Kami batal berangkat, tak enak juga jika mengabaikan undangan teman. Yang pertama kami kunjungi adalah Abangku. Saudara tertua dari enam kami bersaudara. Saat sampai di rumah mereka, aku terkejut, Abangku ini ternyata sudah berubah. Dia kaya raya kini. Rumahnya sudah mewah, mobil mewah terparkir di halaman."Udah kaya Abang sekarang ya?" kataku demi melihat' mobile Pajero parkir di depan rumahnya."Alhamdulillah, Nia, semua karena kalian," kata Abangku."Kok karena kami, Tulang, rezeki itu datangnya dari Allah, jangan bilang karena kami," Butet langsung protes. Anak gadisku ini memang begini adanya, dia suka mendengarkan orang dewasa bicara, jika ada yang tidak cocok, dia langsung protes. "Iya, Butet, maksudnya karena ayahmu berkasus, Tulang jadi dapat uang, kami modalkan uangnya untuk jual beli properti, Alhamdulillah berkembang," kata Abang.Begitulah memang kehidupan ini kadang, dari kasus orang lain, orang lain yang bisa mendapatkan keuntungan. Yang dimaksud Abang itu adalah kasu
Perdebatan kami terpaksa berhenti karena sudah tiba di depan rumah Rapi. Dia dan istrinya sudah menunggu di depan rumah, begitu kami turun langsung disambut dengan salaman."Nampak kali kau tukang makan itu, Rapet, dah segajah besarmu," candaku pada Rapi "Kau pun, sudah sekerbau," jawab Rapi.Kami yang biasa bercanda kasar dari kecil seperti sulit untuk dirubah. Jika bertemu mereka kebiasaan lama itu pasti muncul lagi. Di kami bercanda dengan nama hewan itu sudah biasa. Namaku saja Niyet, singkatan dari Nia monyet, si Rapi jadi Rapet. Semua teman kami namanya berakhiran et. "Kau yang hamil, Rapet, bukan istrimu," kataku lagi seraya menunjuk perutnya yang buncit."Hahaha, istriku langsing, Niyet," jawab Rapi.Aku terdiam, jika bicara tentang tubuhku yang makin berisi, aku tidak punya bahan candaan lagi, padahal aku yang duluan buat candaan soal body."Jangan ngaku suami sukses jika tidak bisa membuat istrinya gemuk," kata Bang Parlin. Di luar dugaan Bang Parlin ikut-ikutan, biasanya
Ini mungkin solusi dari masalah haji ini. Jika Torkis yang membiayai mungkin tidak akan salah lagi di adat, karena torkis adalah anak angkat Bang Parlin, yang dia pungut sejak masih kecil. "Tau kau, Torkis, dalam dua hari ini sudah tiga orang yang menawarkan haji untuk kami, satu kami tertipu, ternyata orang yang mau lelang kuota haji orang tuanya, satu lagi Abang ipar, kau tau sendiri, pantang bagi kita dibayari oleh pihak mora, dan kau Torkis, aku jadi terharu," kata Bang Parlin, dia lalu memegang matanya, aku tahu Bang Parlin menangis lagi. Entah kenapa belakangan ini dia sensitif sekali."Aku kenal, Bapak, yakin bukan mau pamer saat menyumbangkan uang tersebut, aku sampai periksa itu video," kata Torkis lagi."Iya, Torkis," "Kalau bapak dan Ibu bersedia, aku akan daftarkan besok, untuk berangkat tahun depan," kata Torkis lagi.Tak ada perdebatan kali ini, Bang Parlin mau, Ucok juga setuju, aku juga pasti setuju. Akhirnya kami serahkan semua berkas pada Torkis, besok harinya dia
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu lalu bertanya "siapa?" Langsung kuberikan saja HP tersebut, tak lupa kuhidupkan speaker-nya. "Assalamualaikum, saya Parlindungan Siregar," kata Bang Parlim."Waalaikum salam, entah aku manggil apa sama kamu, tapi istriku pernah nikah dengan bapakmu, akulah Papa Sari, aku yang sekolahkan dia sampai sarjana, sampai kerja di kantor pajak, kini kalian tiba-tiba telepon setelah sekian lama," katanya dari seberang."Oh, maaf, kami telepon karena baru ini nemu nomor teleponnya, bukan karena dia sudah sukses ya," jawab Bang Parlin."Aku tersinggung, selama ini kalian ke mana?" "Maaf jika kamu tersinggung, tapi bagaimana pun juga dia adik kami, kamilah yang bisa jadi walinya, sebetulnya bukan kami yang tidak mau peduli, tapi mereka yang mau sembunyi," kata Bang Parlin."Ya, sudah, jika hanya wali saya ijinkan," katanya lagi dari seberang."Ya, sudah, hanya wali," jawab Bang Parlin seraya mematikan telepon.Kami sampai di ibukota kabupaten saat hari masih subu
Ternyata Bang Parta serius, mereka yang duluan sampai ke desa. Katanya Torkis sudah meneleponnya memberi tahu tentang rencana pernikahan Naduma Sari. "Torkis ini ternyata tahu semua, dia tahu ayah kita dulu nikah lagi, dia juga yang sering teleponan dengan adik kita," begitu kata Bang Parta. "Kok dia ikut merahasiakan ya?" tanyaku kemudian."Itu permintaan almarhum ayah kita, beliau berhasil merahasiakannya dari kita, padahal itu bukan sesuatu yang salah, normal kok nikah lagi setelah istri meninggal," kata Bang Parlin."Ayah lari dari prinsip yang dia ajarkan, Bang, Ayah kan dulu suka bilang gini, hidup itu cuma sekali, lahir sekali, sebaiknya nikah juga sekali dan mati juga sekali, karena itu makanya dia rahasiakan," kata Bang Parlin."Iya, untuk memberikan contoh yang baik, akhirnya memberikan contoh yang tidak baik, kan jadi begini, punya adik tak dikenal," kata Bang Parta.Bang Nyatan juga sudah tiba, dia justru sangat antusias menggelar pesta untuk adik mereka yang lama hil
Ibunya Sari Justru diam saja, dia tidak berusaha melerai, tidak juga berusaha menjelaskan, akan tetapi terus diam saja. Entah apa yang ada di pikiran mertua tiriku ini.Penghulu akhirnya datang juga, Bang Parta yang jadi wali, dia menikahkan adiknya tersebut. Sementara itu ayah tiri Sari masih juga menunjukkan ketidaksukaannya pada kami, dia keluar ruangan saat akad nikah. "Sah!" Tugas Bang Parta selesai, dia langsung mengajak pulang."Kami pulang, Dik, jika butuh apa-apa, ini kami abangnya tiga, mari kita eratkan kembali persaudaraan kita," kata Bang Parlin."Terima kasih, Bang," jawab Sari seraya meneteskan air mata."Mak, tolong jangan buat jarak lagi antara kami dengan adik kami," kata Bang Parta pada ibu tiri mereka."Bukan maksud mau buat jarak, dari dulu aku hanya dijanjikan jadi istri siri, istri rahasia, ayah kalian dulu pernah bilang, kami adalah rahasia, selamanya akan rahasia, itn yang kupegang teguh sampai sekarang," jawab ibu tersebut."Sekarang jangan ada lagi rahasia
Kami singgah di sebuah rumah makan khas Mandailing. Untuk soal makanan, Bang Parlin memang suka menggunakan hak vetonya, karena dia tidak suka masakan dari daerah lain, apalagi dari luar negeri. Pernah Butet bawa burger dari ibukota kabupaten, katanya oleh-oleh untuk ayahnya. Bang Parlindungan tampak sangat tersiksa memakannya."Bicara soal butuh dan dihargai itu, ini contohnya, kita butuh makan karena lapar, sedangkan rumah makan ini butuh pelanggan jadilah saling membutuhkan, kita dihargai," kataku coba membuka percakapan."Bukan, ini bukan seperti itu, kita dihargai bukan dari hati, tapi dari duit, kalau kita gak punya uang tidak akan dihargai di sini," kata Bang Parlin."Ada ungkapan begini, pergilah ke tempat Anda dihargai, bukan dibutuhkan, menurutku itu salah, yang benar pergilah ke tempat di mana anda dibutuhkan, kalau soal dihargai itu ukurannya uang, anggota dewan datang ke desa misalnya, apakah kedatangannya dihargai, ya, iya, apakah dibutuhkan? Itu lain cerita," kata Bang
***Blokir itu akhirnya terbuka juga, kami lanjut perjalanan, sudah banyak polisi yang mengatur lalu lintas. "Ternyata ayah terkenal juga, ya, mendengar namanya orang pada takut,";kata Butet saat kami dalam perjalanan."Bukan, Tet, itu karena mamakmu cerita tentang kupu-kupu, orang jadi takut," kata Bang Parlin seraya tersenyum. Aku tahu Bang Parlin lagi meledekku."Bukan karena takut, Tet, tapi mereka sadar setelah Ucok kutip hadis," kataku kemudian."Bukan, bukan, semua karena Butet, dia ancam Kapolres," kata Ucok."Sudah, sudah, semua ini karena kita sekeluarga, kita tim yang komplit, aku jadi ingat film The Incredibles," kata Butet."Flm apa pula itu?" Bang Parlin bertanyal sambil mengerutkan kening."Keluarga pahlawan super, ayahnya jago, kuat, mamaknya tubuhnya bisa memanjang," kata Butet."Kapan-kapan kita tonton ya," kata Bang Parlin.Kami terlambat sampai di sekolah Butet, begitu turun dari mobil Butet langsung berlari masuk asrama dan berganti pakaian, kami lanjutkan perjal