Aku kagum dengan kesiapan Butet, akan tetapi naluri keibuanku justru berkata lain. Entah kenapa aku jadi takut, padahal Butet sendiri sudah bilang siap."Bang, aku jadi deg-degan, perasaanku tidak enak," kataku pada Bang Parlin, saat itu kami lagi berduaan di kamar."Abang juga begitu, Dek, jujur, kali ini Abang takut, kalau sesuatu terjadi pada Abang, masih bisa kuhadapi, tapi jika sesuatu terjadi pada Butet?" kata Bang Parlin."Kita harus bagaimana, Bang, sudah terlanjur begini?" tanyaku lagi."Kita hadapi, Dek," kata Bang Parlin. Nada suara Bang Parlin seperti tidak yakin, banyak masalah yang menimpa kami, bahkan tantangan duel dari guru silat pun pernah, akan tetapi selama ini Bang Parlin masih bisa terima, akan tetapi kali ini Bang Parlindungan sepertinya ragu untuk melangkah.Aku buka HP, coba cari tahu tentang Abdul Hakim ini, ternyata benar, dia mantan dosen yang jadi kepala sekolah SMP. Ternyata dia adalah sepupu dari pemilik yayasan sekolah Butet. Dia sudah lama jadi dosen,
Butet justru tampak tegar, sementara kami orang tuanya sudah ketar-ketir. Bang Parlindungan memang jago, tapi untuk urusan polisi dan media sosial suamiku ini lemah. Kantor polisi adalah salah satu tempat yang paling dia hindari. "Begitulah kehidupan ini, Dek, sesuatu yang kita hindari justru itulah yang sering kita hadapi, dulu Abang paling malas berurusan dengan polisi, tapi selalu urusan polisi yang datang," kata Bang Parlin.Saat itu kami lagi duduk-duduk di teras rumah. Butet asyik dengan HP-nya."Iya, Bang, kadang ada beberapa yang tidak bisa dihindari, bukan perkara suka tidak suka, akan tetapi harus dihadapi," kataku lagi.Teleponku berbunyi, ada panggilan dari sekolah Butet, entah kenapa aku jadi takut untuk mengangkat, kuberikan pada Bang Parlin setelah lebih dahulu menghidupkan speaker."Assalamualaikum," sapa Bang Parlin."Waalaikum salam," jawabnya dari seberang."Saya perwakilan dari sekolah, yang mewakili bapak kepala sekolah," katanya lagi."Ya, ada apa?" "Begini, se
Ucok digertak malah balik mengertak, padahal dia tahu kemampuan ayahnya hanya untuk pencuri, bukan pelaku pelecehan seksual. Di saat-saat seperti ini dua anakku justru tetap semangat, aku jadi terbaru, dulu jika kami ada masalah, akulah yang memberikan semangat, kini terbalik. Waktu berlalu, hari sudah menjelang sore, teleponnya dari Salsa belum datang juga, apakah dia berhasil? Tak sabar menunggu, kusuruh Butet menelepon Salsa. Seperti biasa, jika dua anak remaja ini bertelepon selalu video call."Ini aku lagi bersama ibu itu," kata Salsa dari seberang.Kulihat layar hp Butet, ibu tua itu memang ada di sebelah Salsabila."Selamat sore, Bu, ini kami yang datang tempo hari ke rumah kalian," kataku memulai pembicaraan."Ya, Bu," jawabnya. Akan tetapi aku tidak tahu mau bilang apa, tidak tahu mulai dari mana bicara."Bu, maaf, ya, saat kami di rumah itu dan bertengkar dengan bapak Abdul Hakim, aku lihatbibu tersenyum, tidak berusaha melerai, kenapa ya, Bu?" tanyaku akhirnya."Oh, tidak
Bang Parlin melihatku, aku mengangguk tanda setuju. "Baik, Bu, kita jumpa di mana?" tanya Bang Parlin kemudian."Datang ke mari, Pak," jawab wanita itu "Baik, tapi mungkin besok kami baru bisa sampai di sana," kata Bang Parlin."Video itu akan makin menyebar, Pak, ini aku lagi bersama Salsa, kami yang akan datang ke rumah bapak saat ini juga," kata wanita itu lagi."Tapi jauh, Bu," "Gak apa-apa, aku sudah permisi libur satu hari," kata ibu itu lagi.Ternyata Salsa yang membuat ibu itu berubah pikiran. Entah bagaimana cara mereka datang kemari malam-malam begini, bisa dini hari nanti baru mereka sampai.Kusuruh Butet menelepon Salsa, ingin tahu bagaimana cara mereka datang ke mari."Salsa, kau mau ikut ke mari, ya?" tanya Butet lewat video call."Iya, Tet, kami diantar supir papa," kata Salsa."Oh, hati-hati di jalan ya," kata Butet."Iyar, Tet, tenang saja, Tet, aku dukung kau, kau teman baikku," kata Salsa.Ada sedikit rasa lega, mungkin ibu itu tahu banyak tentang Abdul Hakim ini
Ternyata sebejat itu kepala sekolah tersebut, aku heran bagaimana bisa ada orang seperti itu, suka sama laki-laki, suka sama perempuan, suka yang remaja dan sukanya ditolak. Aneh, penyakit apaan yang seperti itu?"Jadi keluarganya sudah tahu kelakuannya," tanyaku kemudian."Sudah, Bu, sudah dibawa berobat, setelah sembuh mereka tempatkan bapak itu di Sumatra ini, sebelumnya dia dosen di Jawa." "Apakah ada anak atau istrinya?" tanyaku lagi."Ada, Bu, tapi sudah cerai, anaknya satu," "Oh, begitu, "Tapi maaf, Bu, aku tidak mau ikut-ikutan di HP, semua keluargaku kerja sama keluarga besarnya mereka, aku tidak mau keluargaku kena imbasnya," kata ibu itu lagi.Aku bisa memakluminya, tentu saja dia takut berurusan dengan polisi, akan tetapi aku bersyukur akhirnya ada titik terang. Mungkin tidak perlu menampilkan Butet seperti kata Bang Parlin.Ibu itu banyak bercerita tentang Abdul Hakim ini, dia orang pintar dan kaya. Keluarganya mengira dia sudah sembuh, akan tetapi tidak. Ibu itu cerit
Aku makin deg-degan, guru BK mau ikut siaran langsung, dia pasti akan ikut menyudutkan Butet. Aku makin merasa bersalah karena menghubungi YouTuber ini. Dia pasti akan banyak tanya, dia pasti masih sakit hati karena dipermalukan Butet.Ucok menunjukkan jempolnya, itu tanda semua baik-baik saja. Padahal aku sudah makin khawatir.Aku menonton siaran langsungnya di HP, sementara di depanku Butet dan Salsa. Lalu kelihatan di layar hp guru BK tersebut."Bu, langsung saja ya, benarkah ibu hukum Naduma Sari?" tanya YouTuber tersebut."Benar, sebagai catatan, Naduma Sari ini sudah sering berurusan dengan guru BK," jawab ibu tersebut."Benarkah ibu suruh sampai ke kamar mandir guru?" tanya Arita lagi."Tidak, saya hanya bilang punguti sampah di halaman sekolah," kata Guru itu."Depan kamar mandi itu bukan halaman sekolah ya, Bu?" Salsabila yang sedari tadi diam bicara juga akhirnya."Ya, masuk pekarangan, tapi kan tidak disuruh ke sana," "Karena di situ yang ada sampah, Bu, guru yang sering n
Siaran langsung masih lanjut, tapi tidak ada yang bicara, pembawa acara juga masih melongo. Guru BK itu pun terdiam."Jadi pemirsa semua, kini sudah terang dan jelas, bapak itu menyimpang, dia sudah akui sendiri. Abangku Ucok yang juga pahlawanku memukulnya karena melecehkanku. Untuk Abang-abang dan bapak-bapak apa yang kalian lakukan jika ada yang melecehkan saudari kalian?" kata Butet."Waw, luar biasa, ini dialog yang luar biasa," kata Arita seraya bertepuk tangan. "Saya ingin klarifikasi, tidak ada saya berduaan dengan bapak itu di kamar mandi," kata Bu guru BK."Iya, Bu, maaf, itu hanya cerita umpan," kata Butet."Baiklah, jelas sudah sayabtidak terlibat, saya undur diri," kata ibu guru tersebut. Sementara itu bapak kepala sekolah itu tetap siaran, dia masih memegangi kepalanya."Bagaimana tanggapan Bapak?" tanya YouTuber tersebut."Saya dijebak, baiklah, saya mengakui, tunggu sebentar ya," katanya seraya berdiri, tak berapa lama kemudian muncul lagi dengan kertas di tangan."B
Sepertinya perjuangan masih panjang. Minta bantuan YouTuber itu sepertinya kesalahan fatal, malah bawa mala petaka. Entah apa tujuannya memotong video tersebut. Aku jadi makin geram."Cok, ada kau simpan kan videonya?" tanyaku pada Ucok."Gak ada, Mak, aku lupa untuk menyimpan," kata Ucok."Bukannya otomatis tersimpan, Cok?" tanyaku lagi."Nggak, Mak," kata Ucok, tapi pasti ada yang simpan sebelum dihapus dari sumbernya," sambung Ucok."Jika gak ada?""Dari ribuan orang gak mungkin gak ada, Mak," kata Ucok lagi."Cari, buat pengumuman di Facebook, jika ada yang punya video utuh, kirim ke kita," kataku kemudian.Torkis tiba di rumah saat hari menjelang sore, begitu datang langsung marah-marah. Dia datang sendirian."Mana rumahnya si pedofil itu, mana?" tanya Torkis. Anak angkat kesayangan Bang Parlindungan ini memang punya emosi yang meledak-ledak."Mau ngapain, kau Torkis?" tanya Bang Parlin "Biar dipotong tangannya yang melecehkan itu, mendidih darahku," kata Torkis."Pertarungannya
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga