Sungguh tak kusangka Bang Parlindungan bisa juga main tipu muslihat, pria yang mengaku sebagai ketua bidang hukum perusahaan perkebunan itu sakit perut. Anehnya tiga tamu dan Bang Parlindungan ikut minum kopi, hanya pria itu yang kena.
“Jahat juga Abang ya?” kataku.
“hehehe,” Bang Parlin hanya terseyum tipis.
“Bagaimana Pak Sekdes itu, Bang, aku gak nyaman kerja jika ada dia, dia sampai bunuh anjing untuk menakutiku,” katanya kemudian.
“Dilema, Dek, di satu sisi memang dia harus dipecat, karena perbuatannya yang sudah tak bisa ditelolir, tapi dia akan makin sakit hati, apalagi jika warga desa tahu perbuatannya, dia akan makin dikucilkan di desa ini,” kata Bang Parlin.
Bang Parlindungan belum berubah dari dulu, masih sempat-sempatnya dia memikirkan nasib orang yang sudah berbuat jahat pada istrinya. Teri
“Kenapa, Bang?” tanyaku pada Bang Parlin, tidak biasanya Bang Parlin langsung marah pada tamu. Dia orang yang sangat menghormati tamu, bahkan tamu yang jahat sekalipun. Ini Bang Parlin langsung marah, tentu saja aku heran.“Abang benci orang seperti itu, Dek,” jawab Bang Parlin.“Ish, Abang, benci pun pilih kasih, si sekdes itu sampai bunuh anjing, Abang masih saja bantu,” kataku kemudian.“Beda, Dek, jika seseorang itu masih sadar yang dia lakukan salah, masih ada kemungkinan dia berubah. Itu yang tadi malah bangga dengan kesalahannya, dia bawa cewek berduaan, dia dengan bangganya bilang “ teman tapi mesra “ sementara istrinya diganggu orang dia sudah mau meracuni, sementara istri orang dia bawa-bawa, kan sakit jiwa itu,” kata Bang Parlin.“Oooo, begitu,” aku manggut-manggut, t
Bang Parlin terdiam, Ucok terus saja mendesak dengan kata-kata Bang Parlin yang dia ucapkan ulang. Aku jadi ikut dilema, apakah keinginan anakku ini harus dituruti? Tapi kasihan suamiku, dia sangat sayang pada sapinya, apalagi Rembo, sapi raksasa seberat satu ton itu sangat dia sayang. “Kalau memang di desa ini tidak ada yang berkurban, udah kita ambil semua, delapan sapi kita kurbankan,” kata Bang Parlin. Memang harus delapan sapi biar cukup untuk seluruh desa. “Yah, ayah kalah sama Rapi,” kata Ucok. “Apa, memang si Rapet kurban berapa, lagian kurban itu bukan kalah menang, bukan lomba kurban paling banyak,” kata Bang Parlin. “Rafi Ahmad, Bang, bukan si Rapet,” kataku coba menjelaskan kesalahpahaman. “Lihat ini, Yah, kurban Rafi, namanya jadi Sapi Ahmad, besarnya kan, mirip si Rembo,” kata Ucok seraya menunjukkan isi HP-nya. Ah, anakku ini sudah korban media sosial, ternyata dia ingin ayahnya kurban seperti artis terkenal. Ucok, Ucok, memang Ayahmu siapa? Malam harinya Bang P
Baru kali ini kulihat Bang Parlin begitu bahagia, biasanya dia berusaha menolak bantuan orang, kali ini langsung diterima. Sapi limosin raksasa milik Torkis langsung dirobohkan, seperti biasa tak ada drama, Bang Parlin sangat ahli menjinakkan sapi, dia hanya sentuh paha atas kaki belakang sapi tersebut, sapi itu sudah tumbang, lalu kaki sapi diikat oleh panitia yang lain. “Kau memang pahlawan, Torkis, hampir saja Rambo disembelih,” kata Bang Parlin ketika mereka minum kopi bersama di teras rumah. Penyembelihan kurban sendiri di lapangan sekolah SD yang berada di depan rumah kami. “Terima kasih, Pak, akhirnya kurasakan juga jadi pahlawan, duh ... sebentar dulu, Pak, aku nikmati dulu jadi pahlawan ini,” kata Torkis seraya membusungkan dada. “Lebaynya kau, Torkis,” kataku kemudian. Torkis kini memang sudah jadi miliarder, selain masih punya kebun sawit, mereka punya perusahaan pembibitan, perkebunan besar juga ambil bibit dari mereka. Ayu-istri Torkis juga punya usaha bunga, berbagai
Torkis serius, dia beli ayam sepasang untuk Ucok, dia juga beli sama kandang kawatnya. Tadinya dia sudah berikan uang seratus ribu, tapi ucok malah minta dibelikan langsung ayam sepasang.“Ayah, apa benar Bang Torkis dulu modalnya dua ayam?” tanya Ucok di suatu siang, saat itu kami lagi makan siang bersama.“Benar, Cok, saat itu dia sebesar kau ini, dia anak yatim piatu, tak ada lagi kedua orang tuanya, Ayah berikan dia sepasang ayam dan pekerjaan mengurus sapi,” jawab Bang Parlin.“Berapa lama biar dia dapat satu sapi besar?” tanya Ucok lagi. Sepertinya Ucok tertarik dengan sistem tersebut.“Lama, sampai empat tahun, tapi langsung sapinya banyak, karena dapat lagi dari gaji dia ngurus sapi, sepuluh tahun dia sudah punya sapi ratusan ekor, umurnya waktu itu baru dua puluh empat tahun,” kata Bang Parlin.
Ingin aku bantu Bang Parlin mewujudkan keinginannya, akan tetapi aku juga tak tahu harus berbuat apa. Keinginannya kali ini sepertinya sulit untuk terwujud. Bangun pabrik itu tentu saja butuh waktu butuh dana besar, belum lagi cari karyawan dan sebagainya. Ah, rasanya Bang Parlin sudah mulai tak waras.“Abang tau, gak, apa yang membuat aku pertama jatuh cinta sama abang?” tanyaku di suatu hari, saat itu kami lagi di kebun, aku menemani suami menggembalakan sapi. Belakangan ini memang entah kenapa aku ingin selalu dekat Bang Parlindungan. Aku merasa kejiwaannya seperti terganggu masa mau bangun pabrik untuk bantu petani desa. Orang bangun pabrik untuk cari untung Bang Parlin malah cari rugi.“Apa pula itu?” jawab Bang Parlin seraya mengelus kepala Rembo-sapi limosin kesayangannnya.“Abang punya prinsip hidup, yaitu mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan,&rd
Pabrik Kelapa sawit itu berada di pinggir jalan raya, tiga belas kilo meter jauhnya dari rumah. Masih satu kecamatan dengan kami. Bang Parlin mulai sibuk dengan usaha barunya. Setiap hari dia pergi ke pabrik sampai sapinya ditinggal, dia menyerahkan pengurusan sapinya pada salah satu karyawannya.Malam itu Bang Parlin pulang dari pabrik, rambutnya tampak kusut, begitu sampai, dia langsung berbaring di sofa.“Dah magriban, Bang?” tanyaku seraya melirik jam dinding.“Astagfirullah, lupa, Dek,” jawabnya seraya langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi.Untuk pertama kali Bang Parlin lupa salat maghrib, selama ini dialah yang selalu mengingatkan, Ya, Allah, apakah suamiku ini berubah karena urusan pabrik. Dulu aku pernah minta dibangun pabrik minyak goreng, dia tidak mau dengan alasan itu bukan bidangnya. Apakah suamiku memaksakan diri mengerjakan
“Aku tak setuju jika harus minjam uang, Bang,” kataku dengan suara agak kutinggikan.“Jadi kita harus bagaimana lagi, Dek? Apakah abang mundur sekarang, membiarkan pabrik itu terbengkalai lagi?” jawab Bang Parlin, suaranya tak kalah tinggi. Semenjak suamiku ini ngurus pabrik dia banyak berubah, kami jadi sering bertengkar.“Bang, abang kan anti ngutang, anti riba, ingat gak Bang, waktu aku gadaikan emasku, Abang marah sampai mau jual kebun, tolonglah, Bang, jangan bergeser dari prinsip hidup Abang,” aku melunakkan suara.“Ini darurat, Dek, dalam keadaan darurat yang haram pun bisa jadi halal,” Bang Parlin mengulang perkataannya.Bang Parlin makin lain dan bertindak di luar kebiasaan, sore itu juga dia menjual sapi sepuluh ekor, yang membuat aku makin kesal, Bang Parlin tak bilang padaku, tiba-tiba saja sudah datang
Semenjak pertemuan tak disengaja dengan bupati tersebut, kondisi daerah kami mulai stabil, ada banyak pabrik sawit mengikuti jejak Bang Parlin. Tetap menerima sawit rakyat dan tetap produksi. Karyawan tetap bekerja, sawit laku. Luar biasa ide sederhana Bang Parlin, kini dia jadi panutan satu kabupaten, tidak lagi panutan satu desa. “Pabrik mulai adem, Dek, terima kasih, adek memang kepala desa yang baik,” kata Bang Parlin di suatu sore, saat itu dia baru pulang dari pabrik. “Yang jago itu Abang, kok terima kasih padaku?” tanyaku heran. Tentu saja heran, dia yang berbuat, bahkan sebelum bupati memikirkan Bang Parlin suamiku itu sudah mengerjakan. Ide sederhananya diikuti orang, dipuji bupati. Kok terima kasih ke aku? Padahal aku sempat memarahi Bang Parlin karena itu. “Adek yang atur pertemuan dengan bupati itu, kan, pura-pura mau makan ke sana, karena memang adek tahu bupati lagi di restoran itu,” kata Bang Parlin. Wah, ternyata Bang Parlin berpikir seperti itu, padahal hanya keb
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga