Ibunya Sari Justru diam saja, dia tidak berusaha melerai, tidak juga berusaha menjelaskan, akan tetapi terus diam saja. Entah apa yang ada di pikiran mertua tiriku ini.Penghulu akhirnya datang juga, Bang Parta yang jadi wali, dia menikahkan adiknya tersebut. Sementara itu ayah tiri Sari masih juga menunjukkan ketidaksukaannya pada kami, dia keluar ruangan saat akad nikah. "Sah!" Tugas Bang Parta selesai, dia langsung mengajak pulang."Kami pulang, Dik, jika butuh apa-apa, ini kami abangnya tiga, mari kita eratkan kembali persaudaraan kita," kata Bang Parlin."Terima kasih, Bang," jawab Sari seraya meneteskan air mata."Mak, tolong jangan buat jarak lagi antara kami dengan adik kami," kata Bang Parta pada ibu tiri mereka."Bukan maksud mau buat jarak, dari dulu aku hanya dijanjikan jadi istri siri, istri rahasia, ayah kalian dulu pernah bilang, kami adalah rahasia, selamanya akan rahasia, itn yang kupegang teguh sampai sekarang," jawab ibu tersebut."Sekarang jangan ada lagi rahasia
Kami singgah di sebuah rumah makan khas Mandailing. Untuk soal makanan, Bang Parlin memang suka menggunakan hak vetonya, karena dia tidak suka masakan dari daerah lain, apalagi dari luar negeri. Pernah Butet bawa burger dari ibukota kabupaten, katanya oleh-oleh untuk ayahnya. Bang Parlindungan tampak sangat tersiksa memakannya."Bicara soal butuh dan dihargai itu, ini contohnya, kita butuh makan karena lapar, sedangkan rumah makan ini butuh pelanggan jadilah saling membutuhkan, kita dihargai," kataku coba membuka percakapan."Bukan, ini bukan seperti itu, kita dihargai bukan dari hati, tapi dari duit, kalau kita gak punya uang tidak akan dihargai di sini," kata Bang Parlin."Ada ungkapan begini, pergilah ke tempat Anda dihargai, bukan dibutuhkan, menurutku itu salah, yang benar pergilah ke tempat di mana anda dibutuhkan, kalau soal dihargai itu ukurannya uang, anggota dewan datang ke desa misalnya, apakah kedatangannya dihargai, ya, iya, apakah dibutuhkan? Itu lain cerita," kata Bang
***Blokir itu akhirnya terbuka juga, kami lanjut perjalanan, sudah banyak polisi yang mengatur lalu lintas. "Ternyata ayah terkenal juga, ya, mendengar namanya orang pada takut,";kata Butet saat kami dalam perjalanan."Bukan, Tet, itu karena mamakmu cerita tentang kupu-kupu, orang jadi takut," kata Bang Parlin seraya tersenyum. Aku tahu Bang Parlin lagi meledekku."Bukan karena takut, Tet, tapi mereka sadar setelah Ucok kutip hadis," kataku kemudian."Bukan, bukan, semua karena Butet, dia ancam Kapolres," kata Ucok."Sudah, sudah, semua ini karena kita sekeluarga, kita tim yang komplit, aku jadi ingat film The Incredibles," kata Butet."Flm apa pula itu?" Bang Parlin bertanyal sambil mengerutkan kening."Keluarga pahlawan super, ayahnya jago, kuat, mamaknya tubuhnya bisa memanjang," kata Butet."Kapan-kapan kita tonton ya," kata Bang Parlin.Kami terlambat sampai di sekolah Butet, begitu turun dari mobil Butet langsung berlari masuk asrama dan berganti pakaian, kami lanjutkan perjal
"Bukan Abang yang bilang soal warna ya, itu Ucok," jawab Bang Parlin."Tapi guruku yang bilang gitu, Yah, katanya hidup itu pasti ada masalah, kalau tidak ada masalah bukan hidup namanya, tergantung cara kita menghadapi masalah," kata Ucok."Siapa gurumu, Cok?" tanyaku kemudian. Saat itu kami sudah dalam perjalanan menuju ibukota kabupaten. Tempat Butet menimba ilmu."Ya, Ayahlah, Mak," jawab Ucok "Ohh, jadi Abang yang suka cari masalah itu?" "Bukan, Dek, bukan begitu konsepnya, masalah itu pantang dicari, tapi ketemu dihadapi," kata Bang Parlin."Salah, Yah, bukan begitu yang ayah ajarkan, tanpa masalah hidup tidak berwarna, tak semua masalah harus dihadapi, ayah yang bilang jika ada orang suka bully, dihindari," kata Ucok."Oh, ya, Ayah pernah bilang gitu ya?" "Masa ayah lupa, kata ayah jika ada anjing menggonggong biarkan saja, jika jumpa harimau di jalan, gak usah dihadapi, menghindar saja," kata Ucok."Oh, iya, ya,""Ayah sudah mulai linglung kayaknya," kata Ucok lagi."Udahla
Aku ikut geram dengan pengakuan Butet, Bang Parlin juga sepertinya sudah marah. Giginya gemerutuk, itu tanda Bang Parlindungan sudah marah sekali. Butet yang sangat jarang menangis kini mulai meneteskan air mata."Saya ingin bertemu kepala sekolah itu sekarang juga!" kataku kemudian."Maaf, Bu, kepala sekolah lagi di rumah istirahat karena penganiayaan," jawab bu guru BK tersebut."Panggil sekarang juga!" Bang Parlin menggebrak meja."Inilah yang dimaksud jika siswa ikut bicara, dia akan putar balikkan fakta untuk membela diri, saya sudah berpengalaman menangani anak nakal, Bu, Pak, tolong jangan pakai emosi, Bapak kepala sekolah tidak mungkin melakukan hal seperti itu, beliau tidak mungkin merusak karirnya yang cemerlang, coba periksalah dulu anak ibu," kata guru itu lagi."Aku kenal anakku, aku tahu bagaimana anakku, tidak mungkin dia tendang gurunya jika tidak diapa-apain," kata Bang Parlin. "Begini, Pak, anak bapak dalam masa pubertas, ada masa-masa emosinya tidak stabil, bapak m
Kami masuk rumah tersebut, rumah yang cukup mewah, akan tetapi tidak ada orang lain di rumah tersebut. Selain wanita tua tadi, tak ada lagi. Tidak adakah istri atau anak kepala sekolah ini?"Anak Anda sangat berbahaya, maaf saja, dia tidak stabil emosinya," kata kepala sekolah tersebut."Siapa yang tidak emosi payudaranya dipegang?" Bang Parlin tampak marah."Oh, bukan seperti itu, sebenarnya itu gerakan reflek, tidak sengaja," kata kepala sekolah itu lagi."Apa, Anda bilang memegang itunya anak gadis gerakan reflek?" Bang Parlin makin marah."Ya, begitulah, saya minta maaf untuk gerakan reflek saya," kata kepala sekolah tersebut.Plukkk!Tiba-tiba Ucok memukul wajah kepala sekolah tersebut, kepala sekolah itu sampai terhuyung. "Maaf, Pak, itu gerakan reflek, mohon maaf atas gerakan refleks saya," kata Ucok membalikkan perkataan kepala sekolah itu."Baiklah, kita tempuh jalur hukum, aku akan menuntut kalian, ini sudah keterlaluan, aku sudah ditendang, kini dipukul anak-anak lagi, Awa
Aku kagum dengan kesiapan Butet, akan tetapi naluri keibuanku justru berkata lain. Entah kenapa aku jadi takut, padahal Butet sendiri sudah bilang siap."Bang, aku jadi deg-degan, perasaanku tidak enak," kataku pada Bang Parlin, saat itu kami lagi berduaan di kamar."Abang juga begitu, Dek, jujur, kali ini Abang takut, kalau sesuatu terjadi pada Abang, masih bisa kuhadapi, tapi jika sesuatu terjadi pada Butet?" kata Bang Parlin."Kita harus bagaimana, Bang, sudah terlanjur begini?" tanyaku lagi."Kita hadapi, Dek," kata Bang Parlin. Nada suara Bang Parlin seperti tidak yakin, banyak masalah yang menimpa kami, bahkan tantangan duel dari guru silat pun pernah, akan tetapi selama ini Bang Parlin masih bisa terima, akan tetapi kali ini Bang Parlindungan sepertinya ragu untuk melangkah.Aku buka HP, coba cari tahu tentang Abdul Hakim ini, ternyata benar, dia mantan dosen yang jadi kepala sekolah SMP. Ternyata dia adalah sepupu dari pemilik yayasan sekolah Butet. Dia sudah lama jadi dosen,
Butet justru tampak tegar, sementara kami orang tuanya sudah ketar-ketir. Bang Parlindungan memang jago, tapi untuk urusan polisi dan media sosial suamiku ini lemah. Kantor polisi adalah salah satu tempat yang paling dia hindari. "Begitulah kehidupan ini, Dek, sesuatu yang kita hindari justru itulah yang sering kita hadapi, dulu Abang paling malas berurusan dengan polisi, tapi selalu urusan polisi yang datang," kata Bang Parlin.Saat itu kami lagi duduk-duduk di teras rumah. Butet asyik dengan HP-nya."Iya, Bang, kadang ada beberapa yang tidak bisa dihindari, bukan perkara suka tidak suka, akan tetapi harus dihadapi," kataku lagi.Teleponku berbunyi, ada panggilan dari sekolah Butet, entah kenapa aku jadi takut untuk mengangkat, kuberikan pada Bang Parlin setelah lebih dahulu menghidupkan speaker."Assalamualaikum," sapa Bang Parlin."Waalaikum salam," jawabnya dari seberang."Saya perwakilan dari sekolah, yang mewakili bapak kepala sekolah," katanya lagi."Ya, ada apa?" "Begini, se