Suamiku Jadul
Sessions 3 part 19
Aku kembali diwawancarai reporter televisi masih seputar meninggalnya dua orang warga desa karena keracunan miras oplosan. Aku katakan apa adanya tidak kuceritakan istri mantan kepala desa yang mencampur minuman orang pakai racun serangga.
"Mamak ada di TV, mamak masuk TV," teriak Butet seraya berlari masuk rumah. Ternyata dia baru dari warung sebelah, yang punya warung tunjukkan di TV ada aku lagi diwawancarai.
"Mamakku jago, masuk TV," kata Butet lagi seraya menghidupkan TV kami.
"Ah, sudah habis," kata Butet, dia kelihatan kecewa.
Aku dan Bang Parlin hanya senyum-senyum melihat tingkah Butet tersebut. Dia terus menonton TV, katanya menunggu mamaknya muncul di TV lalu dia rekam pakai HP-nya.
"Assalamu'alaikum," ada suara salam di pintu, reflek aku melihat ke pintu, ternyata mantan kepala desa yang datang, dia sepertinya sudah sehat.
"Bang Parlin," kata
Suamiku JadulSessions 3 part 20Kami kembali jadi milyarder, luar biasanya uang lima milyar itu diantar abangku dan pengacara itu dalam bentuk tunai. Jadilah uang satu tas besar diberikan pada kami. Bang Parlindungan tampak biasa saja, padahal aku sudah keringatan melihat uang tersebut."Hitung dulu, Bang Parlin," kata pengacara tersebut."Sudah, aku percaya pada kalian," kata Bang Parlin seraya menerima uang tersebut."Tasnya bonus saja," kata pengacara itu seraya tertawa.Aku baru tahu, ternyata lima bulan mereka mengerjakan kasus kami, sempat adu kuat beking, adu argumen, bahkan pengacara itu pernah disogok satu milyar asal diam, tapi dia yakin akan menang, sehingga dia kerahkan semua kekuatan. Dalam lima bulan, mereka hanya mengerjakan kasus kami.Abangku juga mendadak kaya, dia bagi juga uangnya untuk saudara kami yang tinggal di desa. Setelah mereka pulang, proses pengalihan lahan Pak Kosim pun dil
Desa Sawit Nauli makin maju, satu-satunya desa di kabupaten ini yang dipimpin seorang perempuan. Warga desa yang mayoritas petani makin damai dan makin sejahtera. Pembangunan di desa pun merata, kini sudah ada WC umum di setiap sudut desa. Dulu masalah WC ini sering jadi penghalang jika orang luar desa datang. Sekolah mengaji Bang Parlin pun makin jaya. Kini sudah ada tiga ruangan. Gurunya tetap anak angkat Bang Parlin. Keseharian Bang Parlindungan tidak berubah, dia tetap seperti dulu, masih mengangon sapi, padahal saat ini, dia adalah orang terkaya di desa. Aku tahu karena pajaknya bumi dan bangunan milik kami paling besar untuk seluruh desa. “Mak, Niyet hamil,” lapor Ucok ketika mereka pulang dari kebun sore itu. Aku masih terkejut jika anakku menyebut nama Niyet, menyesal juga kenapa nama sapi kami harus Niyet. Padahal di desa ini tak ada yang tahu itu nama panggilanku, paling hanya kakak dan suami yang tahu. “Hamil?” tanyaku seraya melirik Bang Parlin. “Iya, Dek, senang kali
Masa paceklik melanda desa yang aku pimpin. Sawit nyaris tidak laku. Pabrik kelapa sawit yang ada tidak bisa menampung hasil panen yang melimpah.“Bagaimana sih pemerintah ini, Bu Kades, masa ekspor gak boleh?” kata seorang warga, warga tersebut pemilik kebun sawit yang cukup luas. Saat itu dia datang protes ke kantor desa.“Maaf, Pak, saya tidak tahu tentang itu,” jawabku kemudian.“Begitu jawaban pejabat, hanya tidak tahu?”“Saya hanya kepala desa, Pak, tidak punya kuasa menentukan harga sawit,” kataku sedikit kesal.“Kepala desa juga pemerintah kan? Untuk apa kami pilih Ibu jika tidak bisa memperjuangkan hak kami,” katanya lagi.Aku tahu beliau ini kesal dengan harga sawit yang turun gila-gilaan, tapi dia protes salah tempat, aku memang perwakilan pemerint
Warga desa mulai ada kesibukan baru, lidi sawit dibersihkan dan dikumpul. Bang Parlin berani menampung tiga ribu perkilo, jauh lebih besar dari harga buah sawit itu sendiri. Baru tiga hari, rumah kami sudah penuh dengan lidi. Aku mulai resah dan bingung. Untuk diapakan Bang Parlin lidi sebanyak ini?“Bang, sudah ada penampung lidinya?” tanyaku pada Bang Parlin di suatu malam. Setelah anak-anak tidur memang waktu berkualitas kami, kami akan bicara membahas apa saja.“Sudah, Dek, tapi mereka tak bisa jemput, katanya terlalu jauh.” Jawab Bang Parlin.“Emang di mana, Bang?”“Di Belawan, Dek, lidi ini barang ekspor, India dan Bangladesh sangat butuh lidi,”“Oh, jadi bagaimana, Bang?”“Entahlah, Dek, Abang juga masih berpikir ini,” kata Bang Parlindun
Suasana malam di rumah Rapi jadi meriah dan sibuk. Istri Rapi sibuk memasak, sayangnya bahkan beras di rumah mereka tidak cukup untuk makan kami semua. Belum lagi lauknya.“Niyet, niat kali kau ngerjai aku ya,” kata Rapi ketika disuruh istrinya belanja malam itu juga.“Hahaha,” aku hanya tertawa, lucu juga melihat Rapi yang kebingungan. Bahkan lantai ruang tengah rumahnya tidak sanggup menampung rombongan kami.“Ini uangnya, Rapi,” kata Bang Parlindungan ketika Rapi sibuk memeriksa isi dompetnya.“Terima kasih, Bang Parlin, kau memang Rambo, menolong jika dibutuhkan,” jawab Rapi seraya menerima uang merah beberapa lembar dari tangan Bang Parlin.“Belanja yang banyak ya, Rapet, kami kuat makan lo,” kataku pada Rapi. Dia hanya membalas dengan menunjukkan kepalanya tangannya. Lucu juga melihat
Maaf, Pak, aku hanya ingin bersedekah lebih jauh, aku ingin mengikuti jejak Bapak,” kata, Torkis ketika kami hendak pamit pulang.“Sedekah itu baik, Torkis, baik sekali pun, mengambil uang dari sedekah itu untuk gaji pengurus juga wajar, yang gak wajar itu jika sedekah sudah dibisniskan, lihat itu, mobil mereka saja fortuner, yang sedekah mungkin masih naik motor, udah, gak usah ikut-ikutan, jika mau sedekah, lihat saja dulu sekelilingmu,” kata Bang Parlin.“Iya, Pak,” kata Torkis.“Contoh lihat sekeliling itu, ini warga desa kita, mereka butuh bibit cabe, untuk ditanam di sela-sela sawit,” kata Bang Parlin lagi“Ok, Pak, aku sediakan,” kata Torkis.Jadilah kami pulang masing-masing membawa bibit gratis dari Torkis, Torkis yang dulu tukang ngangon sapi sekarang sudah kaya raya, bahkan lebi
Ketika aku duduk di meja, aku baru merasakan sesuatu yang hilang. Stempel kantor desa tidak ada, biasanya selalu ada di sudut kiri meja. Padahal sudah seharian mencari apa yang hilang.“Mana stempel?" tanyaku pada sekretaris desa.“Mana saya tahu, Bu, kukira Ibu bawa ke rumah,” jawab sekretaris desa tersebut.Wah, untuk apa orang mencuri stempel? Itu tak berguna tanpa tanda tangan, kalau hanya stempel bisa dengan mudah menirunya.Baru satu hari aku ngantor, sudah ada yang berubah, sudah ada berkas yang ditandatangani sekretaris desa. Aku kesal, baru beberapa hari tidak ngantor sekretaris desa ini sudah melangkahi tugasku. Akan tetapi memang peraturannya seperti itu, jika kepala desa berhalangan sekretarislah yang mengambil alih tugas.“Bang,” panggilku pada Bang Parlin, suamiku itu masih setia m
Sungguh tak kusangka Bang Parlindungan bisa juga main tipu muslihat, pria yang mengaku sebagai ketua bidang hukum perusahaan perkebunan itu sakit perut. Anehnya tiga tamu dan Bang Parlindungan ikut minum kopi, hanya pria itu yang kena.“Jahat juga Abang ya?” kataku.“hehehe,” Bang Parlin hanya terseyum tipis.“Bagaimana Pak Sekdes itu, Bang, aku gak nyaman kerja jika ada dia, dia sampai bunuh anjing untuk menakutiku,” katanya kemudian.“Dilema, Dek, di satu sisi memang dia harus dipecat, karena perbuatannya yang sudah tak bisa ditelolir, tapi dia akan makin sakit hati, apalagi jika warga desa tahu perbuatannya, dia akan makin dikucilkan di desa ini,” kata Bang Parlin.Bang Parlindungan belum berubah dari dulu, masih sempat-sempatnya dia memikirkan nasib orang yang sudah berbuat jahat pada istrinya. Teri