Kamera pun dimatikan. Arita tampak tidak senang dengan hasilnya. Beberapa kali dia periksa kembali siaran langsung tersebut. "Kalian tidak bisa diajak kerjasama," kata Arita."Maaf sekali atas ketidaknyamanannya," kataku kemudian. Untuk beberapa saat lamanya, Arita sibuk dengan HP -nya, lalu berbicaralah serius dengan beberapa kru-nya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak tahu."Kita masih bisa wawancara, tapi tidak siaran langsung lagi," kata Arita lagi."Boleh, boleh, tapi tetap seperti itu, kami tidak mau settingan," kata Bang Parlin."Ok, kita mulai." Kami kembali duduk, masih tetap di posisi semula. Arita ini memang sering buat konten mengangkat kemiskinan orang. Baru memberikan uang, orang yang diberikan uang lalu nangis-nangis. Juga suka membuat orang salah bicara', gugup dengan pertanyaannya. Aku baru tahu, sebagian besar pertanyaan dan jawaban sudah disetting."Kita kembali lagi dengan keluarga fenomenal, yaitu Keluarga Parlindungan Siregar." kata Arita memulai wawanc
Aku malas untuk berdebat, jika Bang Parlin sudah menggunakan hak veto-nya, tak ada yang bisa membantah. Jika dibantah pun pertengkaran yang akan datang Ketika aku hendak memesan mobil travel, terjadi perdebatan lagi. Aku memilih mobil travel karena praktis dan mudah. Akan tetapi Ucok malah ingin naik bus, Butet ingin naik pesawat. Lagi-lagi Bang Parlin menggunakan hak veto- yang, dia mau naik kereta api. Akhirnya kami naik taksi online ke pasar Senen, terus akan naik kereta api ke Bandung. "Kenapa ayah aja yang ngatur?" Butet protes."Demi kebaikan, Tet," jawab Bang Parlin."Kebaikan untuk Ayah?" kata Butet lagi."Kebaikan untuk kita semua, Tet," jawab Bang Parlin."Bagaimana bisa kebaikan untuk semua, yang kenal dokter itu cuma ayah," kata Butet lagi. Saat itu kami lagi menunggu kereta api."Begini, Tet, Belanja, Jalan-jalan ke kebun binatang, lihat monas sama ziarah, ayah tanya dulu kau, Tet, di antara yang empat itu mana pilihan paling baik mana? pilihan yang berpahala?" tan
Aku lalu memberitahu tentang telepon dari Sofyan Harahap ini. Bang Parlin terdiam, lalu kemudian dia sujud syukur. Entahlah, emosi Bang Parlin ini memang susah diprediksi. Saat begini dia justru sujud syukur dan menangis."Jalan menuju Baitullah memang berliku buat kita, Abang sangat terharu, Dek," kata Bang Parlin.Kami sekeluarga pun diskusi mendadak, itu salah satu kebiasaan baru keluarga kami. Diskusi, karena Ucok dan Butet sudah dewasa dalam hal pemikiran, jadi kami akan diskusi dulu sebelum mengambil keputusan. Biarpun lebih sering Bang Parlin yang memutuskan. "Ucok, Butet, ada tawaran naik haji tahun ini dari keluarga baik, orang tua mereka sudah terdaftar dan akan berangkat tahun ini, tapi keduanya sudah meninggal dunia, jadi ayah dan mamak ditawarkan menggantikan tempat kedua orang tua mereka, bagaimana pendapat kalian?" kata Bang Parlin memulai diskusi."Memangnya bisa begitu, Yah?" tanya Ucok."Bisa, ayah sudah periksa di google, memang bisa dialihkan ke ahli waris ata
Aku terkejut mendengar perkataan mereka. Ternyata feeling Butet benar, yang ikhlas itu memang sangat sulit. Mereka mau berikan kuota haji itu karena tahu kami bisa bayar lima ratus juta untuk dua orang. "Maaf, kupikir kalian berikan sebagai sumbangan," kata Bang Parlin."Waduh, maaf Bang Parlin, kita bukan orang kaya, orang tua kami meninggal tidak mewariskan apapun, hanya kuota haji itu, sudah ada yang menawar tiga ratus juta, tapi kami masih mencari penawar tertinggi, ini kuota yang sudah tiga belas tahun lo, Pak," kata Pria itu lagi."Bapak melelang orang tua sendiri?" Butet tiba-tiba ikut bicara.Gawat, jika Butet ikut bicara, bisa gawat ini. "Bukan melelang, hanya realistis, kami lakukan untuk yang terbaik, orang tua kami juga pasti bangga tabungannya puluhan tahun bisa berguna bagi anaknya," kata pria itu lagi."Maaf sekali, Pak Sofyan, kami tidak bisa," kata Bang Parlin."Ini kesempatan bagus lo, Pak, bapak bisa makin viral jika langsung berangkat," kata Sofyan."Waduh, maaf
Kami batal berangkat, tak enak juga jika mengabaikan undangan teman. Yang pertama kami kunjungi adalah Abangku. Saudara tertua dari enam kami bersaudara. Saat sampai di rumah mereka, aku terkejut, Abangku ini ternyata sudah berubah. Dia kaya raya kini. Rumahnya sudah mewah, mobil mewah terparkir di halaman."Udah kaya Abang sekarang ya?" kataku demi melihat' mobile Pajero parkir di depan rumahnya."Alhamdulillah, Nia, semua karena kalian," kata Abangku."Kok karena kami, Tulang, rezeki itu datangnya dari Allah, jangan bilang karena kami," Butet langsung protes. Anak gadisku ini memang begini adanya, dia suka mendengarkan orang dewasa bicara, jika ada yang tidak cocok, dia langsung protes. "Iya, Butet, maksudnya karena ayahmu berkasus, Tulang jadi dapat uang, kami modalkan uangnya untuk jual beli properti, Alhamdulillah berkembang," kata Abang.Begitulah memang kehidupan ini kadang, dari kasus orang lain, orang lain yang bisa mendapatkan keuntungan. Yang dimaksud Abang itu adalah kasu
Perdebatan kami terpaksa berhenti karena sudah tiba di depan rumah Rapi. Dia dan istrinya sudah menunggu di depan rumah, begitu kami turun langsung disambut dengan salaman."Nampak kali kau tukang makan itu, Rapet, dah segajah besarmu," candaku pada Rapi "Kau pun, sudah sekerbau," jawab Rapi.Kami yang biasa bercanda kasar dari kecil seperti sulit untuk dirubah. Jika bertemu mereka kebiasaan lama itu pasti muncul lagi. Di kami bercanda dengan nama hewan itu sudah biasa. Namaku saja Niyet, singkatan dari Nia monyet, si Rapi jadi Rapet. Semua teman kami namanya berakhiran et. "Kau yang hamil, Rapet, bukan istrimu," kataku lagi seraya menunjuk perutnya yang buncit."Hahaha, istriku langsing, Niyet," jawab Rapi.Aku terdiam, jika bicara tentang tubuhku yang makin berisi, aku tidak punya bahan candaan lagi, padahal aku yang duluan buat candaan soal body."Jangan ngaku suami sukses jika tidak bisa membuat istrinya gemuk," kata Bang Parlin. Di luar dugaan Bang Parlin ikut-ikutan, biasanya
Ini mungkin solusi dari masalah haji ini. Jika Torkis yang membiayai mungkin tidak akan salah lagi di adat, karena torkis adalah anak angkat Bang Parlin, yang dia pungut sejak masih kecil. "Tau kau, Torkis, dalam dua hari ini sudah tiga orang yang menawarkan haji untuk kami, satu kami tertipu, ternyata orang yang mau lelang kuota haji orang tuanya, satu lagi Abang ipar, kau tau sendiri, pantang bagi kita dibayari oleh pihak mora, dan kau Torkis, aku jadi terharu," kata Bang Parlin, dia lalu memegang matanya, aku tahu Bang Parlin menangis lagi. Entah kenapa belakangan ini dia sensitif sekali."Aku kenal, Bapak, yakin bukan mau pamer saat menyumbangkan uang tersebut, aku sampai periksa itu video," kata Torkis lagi."Iya, Torkis," "Kalau bapak dan Ibu bersedia, aku akan daftarkan besok, untuk berangkat tahun depan," kata Torkis lagi.Tak ada perdebatan kali ini, Bang Parlin mau, Ucok juga setuju, aku juga pasti setuju. Akhirnya kami serahkan semua berkas pada Torkis, besok harinya dia
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu lalu bertanya "siapa?" Langsung kuberikan saja HP tersebut, tak lupa kuhidupkan speaker-nya. "Assalamualaikum, saya Parlindungan Siregar," kata Bang Parlim."Waalaikum salam, entah aku manggil apa sama kamu, tapi istriku pernah nikah dengan bapakmu, akulah Papa Sari, aku yang sekolahkan dia sampai sarjana, sampai kerja di kantor pajak, kini kalian tiba-tiba telepon setelah sekian lama," katanya dari seberang."Oh, maaf, kami telepon karena baru ini nemu nomor teleponnya, bukan karena dia sudah sukses ya," jawab Bang Parlin."Aku tersinggung, selama ini kalian ke mana?" "Maaf jika kamu tersinggung, tapi bagaimana pun juga dia adik kami, kamilah yang bisa jadi walinya, sebetulnya bukan kami yang tidak mau peduli, tapi mereka yang mau sembunyi," kata Bang Parlin."Ya, sudah, jika hanya wali saya ijinkan," katanya lagi dari seberang."Ya, sudah, hanya wali," jawab Bang Parlin seraya mematikan telepon.Kami sampai di ibukota kabupaten saat hari masih subu