Ketika aku duduk di meja, aku baru merasakan sesuatu yang hilang. Stempel kantor desa tidak ada, biasanya selalu ada di sudut kiri meja. Padahal sudah seharian mencari apa yang hilang.
“Mana stempel?" tanyaku pada sekretaris desa.
“Mana saya tahu, Bu, kukira Ibu bawa ke rumah,” jawab sekretaris desa tersebut.
Wah, untuk apa orang mencuri stempel? Itu tak berguna tanpa tanda tangan, kalau hanya stempel bisa dengan mudah menirunya.
Baru satu hari aku ngantor, sudah ada yang berubah, sudah ada berkas yang ditandatangani sekretaris desa. Aku kesal, baru beberapa hari tidak ngantor sekretaris desa ini sudah melangkahi tugasku. Akan tetapi memang peraturannya seperti itu, jika kepala desa berhalangan sekretarislah yang mengambil alih tugas.
“Bang,” panggilku pada Bang Parlin, suamiku itu masih setia m
Sungguh tak kusangka Bang Parlindungan bisa juga main tipu muslihat, pria yang mengaku sebagai ketua bidang hukum perusahaan perkebunan itu sakit perut. Anehnya tiga tamu dan Bang Parlindungan ikut minum kopi, hanya pria itu yang kena.“Jahat juga Abang ya?” kataku.“hehehe,” Bang Parlin hanya terseyum tipis.“Bagaimana Pak Sekdes itu, Bang, aku gak nyaman kerja jika ada dia, dia sampai bunuh anjing untuk menakutiku,” katanya kemudian.“Dilema, Dek, di satu sisi memang dia harus dipecat, karena perbuatannya yang sudah tak bisa ditelolir, tapi dia akan makin sakit hati, apalagi jika warga desa tahu perbuatannya, dia akan makin dikucilkan di desa ini,” kata Bang Parlin.Bang Parlindungan belum berubah dari dulu, masih sempat-sempatnya dia memikirkan nasib orang yang sudah berbuat jahat pada istrinya. Teri
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada Bang Parlin, tidak biasanya Bang Parlin langsung marah pada tamu. Dia orang yang sangat menghormati tamu, bahkan tamu yang jahat sekalipun. Ini Bang Parlin langsung marah, tentu saja aku heran.“Abang benci orang seperti itu, Dek,” jawab Bang Parlin.“Ish, Abang, benci pun pilih kasih, si sekdes itu sampai bunuh anjing, Abang masih saja bantu,” kataku kemudian.“Beda, Dek, jika seseorang itu masih sadar yang dia lakukan salah, masih ada kemungkinan dia berubah. Itu yang tadi malah bangga dengan kesalahannya, dia bawa cewek berduaan, dia dengan bangganya bilang “ teman tapi mesra “ sementara istrinya diganggu orang dia sudah mau meracuni, sementara istri orang dia bawa-bawa, kan sakit jiwa itu,” kata Bang Parlin.“Oooo, begitu,” aku manggut-manggut, t
Bang Parlin terdiam, Ucok terus saja mendesak dengan kata-kata Bang Parlin yang dia ucapkan ulang. Aku jadi ikut dilema, apakah keinginan anakku ini harus dituruti? Tapi kasihan suamiku, dia sangat sayang pada sapinya, apalagi Rembo, sapi raksasa seberat satu ton itu sangat dia sayang. “Kalau memang di desa ini tidak ada yang berkurban, udah kita ambil semua, delapan sapi kita kurbankan,” kata Bang Parlin. Memang harus delapan sapi biar cukup untuk seluruh desa. “Yah, ayah kalah sama Rapi,” kata Ucok. “Apa, memang si Rapet kurban berapa, lagian kurban itu bukan kalah menang, bukan lomba kurban paling banyak,” kata Bang Parlin. “Rafi Ahmad, Bang, bukan si Rapet,” kataku coba menjelaskan kesalahpahaman. “Lihat ini, Yah, kurban Rafi, namanya jadi Sapi Ahmad, besarnya kan, mirip si Rembo,” kata Ucok seraya menunjukkan isi HP-nya. Ah, anakku ini sudah korban media sosial, ternyata dia ingin ayahnya kurban seperti artis terkenal. Ucok, Ucok, memang Ayahmu siapa? Malam harinya Bang P
Baru kali ini kulihat Bang Parlin begitu bahagia, biasanya dia berusaha menolak bantuan orang, kali ini langsung diterima. Sapi limosin raksasa milik Torkis langsung dirobohkan, seperti biasa tak ada drama, Bang Parlin sangat ahli menjinakkan sapi, dia hanya sentuh paha atas kaki belakang sapi tersebut, sapi itu sudah tumbang, lalu kaki sapi diikat oleh panitia yang lain. “Kau memang pahlawan, Torkis, hampir saja Rambo disembelih,” kata Bang Parlin ketika mereka minum kopi bersama di teras rumah. Penyembelihan kurban sendiri di lapangan sekolah SD yang berada di depan rumah kami. “Terima kasih, Pak, akhirnya kurasakan juga jadi pahlawan, duh ... sebentar dulu, Pak, aku nikmati dulu jadi pahlawan ini,” kata Torkis seraya membusungkan dada. “Lebaynya kau, Torkis,” kataku kemudian. Torkis kini memang sudah jadi miliarder, selain masih punya kebun sawit, mereka punya perusahaan pembibitan, perkebunan besar juga ambil bibit dari mereka. Ayu-istri Torkis juga punya usaha bunga, berbagai
Torkis serius, dia beli ayam sepasang untuk Ucok, dia juga beli sama kandang kawatnya. Tadinya dia sudah berikan uang seratus ribu, tapi ucok malah minta dibelikan langsung ayam sepasang.“Ayah, apa benar Bang Torkis dulu modalnya dua ayam?” tanya Ucok di suatu siang, saat itu kami lagi makan siang bersama.“Benar, Cok, saat itu dia sebesar kau ini, dia anak yatim piatu, tak ada lagi kedua orang tuanya, Ayah berikan dia sepasang ayam dan pekerjaan mengurus sapi,” jawab Bang Parlin.“Berapa lama biar dia dapat satu sapi besar?” tanya Ucok lagi. Sepertinya Ucok tertarik dengan sistem tersebut.“Lama, sampai empat tahun, tapi langsung sapinya banyak, karena dapat lagi dari gaji dia ngurus sapi, sepuluh tahun dia sudah punya sapi ratusan ekor, umurnya waktu itu baru dua puluh empat tahun,” kata Bang Parlin.
Ingin aku bantu Bang Parlin mewujudkan keinginannya, akan tetapi aku juga tak tahu harus berbuat apa. Keinginannya kali ini sepertinya sulit untuk terwujud. Bangun pabrik itu tentu saja butuh waktu butuh dana besar, belum lagi cari karyawan dan sebagainya. Ah, rasanya Bang Parlin sudah mulai tak waras.“Abang tau, gak, apa yang membuat aku pertama jatuh cinta sama abang?” tanyaku di suatu hari, saat itu kami lagi di kebun, aku menemani suami menggembalakan sapi. Belakangan ini memang entah kenapa aku ingin selalu dekat Bang Parlindungan. Aku merasa kejiwaannya seperti terganggu masa mau bangun pabrik untuk bantu petani desa. Orang bangun pabrik untuk cari untung Bang Parlin malah cari rugi.“Apa pula itu?” jawab Bang Parlin seraya mengelus kepala Rembo-sapi limosin kesayangannnya.“Abang punya prinsip hidup, yaitu mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan,&rd
Pabrik Kelapa sawit itu berada di pinggir jalan raya, tiga belas kilo meter jauhnya dari rumah. Masih satu kecamatan dengan kami. Bang Parlin mulai sibuk dengan usaha barunya. Setiap hari dia pergi ke pabrik sampai sapinya ditinggal, dia menyerahkan pengurusan sapinya pada salah satu karyawannya.Malam itu Bang Parlin pulang dari pabrik, rambutnya tampak kusut, begitu sampai, dia langsung berbaring di sofa.“Dah magriban, Bang?” tanyaku seraya melirik jam dinding.“Astagfirullah, lupa, Dek,” jawabnya seraya langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi.Untuk pertama kali Bang Parlin lupa salat maghrib, selama ini dialah yang selalu mengingatkan, Ya, Allah, apakah suamiku ini berubah karena urusan pabrik. Dulu aku pernah minta dibangun pabrik minyak goreng, dia tidak mau dengan alasan itu bukan bidangnya. Apakah suamiku memaksakan diri mengerjakan
“Aku tak setuju jika harus minjam uang, Bang,” kataku dengan suara agak kutinggikan.“Jadi kita harus bagaimana lagi, Dek? Apakah abang mundur sekarang, membiarkan pabrik itu terbengkalai lagi?” jawab Bang Parlin, suaranya tak kalah tinggi. Semenjak suamiku ini ngurus pabrik dia banyak berubah, kami jadi sering bertengkar.“Bang, abang kan anti ngutang, anti riba, ingat gak Bang, waktu aku gadaikan emasku, Abang marah sampai mau jual kebun, tolonglah, Bang, jangan bergeser dari prinsip hidup Abang,” aku melunakkan suara.“Ini darurat, Dek, dalam keadaan darurat yang haram pun bisa jadi halal,” Bang Parlin mengulang perkataannya.Bang Parlin makin lain dan bertindak di luar kebiasaan, sore itu juga dia menjual sapi sepuluh ekor, yang membuat aku makin kesal, Bang Parlin tak bilang padaku, tiba-tiba saja sudah datang