Seminggu yang lalu.
Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu."Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali.Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanita bangsawan. Walaupun tak ada yang memperlakukannya dengan baik, tapi dia tetap menikmati pestanya seolah dia adalah pemeran utamanya.Pada dasarnya, Catalina memang tidak peduli dengan perkataan orang lain.Sampai seseorang naik ke atas mimbar. Memberikan ucapan dan harapan serta ungkapan cintanya pada sang adik. Dia adalah Jayden George Sebastian.Putra Mahkota kekaisaran Victoria yang dihormati. Mempunyai rambut emas yang berkilau dan mata biru yang menenggelamkan, membuatnya bersinar diatas podium.Semua orang bertepuk tangan, tidak terkecuali Catalina yang sudah terpesona.Catalina sudah menargetkan Jayden dari awal lelaki itu memasuki aula pesta. Dia tak bisa memalingkan matanya dari sosok bermata biru itu.Beberapa jam berlalu, Catalina hanya sibuk memandangi Jayden dan segala aktivitasnya di pesta. Sampai pada saat lonceng di bunyikan tanda tengah malam. Nolan yang saat itu bertugas mendampingi Catalina, gelagapan mencari Nyonya rumahnya itu.Catalina hilang.Sampai detik berikutnya, suara dentuman keras mengagetkan semua orang. Nolan dengan instingnya berlari ke arah beranda yang menjadi sumber keributan itu.Dia akhirnya melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Catalina jatuh dari atas beranda dan tenggelam ke kolam yang ada di bawahnya.Dengan tubuh ksatrianya, Nolan berlari menyelamatkan Catalina. Wanita itu dibawa pulang. Nyawanya selamat, tapi Dokter mengatakan kalau dia pingsan karena terlalu banyak menelan air dan kakinya patah akibat jatuh membentur dinding kolam.Dan begitulah, sampai pada akhirnya seminggu kemudian wanita itu bangun dengan linglung dan kembali mengejutkan semua orang atas diagnosis kesehatannya."Hilang ingatan. Aku bisa memastikannya Xavier. Dia hilang ingatan. Dia bahkan tak ingat namanya sendiri." Veronica yang masih membawa peralatan kesehatannya mencoba meyakinkan Xavier yang masih asik berlatih dengan pedang kesayangannya.Di barak ksatria, lelaki bermata biru itu masih tak mengindahkan keberadaan Veronica apalagi perkataannya."Kau dibodohi." Komentar lelaki itu singkat.Veronica yang masih kesal karena lelaki itu tak mau mendengarkannya akhirnya menyimpan koper kecilnya dan berteriak tepat di depan Xavier. "BUNUH AKU JIKA CATALINA BERBOHONG! KALI INI DIA SERIUS, XAVIER!"Veronica terlihat emosi. Ksatria dan pengawal yang tadinya menjauh dan membiarkan mereka berbicara berdua bahkan menoleh di kejauhan karena teriakkan Veronica.Sadar kalau percakapan Tuannya di perhatikan, Nolan yang ada di sana langsung menyuruh pada ksatria itu untuk kembali fokus pada kegiatan mereka masing-masing. Karena Xavier sendiri terlihat terganggu jika percakapan pribadinya terdengar.Xavier yang tadinya sibuk berlatih dengan pedangnya itu akhirnya berhenti. Dia menyimpan senjatanya dan mulai menatap Veronica. "Aku sudah pernah dibodohinya Veronica. Jangan gila. Dia pasti berpura-pura," jawab lelaki itu santai.Xavier merasa dia lebih kenal istrinya daripada Veronica atau siapa pun. Catalina adalah wanita yang tak akan pernah bisa dia percayai. Di matanya sekarang, Veronica terlihat sangat bodoh jika jatuh ke dalam perangkap Catalina yang lain.Dia adalah wanita berhati dingin, manipulatif dan penuh kebohongan. Jika bukan karena sebuah insiden, Xavier juga tak mungkin akan menikah dengannya.Veronica tersenyum miring. "Terserah kau saja! Intinya aku sudah memberitahumu! Jangan menyesal kalau ingatan Catalina kembali dan dia pergi lagi ke pelukan Jayden! Ingat kata-kataku kalau kau tidak ingin menyesal!" Emosi Veronica dengan menggebu-gebu. Wanita itu berbalik dan kembali mengambil koper kecilnya dan pergi.Xavier selalu keras kepala. Veronica tahu, sangat tahu. Tapi dia tak habis pikir kalau sifat temannya yang satu itu akan sangat menyebalkan.Ditinggalkan Veronica sendirian. Xavier langsung memanggil Nolan yang berada di kejauhan. Nolan yang mengerti akan isyarat sang Duke langsung menghampirinya."Aku akan menemui Catalina sekarang. Siapkan pakaianku."Di sisi lain, Sang Putra Mahkota kekaisaran Victoria baru saja selesai melakukan tugas kenegaraannya. Setelah menyambut kepulangan para ksatria yang baru saja menyelesaikan misi kenegaraan mereka.Jayden sebagai putra mahkota yang dibanggakan Victoria juga disibukkan dengan tugas lain, sepertia administrasi kenegaraan, dan juga tugas pemerintahan formal lainnya.Lelaki bertubuh tinggi dengan warna rambut keemasan itu terlihat berjalan di lorong istana kekaisaran Victoria yang begitu megah. Dibalut pakaian sutra berharga dua puluh kilo emas, dan pedangnya yang dibuat khusus oleh pengrajin senjata kekaisaran, pesona Jayden begitu memikat semua orang.Meskipun kini matahari menyorotnya dengan cahaya yang begitu terik. Namun karena hal itu, rambut emasnya malah berkilau terang, seolah menegaskan kepada semua orang kalau dialah cahaya Victoria. Dialah pemeran utamanya."Yang Mulia, Anda terlihat lelah. Apakah Anda ingin kembali ke kamar Anda sekarang?" Remir, lelaki muda dengan rambut birunya itu menegur sang calon kaisar. Membuat Jayden yang tadinya berjalan dengan gagah di depan Remir segera menoleh kearah asisten sekaligus pengawal pribadinya itu."Apa ada kabar terbaru dari kediaman Duke?" tanya Jayden malah mengacu pada pertanyaan lain. Sepertinya, sedari tadi lelaki itu tidak fokus karena memikirkan sesuatu dalam kepalanya sendiri."Apakah maksud Anda Nona Catalina Spencer?" tanya Remir memastikan. Dia menyebutkan nama Catalina berikut nama keluarganya.Walaupun dia sudah menikah dengan Duke Sanders dan harus mengadopsi nama keluarganya. Tapi Remir tetap memanggil wanita itu dengan nama aslinya."Iya, apa ada berita tentang perkembangan kondisinya?" tanya Jayden tak bisa menahan diri. Setelah kejadian di istana kekaisaran seminggu yang lalu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Catalina yang jatuh dari beranda dan tidak sadarkan diri selama satu minggu lamanya.Tapi karena sekarang Catalina sudah berstatus sebagai istri orang lain. Maka Jayden sebisa mungkin untuk tidak gegabah dalam menemuinya. Apalagi selama seminggu kebelakang, Xavier sedang tidak ada di tempat.Jadi sebagai Putra Mahkota yang terhormat, tentu saja dia tidak akan lancang mengunjungi istri orang lain tanpa kehadiran suaminya."Satu jam yang lalu saya mendapatkan kabar kalau Nona Spencer sudah sadar, Yang Mulia. Hanya saja ... " Remir terlihat ragu. Lelaki itu sengaja menggantung kalimatnya dan membuat Jayden cukup kesal."Hanya saja apa?" tanya Jayden enggan diberi rasa penasaran."Saya bingung harus mengatakan hal ini dari mana, Yang Mulia. Hanya saja, kabarnya Nona Spencer mengalami amnesia. Beliau dinyatakan hilang ingatan.""Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah
Semesta memang selalu punya kejutan. Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila. Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi. Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula. Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya. "Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya. Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah
"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru. Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja. Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara. "Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma." Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama. "Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya. Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.
Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica. Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh. "Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian. "Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi. Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya. Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat i
"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat