Pembicaraan dengan ibu itu membuat aku berpikir, aku memang tidak akan pernah bisa seikhlas itu. Ikhlas seperti itu mungkin tidak akan pernah bisa kuraih.Saat pulang dari sekolah Ucok, aku langsung ke kantor, sudah ada lagi Wak Haji di kantor menungguku. Berurusan dengan orang tua ini benar-benar menguras emosi."Sapi saja sudah mulai cari makan, ayam sudah lama bangun, kamu belum masuk kantor sampai jam sembilan," kata Wak Haji begitu aku datang."Maaf ya, Wak, aku atasan di sini, kepala desa, gak senang silakan pergi," aku kesal juga akhirnya, datang-datang sudah diomeli."Begitu cara pemimpin menghadapi kritik rakyatnya?" Wak Haji masih saja mengomel."Ya, begitulah, mau apa tadi, Wak?" tanyaku kemudian."Begini, itu tanah saya yang di simpang tiga itu mau saya wakafkan," kata Waktu Haji."Oh, Alhamdulillah," "Tolong dulu urus suratnya," "Baik, Wak, tolong lengkapi berkasnya," jawabku kemudian."Ini semua berkasnya, dasar kepala desa pemalas, belum lihat sudah bilang lengkapi,"
Mata Bang Parlin terus melihat ke mataku, sepertinya dia ingin melihat keseriusan di mata ini. Aku menunduk."Kamu kenapa, Dek?" tanya Bang Parlin lagi."Aku mau belajar ikhlas, Bang, belajar memaafkan, kata Abang hati harus ikhlas," kataku lagi."Kok larinya ke kawin lagi?" tanya Bang Parlin."Kasta tertinggi ikhlas bagi perempuan itu adalah saat mengikhlaskan suaminya menikah lagi," kataku kemudian."Waduh, dari mana pula dapat ilmu begitu, Dek?" suara Bang Parlin mengeras."Aku dapat dari guru agama Ucok," kataku kemudian."Ya, Allah, Dek, beda konteks, Dek, beda, memang betul begitu, tapi itu konteks dalam rumah tangga, Dek, masalah kita kan konteks di hati dalam hal memaafkan," kata Bang Parlin."Aku bingung, Bang, orang yang sakit' perut, yang buat sakit perut Abang, kok aku yang disalahkan tidak bisa ikhlas, tidak bisa memaafkan?" kataku kemudian."Udah, Dek, jangan sedih, Adek tidak pernah ngomong soal poligami, Abang pun gak pernah, eh, pernah juga tapi bercanda," kata Bang P
Kenapa Ibunya Salsabila belum sembuh juga? Sementara semua yang terlibat sudah sembuh. Apakah Bu Dewan itu punya penyakit lain? Atau aku tidak bisa memaafkan dirinya. Padahal aku sudah coba memaafkan dengan tulus.Pagi itu aku tidak ke kantor, selepas mengantarkan Ucok sekolah, aku pulang ke rumah. Bang Parlindungan juga tidak ke kebun. Kami mempersiapkan sambutan untuk tamu yang akan datang. Camilan sudah dipersiapkan, minuman juga. Rumah pun sudah dibereskan.Ada mobil parkir di depan rumah, kukira tamu yang datang, ternyata anaknya Wak Haji bersama Wak Haji. "Assalamualaikum," salam Wak Haji."Waalaikumsalam,"Aku dan Bang Parlin menyalami kedua tamu tersebut. Mereka lalu duduk di sofa."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku basa-basi."Begini, Bu Kades, kemarin kan aku pergi urus suratnya, ternyata penerima wakaf itu harus jelas. Yayasan keagamaan, atau masyarakat desa, jadi aku pilih masyarakat desa saja, terus aku akan wakaf kan tanah itu ke desa ini, dengan syarat bentuk pan
Inikah yang membuat ibu dewan tidak sembuh juga? Atau jangan-jangan Bang Parlin punya hubungan khusus dengan Bu Dewan ini? Berbagai macam pertanyaan dalam benakku, yang membuatku jadi semakin kepo. Akhirnya kucoba balas pesan tersebut. Sampai lama aku memikirkan balasannya biar sesuai dengan gaya mereka.(Kenapa ayam tak bisa dikunyah? Masih ompong kah macan, atau perut tak bisa menerima?) Balasku kemudian.(Perut sudah bisa menerima, tapi sakit ini haruslah berlama-lama, aku takut dimakan buaya) balasnya lagi.Sampai lima belas meniti aku memikirkan apa arti chat,-nya barusan. Akan tetapi aku tak tahu juga. Akhirnya ku- screenshot dan kirim ke Butet, anak gadisku itu pintar, dia pasti tahu.(Artikan, Tet,) pesanku kemudian.(Gitu aja mamak gak tau, perut sudah bisa menerima, artinya perutnya sudah sembuh , sakit ini haruslah berlama-lama, artinya pura-pura sakit, takut dimakan buaya, takut ditangkap polisi,,) begitu pesan Butet. Kenapa lah otakku tidak sampai ke sana, kenapa pula
Setelah semua tanda tangan, Bu Notaris itu akhirnya melanjutkan perjalanan menuju pantai barat. Tinggal Wak Haji yang terbengong-bengong. Niatnya benar-benar kandas. Entah kenapa aku senang, ya, Allah, apakah senang melihat orang susah itu sudah menjangkitiku.Aku malah tertawa saat spanduk yang dipasang Wak Haji diganti. Sekarang tulisannya sudah begini :"Tanah Wakaf pekuburan muslim Haji Syaifuddin Lubis," Wak haji sepertinya tidak rela, tanahnya jadi pekuburan. Dia masih berusaha mempengaruhi warga supaya dibatalkan jadi pekuburan. Akan tetapi semua warga tetap lebih setuju tanah itu jadi kuburan'. Kuburan di desa kami memang kondisinya sudah sempit sekali, konon tanah wakaf itu sudah ada sejak jaman dahulu. Wak Haji akhirnya resmi pindah ke desa lain, masih satu kecamatan. Dia pindahkan hartanya semua ke desa itu. Akan tetapi Wak Haji masih sering datang ke desa kami, seperti sore itu, dia datang ke rumah, saat itu Bang Parlin juga sedang di rumah. Wak Haji' datang bersama a
Malam itu aku sendiri di kamar, ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Aku benar-benar kesal pada Bang Parlin. Masa aku diumpamakan seperti bis pariwisata? Masih kesal juga tentang dia ternyata chat dengan ibu dewan tersebut. Chat mereka menurutku aneh. Sampai tengah malam, tak kudengar juga suara dengkuran Bang Parlin, biasanya suara dengkurannya keras. Bisa terdengar sampai ke ruang tengah, mana Bang Parlin?Coba kuintip dari lubang kunci, tidak ada dia di ruang tengah? Aku justru jadi gelisah sendiri, ke mana Bang Parlin?Tok,tok,tok!Terdengar ketukan di pintu."Tidur di luar!" kataku kemudian."Ini aku Ucok, Mak," Ya, ampun, anakku jadi tahu pertengkaran kami. Segera kubuka pintu. "Mana ayahmu, Cok?" tanyaku kemudian."Itu, di ruang salat," jawab Ucok."Waduh, siapa pula yang mau sakit perut dibikin ayahmu ini?" "Ihs, mamak souzon mulu, berzikir itu bukan berarti buat orang sakit' perut," katanya Ucok."Iya, juga ya," "Mamak sama ayah bertengkar ya?" tanya Ucok lagi. Aku j
Bang Parlin justru angkat bahu, lalu kembali melihat ke jalanan. Sementara HP masih di tanganku dalam posisi masih tersambung dengan Bu Dewan."Bang, ini ada yang mau pinjam Abang?" kataku sambil menyodorkan HP padanya. "Kok bilangnya minjam ya?" Bang Parlin justru bertanya, dia belum terima HP itu, atau dia tidak tahu masih terhubung."Mana kutahu, Bang, kalian kan penuh dengan perumpamaan," kataku lagi."Iya, Dek, tapi minjam suami? kok rasanya tidak enak ya, aku merasa seperti mobil yang dipinjamkan saja," kata Bang Parlin."Mana tau Abang memang dianggap mobil," kataku kemudian."Ah, tidak, Dek, hubungi balik, bilang gini, suamiku bukan barang yang bisa dipinjam," kata Bang Parlin."Oh, gitu, ibu sudah dengar sendiri, kan? suamiku bukan barang," kataku kemudian."Oh, ya, maaf ya, jika kalimat saya kurang sopan, tapi tolong, aku butuh keahlian Bang Parlin," katanya lagi dari seberang."Jika butuh ahli didatangi, Bu, bukan dipinjam, sudah dulu ya, Bu," kataku seraya mematikan pangg
Akhirnya kami setujui saja Butet lompat kelas, kami tandatangani surat persetujuan. Anehnya sekolah itu justru buat Butet yang lompat kelas itu jadi semacam iklan. Aku tahu karena melihat bannar di gerbang sekolah. Ada foto Butet serta tulisan."Prestasi Anda kebanggaan kami, Naduma Sari Siregar berhasil lompat kelas" begitu tulisan di banner tersebut."Butet, kau jadi bintang iklan," kataku saat kami keluar dari gedung sekolah tersebut. "Wah, musti minta royalti ini, mereka pasang ini tidak minta izin dulu," kata Butet. Ini memang sepertinya berlebihan, baru hari ini minta persetujuan kami, tapi sudah ada bannernya. tadi saat kamu masuk, banner itu belum ada. Berarti sudah dipersiapkan oleh sekolah itu.Biasanya Butet hanya kami jemput sekali dua bulan, libur Sabtu Minggu Butet tetap di asrama, katanya banyak kegiatan lain. Tapi belakangan ini, ada saja alasan untuk kami menjemput."Kita langsung pulang ini atau ada keperluan lain?" tanya Bang Parlin saat kami sudah naik mobil. "