Wak Haji Aku langsung menarik tangan Butet, bukan hanya karena dia langsung protes. Dia bicara sama Wak Haji tanpa pakai Haji, Hanya Wak saja. Aku saja yang kepala desa bicara tanpa haji, Wak itu marah. Apalagi anak remaja seperti Butet."Padahal karaoke itu dekat rumah Wak, Wak tidak protes, sampai digerebek polisi, Wak diam saja. Orang mau bangun pesantren, Wak pula keberatan," Butet masih bicara, padahal aku sudah coba memeganginya.Wak haji justru tidak menanggapi, dia seperti pura-pura tidak dengar. Dia lanjut bicara dengan bapak Bupati."Beribadah di tempat maksiat itu hukumnya makruh, Pak Bupati, jelas hadisnya, Rasulullah bahkan tidak salat subuh karena lagi berada di lokasi yang dijadikan orang tempat maksiat," kata Wak Haji lagi.Bupati justru melihat Butet, lalu bupati itu membukakan tangannya sebelah, seperti menyuruh Butet berbicara."Iya, Wak, betul itu, tapi itu bukan tempat maksiat, akan tetapi bekas, bekas ya, Wak, sedangkan mantan pelaku maksiat saja boleh bertobat
Ditaksir BupatiRisih juga mendengar bupati yang ingin bicara berdua, ini sudah tidak benar. Tidak mungkin aku bicara berdua, sementara aku orang yang sudah punya suami. Biar dia bupati sekalipun."Bicara di sini saja, Pak," jawabku kemudian.Dia melihat anaknya yang terus nempel di dekatnya, oh, aku mulai paham, mungkin pembicaraan yang tidak boleh didengar anak kecil, bukan yang tidak boleh didengar Bang Parlin. Sementara Bang Parlin masih di warung, dia tampak berbicara serius dengan pemilik warung tersebut. "Masuk mobil duluan, Salsabila," perintah Bupati pada anaknya. Anak sebaya Butet itu menurut perkataan ayahnya."Begini, Bu Nia, saya mau minta tolong Salsabila kutitipkan di sini dulu, kami mau bicarakan hubungan kami, membicarakan bagi harta gono gini, aku tidak ingin Salsabila melihat itu semua, jadi dia di sini saja dulu sama Butet, bolehkah?" kata Bupati."Boleh, Pak, boleh," jawabku kemudian."Aku khawatir perceraian ini merusak mental Salsabila, kalau dua abangnya suda
Wak Haji tampak marah sekali, atau anak-anakku memang kurang ajar? begitu sulit bagi mereka menyebut Wak Haji. Padahal sudah pernah kuingatkan.Pembangunan belum dimulai, Wak Haji seperti sudah kesulitan dana. Untuk biaya mengangkut materialnya saja dia tidak mau memakai uang pribadinya. Sehingga sampai dua hari kemudian material bangunan itu belum diangkut ke tanahnya.Hari itu kami sekeluarga pergi ke kebun, karena anak bupati ada di rumah, dia ikut kami ke kebun. Sepanjang jalan dia terus saja siaran langsung. Sampai di kebun Ucok dan Bang Parlin membawa Rembo dan tiga sapi lain ke pinggir sungai. Tempat kami biasa liburan tipis-tipis. Sudah lama juga aku tidak ke mariBatu itu masih ada di bukit, Ukiran Ni Ya juga masih terlihat jelas. Pondok yang berada di bukit itu juga masih ada."Ada pondok di atas!" seru Salsabila sambil menunjuk bukit."Itu proyek gagal," jawab Butet."Proyek gagal bagaimana?" Salsabila masih bertanya."Ya, gagal, gak jadi, tadinya kami mau bangun taz mahal
****Ucok ini sudah keterlaluan, Salsabila masih tiga belas tahun. Itu pula dia incar pakai acara makan bakso segala."Aku mau ikut gak dikasih Abang, Mak," kata Butet lagi.Kuambil HP, niatnya mau nelepon Ucok, akan tetapi belum sempat aku nelepon mereka sudah pulang. Berjalan kaki sambil berpegangan tangan terlihat di ujung jalan."Astaghfirullah," aku istighfar.Dari jauh sudah kelihatan Ucok, mereka sudah tak berpegangan tangan lagi. Belum sempat aku bicara. Salsabila yang duluan bicara."Aku tadi pengen bakso, Tante, kuajak Ucok, aku yang bayar kok," kata Salsabila.Tadinya aku sudah mau marah-marah, akan tetapi melihat wajah keduanya aku jadi tak tega. Akan kunasehati anakku setelah Salsabila pergi.Aku jadi merasa Salsabila tak bisa tinggal di rumah kami, remaja yang rasa ingin tahunya sangat besar, aku takut Ucok dan Salsabila berbuat yang tidak-tidak, apalagi mereka dalam satu rumah. Sementara libur panjang masih tiga hari lagi."Tet, kau temani si Salsabila ya, jangan biarka
Wak Haji masih menunduk, mungkin dia sudah kena mental karena ocehan Butet. Dia lalu berdiri lalu melihat ke arah Bang Parlin yang sudah marah."Baiklah, Parlin, aku menyerah, kukembalikan padamu semua," kata Wak Haji."Ya, memang mau saya ambil alih," kata Bang Parlin."Begini Parlin, tolong hargai saya, tolong namanya pakai nama saya, pondok pesantren kyai haji Syaifuddin Lubis. Itu impian saya sejak dulu," kata Wak Haji lagi."Apalah arti sebuah nama, Wak Haji?" kata Bang Parlin."Kau tidak akan mengerti Parlin, ini semua berkasnya, namanya sudah diganti," kata Wak Haji lagi.Begitu pentingnya sama Wak Haji masalah nama ini, dia sampai marah jika dipanggil tanpa pakai haji, kini dia mau ambil alih pembangunan pesantren hanya karena dia ingin namanya jadi abadi di pondok pesantren tersebut."Maaf, Wak Haji, kami tidak bisa janji," kata Bang Parlin."Kami permisi dulu, Wak Haji," kataku kemudian seraya mengambil semua berkasnya itu.Kami pulang dari rumah Wak Haji, masih berjalan kak
Bupati yang bermasalah, kami akhirnya yang ribut. Aku jadi merasa bersalah juga, dulu sering orang bilang, wanita itu pengingat sejarah. Akhirnya aku merasakannya juga. Padahal kami sudah janji tidak boleh lagi ada Rara di Antara kami, tidak boleh lagu sebut kata Rara di keluarga kami.Setelah makan dan minum, kami lanjutkan perjalanan ke ibukota kabupaten. Pesan dari bupati datang lagi, isinya mengingatkan supaya Salsabila memilih ayahnya. Aku tidak balas lagi, tidak tahu harus turuti yang mana, akhirnya tidak ada yang kubilang. Saat tiba di sekolah, ternyata ibunya Salsabila sudah ada di situ. Begitu kami sampai langsung disambut ibunya Salsabila dengan pelukan. Tak berapa lama kemudian Bupati juga datang ke sekolah tersebut. Jadilah suami istri yang sudah bercerai itu berkumpul. Kami diajak bicara. Entah kenapa aku jadi merasa terjebak di masalah mereka."Salsabila sayang, besok pilih sama Mama ya, besok mama jemput kau kemari, mama sudah bicara dengan guru," kata ibunya Salsabila
Suasana jadi tegang, lalu seorang remaja tanggung muncul dari kerumunan orang."Aku saksi hidupnya, ayahku mati karena sakit perut," kata pemuda itu.Aku kenal pemuda tersebut, ayahnya dulu pernah memintnah kami atas suruhan kepala desa lama. Kemudian ayahnya meninggal karena keracunan miras oplosan. Padahal aku bantu keluarganya dengan zakat saat itu."Kitar usir tukang racun' dari desa ini," teriak Wak Haji lagi.Ini sudah tidak bisa dibiarkan, Wak Haji sudah keterlaluan. Akan tetapi kami tidak bisa melakukan perlawanan dengan situasi seperti ini. "Ini fitnah, kita lihat saja nanti," kata Bang Parlin.Lalu kami keluar dari kerumunan tersebut. Kembali pulang ke rumah. "Bagaimana ini, Bang?" tanyaku pada Bang Parlin."Tunggu dulu, Dek," kata Bang Parlin seraya menatap Ucok."Cok, apakah kau buat sakit perut orang yang mencuri semen itu?" tanya Bang Parlin pada anaknya."Nggak, Yah, gak ada," jawab Ucok."Lalu kenapa orang sakit perut?" tanya Bang Parlin lagi. Berarti bukan juga Ban
Dua teman pemuda itu akhirnya datang juga, satu lelaki sudah agak tua, satu lagi masih kelihatan muda. Mereka lalu duduk bersila di rumah pemuda yang bernama Min tersebut."Begini, Bapak-bapak, semen yang kalian angkut itu adalah semen untuk pembangunan pesantren," kata Bang Parlin memulai pembicaraan."Kami tahu, Bang, aku sebagai sopir dan pemilik truk selalu hati-hati menerima pekerjaan," jawab pria yang agak tua."Hati-hati bagaimana?" tanyaku kemudian."Sebelum saya terima orderan, saya harus pastikan itu bukan barang curian, , Wak Haji menjamin, memang dia pengelola pesantren tersebut, nama pesantrennya saja nama dia," jawab pria itu, "lagian dia haji lo, masa kami gak percaya," sambungnya lagi."Iya, betul, tapi ini jebakan untuk kalian dia kesulitan dana lanjutan pembangunan, aduh, bagaimana ya menjelaskannya?" Bang Parlin sepertinya bingung."Tapi masa dicuri punya sendiri? gak masuk logika?" kata Pria itu lagi"Bukan punya sendiri, punya pesantren, dulu aku yang jadi ketua p