Aku makin deg-degan, guru BK mau ikut siaran langsung, dia pasti akan ikut menyudutkan Butet. Aku makin merasa bersalah karena menghubungi YouTuber ini. Dia pasti akan banyak tanya, dia pasti masih sakit hati karena dipermalukan Butet.Ucok menunjukkan jempolnya, itu tanda semua baik-baik saja. Padahal aku sudah makin khawatir.Aku menonton siaran langsungnya di HP, sementara di depanku Butet dan Salsa. Lalu kelihatan di layar hp guru BK tersebut."Bu, langsung saja ya, benarkah ibu hukum Naduma Sari?" tanya YouTuber tersebut."Benar, sebagai catatan, Naduma Sari ini sudah sering berurusan dengan guru BK," jawab ibu tersebut."Benarkah ibu suruh sampai ke kamar mandir guru?" tanya Arita lagi."Tidak, saya hanya bilang punguti sampah di halaman sekolah," kata Guru itu."Depan kamar mandi itu bukan halaman sekolah ya, Bu?" Salsabila yang sedari tadi diam bicara juga akhirnya."Ya, masuk pekarangan, tapi kan tidak disuruh ke sana," "Karena di situ yang ada sampah, Bu, guru yang sering n
Siaran langsung masih lanjut, tapi tidak ada yang bicara, pembawa acara juga masih melongo. Guru BK itu pun terdiam."Jadi pemirsa semua, kini sudah terang dan jelas, bapak itu menyimpang, dia sudah akui sendiri. Abangku Ucok yang juga pahlawanku memukulnya karena melecehkanku. Untuk Abang-abang dan bapak-bapak apa yang kalian lakukan jika ada yang melecehkan saudari kalian?" kata Butet."Waw, luar biasa, ini dialog yang luar biasa," kata Arita seraya bertepuk tangan. "Saya ingin klarifikasi, tidak ada saya berduaan dengan bapak itu di kamar mandi," kata Bu guru BK."Iya, Bu, maaf, itu hanya cerita umpan," kata Butet."Baiklah, jelas sudah sayabtidak terlibat, saya undur diri," kata ibu guru tersebut. Sementara itu bapak kepala sekolah itu tetap siaran, dia masih memegangi kepalanya."Bagaimana tanggapan Bapak?" tanya YouTuber tersebut."Saya dijebak, baiklah, saya mengakui, tunggu sebentar ya," katanya seraya berdiri, tak berapa lama kemudian muncul lagi dengan kertas di tangan."B
Sepertinya perjuangan masih panjang. Minta bantuan YouTuber itu sepertinya kesalahan fatal, malah bawa mala petaka. Entah apa tujuannya memotong video tersebut. Aku jadi makin geram."Cok, ada kau simpan kan videonya?" tanyaku pada Ucok."Gak ada, Mak, aku lupa untuk menyimpan," kata Ucok."Bukannya otomatis tersimpan, Cok?" tanyaku lagi."Nggak, Mak," kata Ucok, tapi pasti ada yang simpan sebelum dihapus dari sumbernya," sambung Ucok."Jika gak ada?""Dari ribuan orang gak mungkin gak ada, Mak," kata Ucok lagi."Cari, buat pengumuman di Facebook, jika ada yang punya video utuh, kirim ke kita," kataku kemudian.Torkis tiba di rumah saat hari menjelang sore, begitu datang langsung marah-marah. Dia datang sendirian."Mana rumahnya si pedofil itu, mana?" tanya Torkis. Anak angkat kesayangan Bang Parlindungan ini memang punya emosi yang meledak-ledak."Mau ngapain, kau Torkis?" tanya Bang Parlin "Biar dipotong tangannya yang melecehkan itu, mendidih darahku," kata Torkis."Pertarungannya
Biasanya saat dalam perjalanan naik mobil, kami sekeluarga akan diskusi apa saja, kali ini jadi berubah. Ada sedikit pertengkaran. Torkis yang datang marah-marah, Bang Parlin yang juga sepertinya marah' karena kubilang tidak berguna. Aku memang keceplosan, bukan maksudku meremehkan zikir dan doanya, tapi beda kasus dengan ini. Saat aku melihat HP, sudah ramai video lengkap itu menyebar, Ucok meminta bantuan remaja mesjid untuk menyebarkan video tersebut. Jadi ramai diperbincangkan orang, YouTuber itu dihujat karena terbukti memotong video untuk kepentingan Pak Abdul Hakim."Wah, sudah ramai ini," kataku kemudian."Iya, itu counter attack dari kita," kata Ucok."Abdul hakim pasti sudah keringat dingin ini," kataku lagi."YouTuber itu juga gak akan berani speak up lagi," kata Ucok."Sebentar, tidak bisakah kalian bicara bahasan Indonesia saja, sok Inggris kalian semua, nanti bicara bahasa Arab atau Batak aku bingung kalian," kata Bang Parlin."Hahaha, itu hanya istilah, Bang," kataku k
"Maafkan Papa yang selama ini lalai, Salsa," kata Ayah Salsabila. Sudah dalam keadaan begini, Salsabila ternyata tinggal di rumah almarhum orang tuanya bersama dua asisten rumah tangga, Salsabila tidak mau tinggal bersama ibu tirinya. Dua abangnya belum selesai pendidikan. Jadilah anak tersebut seperti sebarang kara dengan harta yang berlimpah.Selesai makan malam, Salsa pulang bersama ayahnya, sebelum mereka pulang, Ayah Salsabila berjanji akan membantu kasus yang menimpa kami. Dia juga geram dengan Abdul Hakim ini. Pukul sembilan lewat sedikit, Raja akhirnya sampai di hotel, dia datang bersama seorang wanita yang mengaku pengacara."Ini Bu Barita, pengacara yang akan mendampingi kalian membuat pengaduan," kata Raja memperkenalkan wanita tersebut.Mulailah pengacara itu diskusi dengan Butet, melengkapi berkas malam itu juga. Kata pengacara ini, kami harus tetap mendampingi, karena Butet masih di bawah umur. "Tenang saja, beliau ini pengacara terbaik di kota ini," kata Raja "Heheh
Perdamaian pun direncanakan hari itu juga, dilaksanakan di kantor polres itu juga, Torkis yang mengatur, dia yang banyak bicara dengan pengacara kedua belah pihak.Aku segera telepon Raja, pengacara yang dia rekomendasikan malah menyarankan damai. "Raja, kau macam mana, Bu Barita malah tawarkan perdamaian," kataku langsung saja begitu telepon tersambung."Dia pengacara handal, Bu, jika dia tawarkan damai, itu artinya karena damai yang terbaik, tipis kemungkinan menang jika lanjut," kata Raja."Tapi ...?" "Bu Nia, Bu Barita pasti tau yang terbaik, dari pada capek berperkara akhirnya kalah juga kan lebih menyakitkan lagi," kata Raja."Ah, gak beres juga kau kutengok," "Bu, aku hanya membantu, Bu, aku hanya tidak ingin bapak dan ibu masuk sel polisi," katanya lagi."Udahlah," kataku kesal.Kulihat Butet, dia tampak seperti biasa, tidak menangis, tidak khawatir, justru aku yang gelisah."Tet, kata mereka akan damai," kataku kemudian saat itu kami sudah kembali ke hotel, rencananya jam
Akan tetapi Torkis ditahan polisi. Dia tampak puas telah bisa mematahkan jari pelaku profil itu. Kami tak langsung pulang, tapi mengunjungi Torkis ke tahanan polisi."Aku baik-baik saja, Bu," kata Torkis saatnya aku menangis melihatnya."Bang Torkis!" seru Butet."Dulu aku dibantu Bapak saat bermasalah hukum, aku mencuri' sawit di kebunnya, dia malah mengangkatku sebagai anak, yang kulakukan ini belum seberapa," kata Torkis."Terima kasih, Torkis," kata Bang Parlin."Iya, Pak, jangan melenceng yar, Pak, atau aku datang meluruskan," kata Torkis seraya tertawa.Kami pulang dari kantor polisi, kembali' ke hotel tempat kami menginap. Entah bagaimana perasaanku, antara puas melihat Abdul Hakim patah tangan dan kasihan melihat Torkis, entah apa yang akan terjadi padanya, apakah dia akan dipenjara, bagaimana istri dan anaknya.Aku coba menelepon Ayu-istri Torkis."Yu, Torkis ditangkap polisi," kataku kemudian. Begitu telepon tersambung."Iya, Bu, aku sudah tahu,dia sudah pamit padaku," kata
Semua sudah berkumpul di hotel, kami menyewa satu ruangan untuk diskusi. Ada empat pasang suami istri datang, ibu tiri Salsa juga sudah hadir, akan tetapi mantan bupati itu tidak ikut datang. Rata-rata orang tua siswa itu seperti orang berada, masing-masing mereka datang naik mobil sendiri. Sekolah itu memang salah satu sekolah elit di kota ini."Aku iri pada siapa namanya yang ditahan polisi?" kata seorang Pria orang tua salah satu siswa."Torkis," jawab Bang Parlin."Aku iri pada Torkis ini, dia bisa mematahkan kaki pelaku, sementara kita yang punya anak diam saja," kata pria tersebut."Iya, kalau bertemu, kupotong itunya," kata seorang ibu.Empat orang dari Komnas PA pun sudah sampai. Mereka berjanji mendampingi semua korban, tak dipungut biaya sepeser pun. Lalu semua anak korban itu dikumpulkan. Bercerita sambil di-videokan orang dari Komnas."Wajahnya nanti pasti kita blur, namanya juga disamarkan, jangan khawatir," kata seorang wanita dari Komnas.Seorang anak lalu bercerita te
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga