Aku pendendam? Apa iya, tapi Bang Parlin yang tiba-tiba nyanyikan lagu India, yang katanya lagu Sanjay Dutt, padahal Sanjay Dutt itu aktor, bukan penyanyi. "Bukan aku yang pendendam, tapi Abang yang gak bisa move on, dari sekian juta lagu, kenapa harus lagu Sanjay Dutt, karena lagu itu kesukaan Rata kan?" kataku kemudian."Aduh, Dek, bukan masalah lama itu, tapi masalah kita yang sekarang," jawab Bang Parlin."Mau masalah mana pun, tetap Rara ujungnya, Abang larang sebut nama Rara, tapi Abang nyanyi India, Sanjay dutt lagi, aku tanya Abang dari mana Abang bisa ngefans sama Sanjay dutt, karena Rara kan?" aku makin sewot saja."Astaghfirullah, kamu benar-benar sulit untuk memaafkan, itu maksudnya, Dek," kata Bang Parlin lagi."Ya, aku sudah maafkan, sudah lupakan, Abang yang tiba-tiba nyanyi India," kataku kemudian."Waduh, aku jadi rindu Butet," "Kok Butet pula, gak usah alihkan pembicaraan, Bang," "Aku rindu Butet, Dek, biar dia jelaskan sama adek, Abang mau coba jelaskan adek teru
Pembicaraan dengan ibu itu membuat aku berpikir, aku memang tidak akan pernah bisa seikhlas itu. Ikhlas seperti itu mungkin tidak akan pernah bisa kuraih.Saat pulang dari sekolah Ucok, aku langsung ke kantor, sudah ada lagi Wak Haji di kantor menungguku. Berurusan dengan orang tua ini benar-benar menguras emosi."Sapi saja sudah mulai cari makan, ayam sudah lama bangun, kamu belum masuk kantor sampai jam sembilan," kata Wak Haji begitu aku datang."Maaf ya, Wak, aku atasan di sini, kepala desa, gak senang silakan pergi," aku kesal juga akhirnya, datang-datang sudah diomeli."Begitu cara pemimpin menghadapi kritik rakyatnya?" Wak Haji masih saja mengomel."Ya, begitulah, mau apa tadi, Wak?" tanyaku kemudian."Begini, itu tanah saya yang di simpang tiga itu mau saya wakafkan," kata Waktu Haji."Oh, Alhamdulillah," "Tolong dulu urus suratnya," "Baik, Wak, tolong lengkapi berkasnya," jawabku kemudian."Ini semua berkasnya, dasar kepala desa pemalas, belum lihat sudah bilang lengkapi,"
Mata Bang Parlin terus melihat ke mataku, sepertinya dia ingin melihat keseriusan di mata ini. Aku menunduk."Kamu kenapa, Dek?" tanya Bang Parlin lagi."Aku mau belajar ikhlas, Bang, belajar memaafkan, kata Abang hati harus ikhlas," kataku lagi."Kok larinya ke kawin lagi?" tanya Bang Parlin."Kasta tertinggi ikhlas bagi perempuan itu adalah saat mengikhlaskan suaminya menikah lagi," kataku kemudian."Waduh, dari mana pula dapat ilmu begitu, Dek?" suara Bang Parlin mengeras."Aku dapat dari guru agama Ucok," kataku kemudian."Ya, Allah, Dek, beda konteks, Dek, beda, memang betul begitu, tapi itu konteks dalam rumah tangga, Dek, masalah kita kan konteks di hati dalam hal memaafkan," kata Bang Parlin."Aku bingung, Bang, orang yang sakit' perut, yang buat sakit perut Abang, kok aku yang disalahkan tidak bisa ikhlas, tidak bisa memaafkan?" kataku kemudian."Udah, Dek, jangan sedih, Adek tidak pernah ngomong soal poligami, Abang pun gak pernah, eh, pernah juga tapi bercanda," kata Bang P
Kenapa Ibunya Salsabila belum sembuh juga? Sementara semua yang terlibat sudah sembuh. Apakah Bu Dewan itu punya penyakit lain? Atau aku tidak bisa memaafkan dirinya. Padahal aku sudah coba memaafkan dengan tulus.Pagi itu aku tidak ke kantor, selepas mengantarkan Ucok sekolah, aku pulang ke rumah. Bang Parlindungan juga tidak ke kebun. Kami mempersiapkan sambutan untuk tamu yang akan datang. Camilan sudah dipersiapkan, minuman juga. Rumah pun sudah dibereskan.Ada mobil parkir di depan rumah, kukira tamu yang datang, ternyata anaknya Wak Haji bersama Wak Haji. "Assalamualaikum," salam Wak Haji."Waalaikumsalam,"Aku dan Bang Parlin menyalami kedua tamu tersebut. Mereka lalu duduk di sofa."Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku basa-basi."Begini, Bu Kades, kemarin kan aku pergi urus suratnya, ternyata penerima wakaf itu harus jelas. Yayasan keagamaan, atau masyarakat desa, jadi aku pilih masyarakat desa saja, terus aku akan wakaf kan tanah itu ke desa ini, dengan syarat bentuk pan
Inikah yang membuat ibu dewan tidak sembuh juga? Atau jangan-jangan Bang Parlin punya hubungan khusus dengan Bu Dewan ini? Berbagai macam pertanyaan dalam benakku, yang membuatku jadi semakin kepo. Akhirnya kucoba balas pesan tersebut. Sampai lama aku memikirkan balasannya biar sesuai dengan gaya mereka.(Kenapa ayam tak bisa dikunyah? Masih ompong kah macan, atau perut tak bisa menerima?) Balasku kemudian.(Perut sudah bisa menerima, tapi sakit ini haruslah berlama-lama, aku takut dimakan buaya) balasnya lagi.Sampai lima belas meniti aku memikirkan apa arti chat,-nya barusan. Akan tetapi aku tak tahu juga. Akhirnya ku- screenshot dan kirim ke Butet, anak gadisku itu pintar, dia pasti tahu.(Artikan, Tet,) pesanku kemudian.(Gitu aja mamak gak tau, perut sudah bisa menerima, artinya perutnya sudah sembuh , sakit ini haruslah berlama-lama, artinya pura-pura sakit, takut dimakan buaya, takut ditangkap polisi,,) begitu pesan Butet. Kenapa lah otakku tidak sampai ke sana, kenapa pula
Setelah semua tanda tangan, Bu Notaris itu akhirnya melanjutkan perjalanan menuju pantai barat. Tinggal Wak Haji yang terbengong-bengong. Niatnya benar-benar kandas. Entah kenapa aku senang, ya, Allah, apakah senang melihat orang susah itu sudah menjangkitiku.Aku malah tertawa saat spanduk yang dipasang Wak Haji diganti. Sekarang tulisannya sudah begini :"Tanah Wakaf pekuburan muslim Haji Syaifuddin Lubis," Wak haji sepertinya tidak rela, tanahnya jadi pekuburan. Dia masih berusaha mempengaruhi warga supaya dibatalkan jadi pekuburan. Akan tetapi semua warga tetap lebih setuju tanah itu jadi kuburan'. Kuburan di desa kami memang kondisinya sudah sempit sekali, konon tanah wakaf itu sudah ada sejak jaman dahulu. Wak Haji akhirnya resmi pindah ke desa lain, masih satu kecamatan. Dia pindahkan hartanya semua ke desa itu. Akan tetapi Wak Haji masih sering datang ke desa kami, seperti sore itu, dia datang ke rumah, saat itu Bang Parlin juga sedang di rumah. Wak Haji' datang bersama a
Malam itu aku sendiri di kamar, ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Aku benar-benar kesal pada Bang Parlin. Masa aku diumpamakan seperti bis pariwisata? Masih kesal juga tentang dia ternyata chat dengan ibu dewan tersebut. Chat mereka menurutku aneh. Sampai tengah malam, tak kudengar juga suara dengkuran Bang Parlin, biasanya suara dengkurannya keras. Bisa terdengar sampai ke ruang tengah, mana Bang Parlin?Coba kuintip dari lubang kunci, tidak ada dia di ruang tengah? Aku justru jadi gelisah sendiri, ke mana Bang Parlin?Tok,tok,tok!Terdengar ketukan di pintu."Tidur di luar!" kataku kemudian."Ini aku Ucok, Mak," Ya, ampun, anakku jadi tahu pertengkaran kami. Segera kubuka pintu. "Mana ayahmu, Cok?" tanyaku kemudian."Itu, di ruang salat," jawab Ucok."Waduh, siapa pula yang mau sakit perut dibikin ayahmu ini?" "Ihs, mamak souzon mulu, berzikir itu bukan berarti buat orang sakit' perut," katanya Ucok."Iya, juga ya," "Mamak sama ayah bertengkar ya?" tanya Ucok lagi. Aku j
Bang Parlin justru angkat bahu, lalu kembali melihat ke jalanan. Sementara HP masih di tanganku dalam posisi masih tersambung dengan Bu Dewan."Bang, ini ada yang mau pinjam Abang?" kataku sambil menyodorkan HP padanya. "Kok bilangnya minjam ya?" Bang Parlin justru bertanya, dia belum terima HP itu, atau dia tidak tahu masih terhubung."Mana kutahu, Bang, kalian kan penuh dengan perumpamaan," kataku lagi."Iya, Dek, tapi minjam suami? kok rasanya tidak enak ya, aku merasa seperti mobil yang dipinjamkan saja," kata Bang Parlin."Mana tau Abang memang dianggap mobil," kataku kemudian."Ah, tidak, Dek, hubungi balik, bilang gini, suamiku bukan barang yang bisa dipinjam," kata Bang Parlin."Oh, gitu, ibu sudah dengar sendiri, kan? suamiku bukan barang," kataku kemudian."Oh, ya, maaf ya, jika kalimat saya kurang sopan, tapi tolong, aku butuh keahlian Bang Parlin," katanya lagi dari seberang."Jika butuh ahli didatangi, Bu, bukan dipinjam, sudah dulu ya, Bu," kataku seraya mematikan pangg
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga