Polisi itu tampak melongo mendengar perkataan Butet, polisi yang berdiri sampai geleng-geleng kepala."Tolong jangan berbelit-belit, baiklah, sayar tulis feeling saja, sekarang pertanyaan lain. Pada pukul 14 WIB, kalian masuk ke komplek, ada bukti tanda tangan di pos sekuriti, pertanyaan saya, kalian datang ke sana dalam rangka apa?" kata Polisi itu lagi."Diundang, Pak," jawab Butet."Siapa yang undang?" "Salsabila, dia temanku, jika bapak minta bukti surat undangan, tentu tidak ada, ini hanya undangan bertamu," kata Butet lagi. Polisi itu malah tertawa."Terus pukul lima belas lewat tiga puluh menit, kalian keluar dari rumah tersebut, ada bukti video cctv di pos sekuriti, pertanyaan saya, apa yang kalian lakukan di rumah itu selama satu setengah jam?" tanya polisi itu lagi."Bertemu teman, Pak, ngerti lah bapak jika anak gadis bertemu temannya, bahas cowok, bahas oppa Korea segala macam," kata Butet.Akhirnya Butet yang jadi juru bicara kami."Terus, Pak Parlin sama Bu Nia melaku
Kami sampai di rumah saat menjelang Magrib, kemudian masing-masing sibuk mandi, Ucok dan ayahnya ke mesjid untuk salat berjamaah, aku dan Butet salat di rumah. Selesai salat perut sudah lapar, karena hari ini tidak masak, tidak ada makanan. "Mak, kita masak Indomie goreng, yuk," kata Butet.Aku justru teringat mie goreng beracun Bu Dewan itu. Baru saja bahas itu seharian, sudah minta mie goreng pula si Butet ini."Telur dadar aja, Tet, mamak trauma mie goreng," kataku kemudian."Hahaha, mamak ada-ada saja," "Betul, Tet, baru saja kejadian begitu, sudah mau masak lagi," kataku lagi.Kami lagi membahas makan apa, Bang Parlin dan Ucok pulang dari masjid. "Bang kita makan apa?" tanyaku kemudian."Makan nasilah, Dek," jawab Bang Parlin."Maksudnya lauknya apa, Bang? gak masak hari ini," kataku lagi."Kita makan bakso, yuk," ajak Ucok.Kulihat Bang Parlin, dia orang yang tidak mau makan bakso atau mie ayam, entah kenapa dari dulu Bang Parlin tidak mau makan Bakso."Di dekat sekolah Ucok
"Kapan pula Abang selingkuh, ada-ada saja kamu, Dek?" kata Bang Parlin."Selingkuh hati, Bang," jawabku."Ya, Allah, masih itu saja cerita, mulai dari jaman HP masih Nokia sampai Oppo, masih itu saja yang dibahas," kata Bang Parlin."Ada yang terbaru, Bang, di jaman Oppo ini," "Apa pula itu?""Ulurkan aku belalai, aku kadal yang terjebak di lumpur hisap," kataku seraya memonyongkan bibir."Hahaha, berpandangan itu jangan ke belakang, Dek, tatap ke depan, apa yang harus kita lakukan ke depannya, bukan apa yang kulakukan dulu, apa visi misi keluarga kita ke depannya, bagaimana cara kita meredam Butet yang terlalu kritis, bagaimana cara kita memberikan pandangan pada Ucok yang masih labil," kata Bang Parlin."Tambahannya, Bang, bagaimana cara kita menghargai pasangan, bagaimana cara kita melupakan mantan," kataku lagi."Ah, kamu, Dek, kurang menghargai apa lagi aku, Dek? seluruh penghasilan kuberikan padamu. Aku tanya dulu kau, Dek, ada gak laki-laki kek Abang ini, panen sawit tiga pul
PoV ParlinAku merasa makin tua justru makin banyak masalah. Kasihan istri, masalah justru selalu merembet padanya. Mulai dari masalah Bupati, masalah partai sampai masalah Wak Haji.Masalah Bu Dewan ini yang sangat membuat aku merasa bersalah. Istrinya bupati itu adalah anggota dewan binaanku dulu. Dulu saat aku mengundurkan diri dari ketua partai, dialah yang memintaku dengan khusus jadi dewan penasehat. Anggota khusus yang tidak perlu ikut rapat, tidak perlu ikut sosialisasi. Hanya memberikan nasehat-nasehat pada mereka yang jadi caleg.Aku masih ingat dulu cara ibu itu memintaku jadi penasehat."Aku ibarat sapi limousin betina, butuh panduan untuk dapat hidup di tengah sawit, Anda adalah gembala idaman setiap sapi," begitu dia kirim pesan' wa. Entah kenapa aku tertarik, bahasanya itu sangat kusuka, akhirnya aku aktif memberi masukan dan saran untuknya, sampai akhirnya dia jadi anggota dewan, suaminya menang pemilihan bupati. Aku ikut bangga.Mungkin karena jasaku itulah yang membu
PoV NiaHari itu aku dan Ucok menghabiskan waktu bersama. Kami mengobrol ke sana ke mari, tentang agama, tentang perempuan. Entah kenapa Ucok ini punya pilihan melihat cewek. Dia selalu melihat cewek itu harus kaya. Amanda yang putri pengusaha, baru Salsabila yang Putri Bupati. "Mak, di usia seperti aku ini dulu, apa mamak sudah punya pacar?" Pertanyaan Ucok membuatku terkejut juga.Ucok sudah enam belas tahun, di usia segitu dulu, aku sudah kelas dua SMA, tentu saja sudah punya pacar. Bahkan saat SMP aku sudah mulai mengenal cinta monyet. Akan tetapi aku malu untuk mengakui, khawatir jadi motivasi untuknya."Tidaklah, Cok, sampai tamat SMA baru pacaran," kataku berbohong."Mamak bohong, etek Ria bilang mantan mamak sampai sebelas orang," kata Ucok."Hehehe, ketahuan, betul, Cok, tapi itu tidak baik," kataku akhirnya."Mak, kapan kita jenguk Salsa," kata Ucok lagi."Udah, Cok, gak usah terlalu dipikiri itu,""Kenapa pilihanku selalu salah ya, Mak, padahal aku sudah pasang kriteria ti
Kubaca satu persatu chat dari anggota dewan tersebut, tidak ada memang kalimat yang menjurus ke mesra atau kata cinta. Semua isinya penuh perumpamaan yang kadang sulit dimengerti. Aku coba cari chat lain, Ya, Allah, ternyata banyak perempuan chat padanya. Aku coba baca satu chatting dari nomor tak disimpan. (Assalamualaikum, Bang Parlin, mohon maaf, bukan maksud mengadu-ngadu, tapi aku lihat Bu Kades bicara berduaan dengan orang Arab itu di kantor desa) begitu pesannya. Langsung kulihat foto profil pengirim pesan tersebut, tidak ada foto, tidak ada nama. Kulihat tanggalnya kira-kira delapan bulan yang lalu. Penasaran juga apa jawaban Bang Parlin.(Walaikum salam, itu sudah maksud mengadu ya, saya percaya istri saya, dan saya tidak percaya pada Anda)Begitu balasan Bang Parlin. Kenapa Bang Parlin tidak pernah tunjukkan chat begini padaku, aku coba mengingat-ingat. Memang pernah Hermansyah datang ke kantor desa. Kami bicara, kebetulan staf desa tidak ada di kantor. Ya, Allah, ternyata
Nomor WA itu tidak bisa dihubungi lagi, saat aku coba hubungi pakai nomorku tidak bisa lagi. Ini mungkin penipuan. Ya, Allah, uang itu setengah miliar lebih."Apa tadi nama travelnya?" tanyaku kemudian.Bang Parlin mengatakan, lalu aku ketik di pencarian google, tidak ada terdaftar. "Bang, kantornya di mana?" tanyaku kemudian."Itu, Dek, sehabis kota arah ke sini kan adar ruko baru dibangun," kata Bang Parlin."Ya, Allah, Abang sudah kena tipu, Bang," kataku kemudian."Waduh kok bisa ada orang menipu atas nama agama ya, ini yang paling kubenci." kata Bang Parlin."Abang yang salah, terlalu mudah percaya," kataku kemudian."Kok Abang pula yang salah, yang nipu siapa?" kata Bang Parlin."Iyalah, mudah sekali percaya, gak periksa dulu, main transfer saja," kataku kemudian."Itulah logika orang sekarang, yang tertipu yang disalahkan, misalnya motor itu di curi orang, bagaimana kalau adek yang disalahkan, kenapa tak dikunci ganda? Pencuri dibela," kata Bang Parlin."Iyalah, Bang, kan' k
Setengah milliar uang kami melayang, Bang Parlin tidak mau menggunakan ilmunya. Padahal mudah saja baginya jika memang dia mau. Aku coba mengingat ke belakang. Bang Parlin memang jarang memakai ilmunya jika soal uang. Pertama kali kulihat dia memakai ilmu tersebut saat rumah kami kemalingan. Ada kain adat pusaka warisan yang ikut hilang. Yang ternyata kemudian pelakunya adikku sendiri.Bahkan saat sapi kami seharga tiga ratus juta dilarikan orang, Bang Parlin tidak mempergunakan ilmunya. Akan tetapi aku tetap tidak rela uang setengah miliar itu melayang begitu saja."Bang, usaha dong, itu setengah milliar lo, Bang, panen satu tahun belum tentu terkumpul segitu," kataku lagi."Ini karena Abang juga, Dek, kalian benar, ini salah Abang," kata Bang Parlin."Udah, Bang, aku tarik ucapanku, ini salah mereka, mereka gunakan agama untuk cari uang, menipu atas nama agama," matayku kemudian."Gak bisa, Dek, Abang gak tega, karena kecerobohan sendiri orang lain jadi susah, Abang ceroboh," kata