Akhirnya kami setujui saja Butet lompat kelas, kami tandatangani surat persetujuan. Anehnya sekolah itu justru buat Butet yang lompat kelas itu jadi semacam iklan. Aku tahu karena melihat bannar di gerbang sekolah. Ada foto Butet serta tulisan."Prestasi Anda kebanggaan kami, Naduma Sari Siregar berhasil lompat kelas" begitu tulisan di banner tersebut."Butet, kau jadi bintang iklan," kataku saat kami keluar dari gedung sekolah tersebut. "Wah, musti minta royalti ini, mereka pasang ini tidak minta izin dulu," kata Butet. Ini memang sepertinya berlebihan, baru hari ini minta persetujuan kami, tapi sudah ada bannernya. tadi saat kamu masuk, banner itu belum ada. Berarti sudah dipersiapkan oleh sekolah itu.Biasanya Butet hanya kami jemput sekali dua bulan, libur Sabtu Minggu Butet tetap di asrama, katanya banyak kegiatan lain. Tapi belakangan ini, ada saja alasan untuk kami menjemput."Kita langsung pulang ini atau ada keperluan lain?" tanya Bang Parlin saat kami sudah naik mobil. "
Suaraku yang keras ternyata bisa membuat Bang Parlin dan Bu Dewan terkejut juga. Bu dewan itu tampak berusaha memperbaiki letak duduknya. Bang Parlin melihatku, mungkin dia tidak menyangka aku bisa membentak anggota dewan. "Baiklah, kita bicara di sini saja, mohon izin Bu Nia, jangan terkejut, kata Bu Dewan."Ya, silakan, silakan," "Bang Parlin, aku sudah merasakan hukuman akibat kejahatanku, dua hari dua malam aku menderita." kata Bu Dewan."Hmm, terus," aku yang berkata."Jadi gini, Bang Parlin, jika ini sampai menyebar ke publik, partai kita akan hancur, Pemilu tahun depan bisa-bisa kita tak dapat kursi lagi," kata Bu Dewan."Ya, terus,""Jadi, saya minta pada Bang Parlin, buat dulu semuanya sakit perut orang yang menzalimiku, jangan sampai aku dikorbankan, kalau aku yang dikorbankan, aku janji akan bicara ke publik, bila jatuh ya hancur sekalian, tapi bila aku tetap anggota dewan, aku janji akan membawa partai kita lima besar pada pemilu tahun depan," kata Bu Dewan lagi."Maksud
Bang Parlin putar arah, dia melaju dengan kecepatan tinggi. Selama disupiri Bang Parlin, baru kali ini kulihat dia mengemudi dengan kecepatan tinggi begini "Hati-hati, Bang, gak usah terlalu buru-buru, ajal itu di tangan Tuhan," kataku kemudian."Ini soal menyelamatkan nyawa manusia, Dek," kata Bang Parlin. Dia menurut juga, laju mobil melambat."Sampai segitunya menyelamatkan orang jahat," kataku lagi."Dek, adanSalsabila lo di situ, dia masih remaja, Bu Dewan bunuh diri terserah dia, tapi Salsabila," kata Bang Parlin."Iya, Bang, iya," "Telepon dulu Bu Dewan? kata Bang Parlin seraya menyerahkan HP-nya.Aku terima hp tersebut, lalu mencari nomor Bu Dewan dan coba menelepon lewat wa. Akan tetapi memanggil terus."Gak aktif, Bang," kataku kemudian."Telepon dulu Raja," perintah Bang Parlin lagi.Segera kutelepon Raja, syukurlah tersambung juga."Raja, kami punya feeling, Bu Dewan, akan bunuh diri bersama anaknya, tolong ke sana sekarang juga, dia hanya berdua di rumahnya, tidak ada A
Entah kenapa dengan hidup kami, kami bermasalah bukan karena berulah, akan tetap karena peduli masalah orang. Kini kami harus ke ibukota lagi. Kata polisi hanya dimintai keterangan, padahal itu kata halus diperiksa. Kami pasti dicurigai.Libur akhir pekan yang seharusnya istirahat, kini kami harus ke kota lagi. Ucok juga ikut, biarpun dia tidak ikut dan tidak tahu menahu. Dia tetap mau ikut.Akan tetapi ketika mau dimasukkan ke mobil polisi, Bang Parlin dengan tegaa menolak."Kami naik mobil sendiri," kata Bang Parlin."Sebaiknya naik mobil ini saja, Pak, kami datang dengan baik-baik karena sangat menghargai bapak," kata polisi itu."Ini penangkapan, Pak?" tanya Butet."Bukan, hanya menjemput saksi," jawab polisi tersebut."Apakah saksi harus ikut mobil polisi, Pak, kalau kami bukan tersangka, tidak usah maksa-maksa, kami datang dengan sukarela, kami tidak mau naik mobil patroli polisi itu," kata Butet."Oh, baiklah," jawab polisi itu akhirnya.Ketika kami sudah berangkat, malah dikaw
Polisi itu tampak melongo mendengar perkataan Butet, polisi yang berdiri sampai geleng-geleng kepala."Tolong jangan berbelit-belit, baiklah, sayar tulis feeling saja, sekarang pertanyaan lain. Pada pukul 14 WIB, kalian masuk ke komplek, ada bukti tanda tangan di pos sekuriti, pertanyaan saya, kalian datang ke sana dalam rangka apa?" kata Polisi itu lagi."Diundang, Pak," jawab Butet."Siapa yang undang?" "Salsabila, dia temanku, jika bapak minta bukti surat undangan, tentu tidak ada, ini hanya undangan bertamu," kata Butet lagi. Polisi itu malah tertawa."Terus pukul lima belas lewat tiga puluh menit, kalian keluar dari rumah tersebut, ada bukti video cctv di pos sekuriti, pertanyaan saya, apa yang kalian lakukan di rumah itu selama satu setengah jam?" tanya polisi itu lagi."Bertemu teman, Pak, ngerti lah bapak jika anak gadis bertemu temannya, bahas cowok, bahas oppa Korea segala macam," kata Butet.Akhirnya Butet yang jadi juru bicara kami."Terus, Pak Parlin sama Bu Nia melaku
Kami sampai di rumah saat menjelang Magrib, kemudian masing-masing sibuk mandi, Ucok dan ayahnya ke mesjid untuk salat berjamaah, aku dan Butet salat di rumah. Selesai salat perut sudah lapar, karena hari ini tidak masak, tidak ada makanan. "Mak, kita masak Indomie goreng, yuk," kata Butet.Aku justru teringat mie goreng beracun Bu Dewan itu. Baru saja bahas itu seharian, sudah minta mie goreng pula si Butet ini."Telur dadar aja, Tet, mamak trauma mie goreng," kataku kemudian."Hahaha, mamak ada-ada saja," "Betul, Tet, baru saja kejadian begitu, sudah mau masak lagi," kataku lagi.Kami lagi membahas makan apa, Bang Parlin dan Ucok pulang dari masjid. "Bang kita makan apa?" tanyaku kemudian."Makan nasilah, Dek," jawab Bang Parlin."Maksudnya lauknya apa, Bang? gak masak hari ini," kataku lagi."Kita makan bakso, yuk," ajak Ucok.Kulihat Bang Parlin, dia orang yang tidak mau makan bakso atau mie ayam, entah kenapa dari dulu Bang Parlin tidak mau makan Bakso."Di dekat sekolah Ucok
"Kapan pula Abang selingkuh, ada-ada saja kamu, Dek?" kata Bang Parlin."Selingkuh hati, Bang," jawabku."Ya, Allah, masih itu saja cerita, mulai dari jaman HP masih Nokia sampai Oppo, masih itu saja yang dibahas," kata Bang Parlin."Ada yang terbaru, Bang, di jaman Oppo ini," "Apa pula itu?""Ulurkan aku belalai, aku kadal yang terjebak di lumpur hisap," kataku seraya memonyongkan bibir."Hahaha, berpandangan itu jangan ke belakang, Dek, tatap ke depan, apa yang harus kita lakukan ke depannya, bukan apa yang kulakukan dulu, apa visi misi keluarga kita ke depannya, bagaimana cara kita meredam Butet yang terlalu kritis, bagaimana cara kita memberikan pandangan pada Ucok yang masih labil," kata Bang Parlin."Tambahannya, Bang, bagaimana cara kita menghargai pasangan, bagaimana cara kita melupakan mantan," kataku lagi."Ah, kamu, Dek, kurang menghargai apa lagi aku, Dek? seluruh penghasilan kuberikan padamu. Aku tanya dulu kau, Dek, ada gak laki-laki kek Abang ini, panen sawit tiga pul
PoV ParlinAku merasa makin tua justru makin banyak masalah. Kasihan istri, masalah justru selalu merembet padanya. Mulai dari masalah Bupati, masalah partai sampai masalah Wak Haji.Masalah Bu Dewan ini yang sangat membuat aku merasa bersalah. Istrinya bupati itu adalah anggota dewan binaanku dulu. Dulu saat aku mengundurkan diri dari ketua partai, dialah yang memintaku dengan khusus jadi dewan penasehat. Anggota khusus yang tidak perlu ikut rapat, tidak perlu ikut sosialisasi. Hanya memberikan nasehat-nasehat pada mereka yang jadi caleg.Aku masih ingat dulu cara ibu itu memintaku jadi penasehat."Aku ibarat sapi limousin betina, butuh panduan untuk dapat hidup di tengah sawit, Anda adalah gembala idaman setiap sapi," begitu dia kirim pesan' wa. Entah kenapa aku tertarik, bahasanya itu sangat kusuka, akhirnya aku aktif memberi masukan dan saran untuknya, sampai akhirnya dia jadi anggota dewan, suaminya menang pemilihan bupati. Aku ikut bangga.Mungkin karena jasaku itulah yang membu