Karena semuanya sudah setuju, aku pun menelepon YouTuber tersebut, untuk menyampaikan kesediaan kami untuk tampil di podcast-nya."Saya senang sekali mendengar kabar ini, kapan kira-kira ibu sekeluarga punya waktu?" tanya Arita Chan.Besok ataupun lusa, kebetulan hari libur," jawabku kemudian."Ya, sudah, saya akan mengirim tiket ke Jakarta," katanya lagi."Jakarta?" "Iya, Bu," "Tak bisa kah kalian yang datang?" tanyaku lagi."Di mana tepatnya ibu," tanyanya.Aku pun memberitahu alamat lengkap kami."Waduh, jauh sekali, lima belas jam dari bandara terdekat," jawabnya kemudian, setelah agak lama dia diam."Jadi bagaimana baiknya?" "Begini saja, kami datang ke Medan, kita bertemu di Medan besok jam sembilan pagi. Jika deal, biar saya hubungi rekan di Medan untuk menyiapkan studio," katanya lagi."Bentar, ya, kami berunding dulu," jawabku kemudian.Aku pun memberi tahu pada Bang Parlin Ucok dan Butet."Kita ke Jakarta saja, Mak, sekalian jalan-jalan," kata Butet."Jumpa di Medan saja
Kamera pun dimatikan. Arita tampak tidak senang dengan hasilnya. Beberapa kali dia periksa kembali siaran langsung tersebut. "Kalian tidak bisa diajak kerjasama," kata Arita."Maaf sekali atas ketidaknyamanannya," kataku kemudian. Untuk beberapa saat lamanya, Arita sibuk dengan HP -nya, lalu berbicaralah serius dengan beberapa kru-nya. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak tahu."Kita masih bisa wawancara, tapi tidak siaran langsung lagi," kata Arita lagi."Boleh, boleh, tapi tetap seperti itu, kami tidak mau settingan," kata Bang Parlin."Ok, kita mulai." Kami kembali duduk, masih tetap di posisi semula. Arita ini memang sering buat konten mengangkat kemiskinan orang. Baru memberikan uang, orang yang diberikan uang lalu nangis-nangis. Juga suka membuat orang salah bicara', gugup dengan pertanyaannya. Aku baru tahu, sebagian besar pertanyaan dan jawaban sudah disetting."Kita kembali lagi dengan keluarga fenomenal, yaitu Keluarga Parlindungan Siregar." kata Arita memulai wawanc
Aku malas untuk berdebat, jika Bang Parlin sudah menggunakan hak veto-nya, tak ada yang bisa membantah. Jika dibantah pun pertengkaran yang akan datang Ketika aku hendak memesan mobil travel, terjadi perdebatan lagi. Aku memilih mobil travel karena praktis dan mudah. Akan tetapi Ucok malah ingin naik bus, Butet ingin naik pesawat. Lagi-lagi Bang Parlin menggunakan hak veto- yang, dia mau naik kereta api. Akhirnya kami naik taksi online ke pasar Senen, terus akan naik kereta api ke Bandung. "Kenapa ayah aja yang ngatur?" Butet protes."Demi kebaikan, Tet," jawab Bang Parlin."Kebaikan untuk Ayah?" kata Butet lagi."Kebaikan untuk kita semua, Tet," jawab Bang Parlin."Bagaimana bisa kebaikan untuk semua, yang kenal dokter itu cuma ayah," kata Butet lagi. Saat itu kami lagi menunggu kereta api."Begini, Tet, Belanja, Jalan-jalan ke kebun binatang, lihat monas sama ziarah, ayah tanya dulu kau, Tet, di antara yang empat itu mana pilihan paling baik mana? pilihan yang berpahala?" tan
Aku lalu memberitahu tentang telepon dari Sofyan Harahap ini. Bang Parlin terdiam, lalu kemudian dia sujud syukur. Entahlah, emosi Bang Parlin ini memang susah diprediksi. Saat begini dia justru sujud syukur dan menangis."Jalan menuju Baitullah memang berliku buat kita, Abang sangat terharu, Dek," kata Bang Parlin.Kami sekeluarga pun diskusi mendadak, itu salah satu kebiasaan baru keluarga kami. Diskusi, karena Ucok dan Butet sudah dewasa dalam hal pemikiran, jadi kami akan diskusi dulu sebelum mengambil keputusan. Biarpun lebih sering Bang Parlin yang memutuskan. "Ucok, Butet, ada tawaran naik haji tahun ini dari keluarga baik, orang tua mereka sudah terdaftar dan akan berangkat tahun ini, tapi keduanya sudah meninggal dunia, jadi ayah dan mamak ditawarkan menggantikan tempat kedua orang tua mereka, bagaimana pendapat kalian?" kata Bang Parlin memulai diskusi."Memangnya bisa begitu, Yah?" tanya Ucok."Bisa, ayah sudah periksa di google, memang bisa dialihkan ke ahli waris ata
Aku terkejut mendengar perkataan mereka. Ternyata feeling Butet benar, yang ikhlas itu memang sangat sulit. Mereka mau berikan kuota haji itu karena tahu kami bisa bayar lima ratus juta untuk dua orang. "Maaf, kupikir kalian berikan sebagai sumbangan," kata Bang Parlin."Waduh, maaf Bang Parlin, kita bukan orang kaya, orang tua kami meninggal tidak mewariskan apapun, hanya kuota haji itu, sudah ada yang menawar tiga ratus juta, tapi kami masih mencari penawar tertinggi, ini kuota yang sudah tiga belas tahun lo, Pak," kata Pria itu lagi."Bapak melelang orang tua sendiri?" Butet tiba-tiba ikut bicara.Gawat, jika Butet ikut bicara, bisa gawat ini. "Bukan melelang, hanya realistis, kami lakukan untuk yang terbaik, orang tua kami juga pasti bangga tabungannya puluhan tahun bisa berguna bagi anaknya," kata pria itu lagi."Maaf sekali, Pak Sofyan, kami tidak bisa," kata Bang Parlin."Ini kesempatan bagus lo, Pak, bapak bisa makin viral jika langsung berangkat," kata Sofyan."Waduh, maaf
Kami batal berangkat, tak enak juga jika mengabaikan undangan teman. Yang pertama kami kunjungi adalah Abangku. Saudara tertua dari enam kami bersaudara. Saat sampai di rumah mereka, aku terkejut, Abangku ini ternyata sudah berubah. Dia kaya raya kini. Rumahnya sudah mewah, mobil mewah terparkir di halaman."Udah kaya Abang sekarang ya?" kataku demi melihat' mobile Pajero parkir di depan rumahnya."Alhamdulillah, Nia, semua karena kalian," kata Abangku."Kok karena kami, Tulang, rezeki itu datangnya dari Allah, jangan bilang karena kami," Butet langsung protes. Anak gadisku ini memang begini adanya, dia suka mendengarkan orang dewasa bicara, jika ada yang tidak cocok, dia langsung protes. "Iya, Butet, maksudnya karena ayahmu berkasus, Tulang jadi dapat uang, kami modalkan uangnya untuk jual beli properti, Alhamdulillah berkembang," kata Abang.Begitulah memang kehidupan ini kadang, dari kasus orang lain, orang lain yang bisa mendapatkan keuntungan. Yang dimaksud Abang itu adalah kasu
Perdebatan kami terpaksa berhenti karena sudah tiba di depan rumah Rapi. Dia dan istrinya sudah menunggu di depan rumah, begitu kami turun langsung disambut dengan salaman."Nampak kali kau tukang makan itu, Rapet, dah segajah besarmu," candaku pada Rapi "Kau pun, sudah sekerbau," jawab Rapi.Kami yang biasa bercanda kasar dari kecil seperti sulit untuk dirubah. Jika bertemu mereka kebiasaan lama itu pasti muncul lagi. Di kami bercanda dengan nama hewan itu sudah biasa. Namaku saja Niyet, singkatan dari Nia monyet, si Rapi jadi Rapet. Semua teman kami namanya berakhiran et. "Kau yang hamil, Rapet, bukan istrimu," kataku lagi seraya menunjuk perutnya yang buncit."Hahaha, istriku langsing, Niyet," jawab Rapi.Aku terdiam, jika bicara tentang tubuhku yang makin berisi, aku tidak punya bahan candaan lagi, padahal aku yang duluan buat candaan soal body."Jangan ngaku suami sukses jika tidak bisa membuat istrinya gemuk," kata Bang Parlin. Di luar dugaan Bang Parlin ikut-ikutan, biasanya
Ini mungkin solusi dari masalah haji ini. Jika Torkis yang membiayai mungkin tidak akan salah lagi di adat, karena torkis adalah anak angkat Bang Parlin, yang dia pungut sejak masih kecil. "Tau kau, Torkis, dalam dua hari ini sudah tiga orang yang menawarkan haji untuk kami, satu kami tertipu, ternyata orang yang mau lelang kuota haji orang tuanya, satu lagi Abang ipar, kau tau sendiri, pantang bagi kita dibayari oleh pihak mora, dan kau Torkis, aku jadi terharu," kata Bang Parlin, dia lalu memegang matanya, aku tahu Bang Parlin menangis lagi. Entah kenapa belakangan ini dia sensitif sekali."Aku kenal, Bapak, yakin bukan mau pamer saat menyumbangkan uang tersebut, aku sampai periksa itu video," kata Torkis lagi."Iya, Torkis," "Kalau bapak dan Ibu bersedia, aku akan daftarkan besok, untuk berangkat tahun depan," kata Torkis lagi.Tak ada perdebatan kali ini, Bang Parlin mau, Ucok juga setuju, aku juga pasti setuju. Akhirnya kami serahkan semua berkas pada Torkis, besok harinya dia
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga