Perdebatan kami terpaksa berhenti karena sudah tiba di depan rumah Rapi. Dia dan istrinya sudah menunggu di depan rumah, begitu kami turun langsung disambut dengan salaman."Nampak kali kau tukang makan itu, Rapet, dah segajah besarmu," candaku pada Rapi "Kau pun, sudah sekerbau," jawab Rapi.Kami yang biasa bercanda kasar dari kecil seperti sulit untuk dirubah. Jika bertemu mereka kebiasaan lama itu pasti muncul lagi. Di kami bercanda dengan nama hewan itu sudah biasa. Namaku saja Niyet, singkatan dari Nia monyet, si Rapi jadi Rapet. Semua teman kami namanya berakhiran et. "Kau yang hamil, Rapet, bukan istrimu," kataku lagi seraya menunjuk perutnya yang buncit."Hahaha, istriku langsing, Niyet," jawab Rapi.Aku terdiam, jika bicara tentang tubuhku yang makin berisi, aku tidak punya bahan candaan lagi, padahal aku yang duluan buat candaan soal body."Jangan ngaku suami sukses jika tidak bisa membuat istrinya gemuk," kata Bang Parlin. Di luar dugaan Bang Parlin ikut-ikutan, biasanya
Ini mungkin solusi dari masalah haji ini. Jika Torkis yang membiayai mungkin tidak akan salah lagi di adat, karena torkis adalah anak angkat Bang Parlin, yang dia pungut sejak masih kecil. "Tau kau, Torkis, dalam dua hari ini sudah tiga orang yang menawarkan haji untuk kami, satu kami tertipu, ternyata orang yang mau lelang kuota haji orang tuanya, satu lagi Abang ipar, kau tau sendiri, pantang bagi kita dibayari oleh pihak mora, dan kau Torkis, aku jadi terharu," kata Bang Parlin, dia lalu memegang matanya, aku tahu Bang Parlin menangis lagi. Entah kenapa belakangan ini dia sensitif sekali."Aku kenal, Bapak, yakin bukan mau pamer saat menyumbangkan uang tersebut, aku sampai periksa itu video," kata Torkis lagi."Iya, Torkis," "Kalau bapak dan Ibu bersedia, aku akan daftarkan besok, untuk berangkat tahun depan," kata Torkis lagi.Tak ada perdebatan kali ini, Bang Parlin mau, Ucok juga setuju, aku juga pasti setuju. Akhirnya kami serahkan semua berkas pada Torkis, besok harinya dia
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu lalu bertanya "siapa?" Langsung kuberikan saja HP tersebut, tak lupa kuhidupkan speaker-nya. "Assalamualaikum, saya Parlindungan Siregar," kata Bang Parlim."Waalaikum salam, entah aku manggil apa sama kamu, tapi istriku pernah nikah dengan bapakmu, akulah Papa Sari, aku yang sekolahkan dia sampai sarjana, sampai kerja di kantor pajak, kini kalian tiba-tiba telepon setelah sekian lama," katanya dari seberang."Oh, maaf, kami telepon karena baru ini nemu nomor teleponnya, bukan karena dia sudah sukses ya," jawab Bang Parlin."Aku tersinggung, selama ini kalian ke mana?" "Maaf jika kamu tersinggung, tapi bagaimana pun juga dia adik kami, kamilah yang bisa jadi walinya, sebetulnya bukan kami yang tidak mau peduli, tapi mereka yang mau sembunyi," kata Bang Parlin."Ya, sudah, jika hanya wali saya ijinkan," katanya lagi dari seberang."Ya, sudah, hanya wali," jawab Bang Parlin seraya mematikan telepon.Kami sampai di ibukota kabupaten saat hari masih subu
Ternyata Bang Parta serius, mereka yang duluan sampai ke desa. Katanya Torkis sudah meneleponnya memberi tahu tentang rencana pernikahan Naduma Sari. "Torkis ini ternyata tahu semua, dia tahu ayah kita dulu nikah lagi, dia juga yang sering teleponan dengan adik kita," begitu kata Bang Parta. "Kok dia ikut merahasiakan ya?" tanyaku kemudian."Itu permintaan almarhum ayah kita, beliau berhasil merahasiakannya dari kita, padahal itu bukan sesuatu yang salah, normal kok nikah lagi setelah istri meninggal," kata Bang Parlin."Ayah lari dari prinsip yang dia ajarkan, Bang, Ayah kan dulu suka bilang gini, hidup itu cuma sekali, lahir sekali, sebaiknya nikah juga sekali dan mati juga sekali, karena itu makanya dia rahasiakan," kata Bang Parlin."Iya, untuk memberikan contoh yang baik, akhirnya memberikan contoh yang tidak baik, kan jadi begini, punya adik tak dikenal," kata Bang Parta.Bang Nyatan juga sudah tiba, dia justru sangat antusias menggelar pesta untuk adik mereka yang lama hil
Ibunya Sari Justru diam saja, dia tidak berusaha melerai, tidak juga berusaha menjelaskan, akan tetapi terus diam saja. Entah apa yang ada di pikiran mertua tiriku ini.Penghulu akhirnya datang juga, Bang Parta yang jadi wali, dia menikahkan adiknya tersebut. Sementara itu ayah tiri Sari masih juga menunjukkan ketidaksukaannya pada kami, dia keluar ruangan saat akad nikah. "Sah!" Tugas Bang Parta selesai, dia langsung mengajak pulang."Kami pulang, Dik, jika butuh apa-apa, ini kami abangnya tiga, mari kita eratkan kembali persaudaraan kita," kata Bang Parlin."Terima kasih, Bang," jawab Sari seraya meneteskan air mata."Mak, tolong jangan buat jarak lagi antara kami dengan adik kami," kata Bang Parta pada ibu tiri mereka."Bukan maksud mau buat jarak, dari dulu aku hanya dijanjikan jadi istri siri, istri rahasia, ayah kalian dulu pernah bilang, kami adalah rahasia, selamanya akan rahasia, itn yang kupegang teguh sampai sekarang," jawab ibu tersebut."Sekarang jangan ada lagi rahasia
Kami singgah di sebuah rumah makan khas Mandailing. Untuk soal makanan, Bang Parlin memang suka menggunakan hak vetonya, karena dia tidak suka masakan dari daerah lain, apalagi dari luar negeri. Pernah Butet bawa burger dari ibukota kabupaten, katanya oleh-oleh untuk ayahnya. Bang Parlindungan tampak sangat tersiksa memakannya."Bicara soal butuh dan dihargai itu, ini contohnya, kita butuh makan karena lapar, sedangkan rumah makan ini butuh pelanggan jadilah saling membutuhkan, kita dihargai," kataku coba membuka percakapan."Bukan, ini bukan seperti itu, kita dihargai bukan dari hati, tapi dari duit, kalau kita gak punya uang tidak akan dihargai di sini," kata Bang Parlin."Ada ungkapan begini, pergilah ke tempat Anda dihargai, bukan dibutuhkan, menurutku itu salah, yang benar pergilah ke tempat di mana anda dibutuhkan, kalau soal dihargai itu ukurannya uang, anggota dewan datang ke desa misalnya, apakah kedatangannya dihargai, ya, iya, apakah dibutuhkan? Itu lain cerita," kata Bang
***Blokir itu akhirnya terbuka juga, kami lanjut perjalanan, sudah banyak polisi yang mengatur lalu lintas. "Ternyata ayah terkenal juga, ya, mendengar namanya orang pada takut,";kata Butet saat kami dalam perjalanan."Bukan, Tet, itu karena mamakmu cerita tentang kupu-kupu, orang jadi takut," kata Bang Parlin seraya tersenyum. Aku tahu Bang Parlin lagi meledekku."Bukan karena takut, Tet, tapi mereka sadar setelah Ucok kutip hadis," kataku kemudian."Bukan, bukan, semua karena Butet, dia ancam Kapolres," kata Ucok."Sudah, sudah, semua ini karena kita sekeluarga, kita tim yang komplit, aku jadi ingat film The Incredibles," kata Butet."Flm apa pula itu?" Bang Parlin bertanyal sambil mengerutkan kening."Keluarga pahlawan super, ayahnya jago, kuat, mamaknya tubuhnya bisa memanjang," kata Butet."Kapan-kapan kita tonton ya," kata Bang Parlin.Kami terlambat sampai di sekolah Butet, begitu turun dari mobil Butet langsung berlari masuk asrama dan berganti pakaian, kami lanjutkan perjal
"Bukan Abang yang bilang soal warna ya, itu Ucok," jawab Bang Parlin."Tapi guruku yang bilang gitu, Yah, katanya hidup itu pasti ada masalah, kalau tidak ada masalah bukan hidup namanya, tergantung cara kita menghadapi masalah," kata Ucok."Siapa gurumu, Cok?" tanyaku kemudian. Saat itu kami sudah dalam perjalanan menuju ibukota kabupaten. Tempat Butet menimba ilmu."Ya, Ayahlah, Mak," jawab Ucok "Ohh, jadi Abang yang suka cari masalah itu?" "Bukan, Dek, bukan begitu konsepnya, masalah itu pantang dicari, tapi ketemu dihadapi," kata Bang Parlin."Salah, Yah, bukan begitu yang ayah ajarkan, tanpa masalah hidup tidak berwarna, tak semua masalah harus dihadapi, ayah yang bilang jika ada orang suka bully, dihindari," kata Ucok."Oh, ya, Ayah pernah bilang gitu ya?" "Masa ayah lupa, kata ayah jika ada anjing menggonggong biarkan saja, jika jumpa harimau di jalan, gak usah dihadapi, menghindar saja," kata Ucok."Oh, iya, ya,""Ayah sudah mulai linglung kayaknya," kata Ucok lagi."Udahla
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga