudah suap dia motor baru, dia gak mau,” kata Bang Parta.
“Gak ada yang spesial, kami hanya bicara tentang adat masing-m
Keempat penjahat itu terus mengosongkan isi kantong celana Bang Parlindungan, biarpun mereka pakai sebo, aku yakin salah satunya adalah pria calon penerima zakat tersebut, dia pasti kecewa karena sudah dipermalukan Bang Parlin, dia pasti sudah sakit hati karena gagal dapat uang lima puluh juta, mungkin dia mengira uang tersebut kami bawa-bawa. Setelah puas merampas semua harta benda kami, mereka lalu kabur, motor kami juga mereka bawa. Suasana jalan perkebunan itu tetap sepi, tak ada orang lewat. “Sakit kali kakiku, Bang,” kataku ketika Bang Parlin mengajakku berjalan kaki. Mau hubungi orang pun tak bisa karena HP sudah dirampok orang, sementara orang tak ada yang lewat. Jalan perkebunan memang selalu sepi, kalau tidak karena panen jarang dilalui kenderaan. Terdengar suara motor, aku sedikit lega, akhirnya ada orang yang lewat, akan tetapi ketika kami coba berhentikan motor itu dia justru tancap gas, entah dia takut pada kami atau apa aku tak tahu. “Udah, sini Abang gendong,” ka
Mencari orang untuk menerima zakat Bang Parta ternyata bukan pekerjaan mudah, harus tepat sasaran. Pantas saja bantuan pemerintah sering tak tepat sasaran karena ada sebagian orang mengaku miskin sekali hanya untuk dapat Zakat. Seperti hari itu kami kedatangan tamu, seorang wanita cantik berpakaian lusuh.“Saya dengar Bang Parlin mau memberikan zakat lagi, aku mau mendaftar, Bang, suamiku kawin lagi, anakku putus sekolah, tak sanggup lagi aku biayai sekolahnya,” kata perempuan tersebut.Ada kebocoran ini, padahal seharusnya tidak boleh ada yang tahu kami cari orang, bisa-bisa rumah kami dipenuhi orang dari segala penjuru. Kamilah yang harus mendatangi orang, bukan orang yang mendatangi kami begitu prinsip Bang Parlin.“Boleh lihat kartu keluarga, Bu?” tanya Bang Parlin.“Huhuhu,” Ibu itu justru menangis.“Ken
Diskusi kami berakhir buntu, Bang Parta tetap tidak bisa memberikan zakat kepada orang yang suaminya telah merampok adik yang paling dia sayang. Sementara aku sudah kasihan melihat Juliana.“Karena ini zakat Bang Parta, tentu saja harus seijin Bang Parta, jika dia tidak mau ya, apa boleh buat, batal saja,” kata Bang Parlin.“Kasihan dia, Bang, kita kasih duit kita saja ya, minimal dia bisa menuntut cerai dan pulang ke kampungnya di Jawa,” kataku pada Bang Parlin.“Subhanallah, terbuat dari apa hatimu, Nia, orang yang sudah merampok kalian mau kalian bantu?” kata Kak Sofie.“Dia sudah lulus, Kak, dulu pun kami pernah bantu orang yang sudah fitnah kami,” kata Bang Parlin.Kami masih berdiri sambil diskusi di dekat mobil, kini Kak Sofie sepertinya sudah berubah pendirian.“
Entah karena otakku lemot, atau lagi banyak pikiran perkataan Bang Parlin itu tak bisa juga kutangkap, sampai akhirnya Bang Parlin menjelaskan sekali lagi.“Begini, Dek, misalnya aku dah pulang dari naik haji, namaku jadi bertambah Haji Parlin, terus adek naik ke atasku, adek jadi naik ...?”“Naik haji Parlin,” kataku spontan.“Haa, gitu, adek kok makin oon aja, kayak menjelaskan ke anak TK,” kata Bang Parlin.“ishh, ish, Abang genit,” kataku seraya mencubit pinggangnya.“Genit di mananya, Dek?”“Aku mau naik guru saja dulu,” kataku seraya duduk di atas Bang Parlin yang lagi berbaring, kugeletik dadanya.“Ampun, Dek, ampun,” kata Bang Parlin seraya tertawa.Terdengar suara Ketukan di pint
Terinpirasi dari Ucok, akhirnya aku ikut bertanya pada Google, Bang Parlin juga tampak memainkan HP-nya. Setelah lihat sana lihat sini, dapat kesimpulan seperti yang dikatakan Ucok tadi.“Bagaimana, Bang, ada pendapat bilang tidak boleh, ada pendapat bilang boleh,” kataku kemudian.“Kita ambil pendapat yang memperbolehkan,” kata Bang Parta.“Menurutku itu tidak bisa, kita tak bisa berpindah mazhab untuk mencari pembenaran,” kata Bang Parlin.“Jadi kita batalkan saja,” tanyaku.“Iya, sebaiknya begitu, dah, sana bilang sama bapak itu tidak jadi,” perintah Bang Parta.“Sana bilang, Dek, abang gak tega,” kata Bang Parlin seraya menunjukku.“Kok aku, aku pun gak tega,” jawabku.“Jadi bag
Malam itu jadi malam yang mencekam, kucoba lihat berita online siapa tahu ada berita tentang kecelakaan, akan tetapi tidak ada. Sementara itu setiap sepuluh menit kucoba terus hubungi HP Bang Parta dan Kak Sofie. Hasilnya tetap seperti itu, tak ada jawaban.“Bang kita ke sana, yuk,” Ajakku pada Bang Parlindungan.“Ke sana mana, Dek?”“Lokasi kecelakaan yang dia katakan itu,” kataku lagi.“Tunggu dulu dapat berita jelas, Dek, sabar saja,” Kata Bang Parlindungan. Aku tahu Bang Parlindungan juga gelisah, sampai murid mengajinya dipulangkan lebih cepat dari biasanya.Terdengar suara getaran HP Bang Parlindungan, dengan cepat kuraih, ada panggilan dari nomor tak dikenal.“Hallo, Assalamu’alaikum,” salam dan sapaku kemudian. 
Ketika kami sampai di penginapan itu, dua karyawan itu langsung minta maaf dan mengembalikan koper, akan tetapi tiga HP sudah sempat mereka jual.“Maaf, Pak, bukan kami yang coba menipu itu, Hp-nya kami jual ke konter,” kata salah satu di antara mereka.“Cepat ambil lagi!” teriak pemilik penginapan. Berkali-kali pria pemilik penginapan itu minta maaf pada kami. Dia berjanji akan memecat dua karyawan tersebut.Bang Parta dan Kak Sofie datang ke penginapan. Setelah menunggu satu jam lebih akhirnya HP yang tiga itu bisa dapat lagi dua karyawan itu menebusnya kembali ke konter HP.“Tolong jangan polisikan kami, Pak,” Mohon karyawan itu. Aku baru tahu, ternyata semalaman mereka sudah sakit perut luar biasa. Mereka sudah niat mengembalikan tapi orangnya sudah pergi.“Ada saja kendalanya yang mau jalan-jalan ini,&rd
Mobil milik Dame juga ternyata sudah tak ada lagi, kendaraan miliknya kini motor besar yang dimodifikasi jadi becak bermotor. Semua karena dia tergiur dengan keuntungan bisnis alat berat, bekerja sama dengan seorang pria chinesse. Tiga tahun berjalan, bisnis itu justru tak jalan. Sementara kebun sudah digadaikan.“Aku malu cerita sama Abang,” kata Dame seraya menundukkan kepala.“Jadi utangmu di Bank sudah lunas?” tanya Bang Parlin.“Sudah, Bang, setelah kebun kujual, utang kubayar lunas semua, jadi kami kembali miskin, tinggal rumah ini harta kami,” kata Dame.“Ketika aku bangkrut, kalian semua datang membantu, kenapa kau tak cerita Dame?” kata Bang Parlin, suaranya bergetar.“Aku malu, Bang, Abang bangkrut karena ditipu orang, aku bangkrut karena kebodohan sendiri, yang kurang bersyukur dengan n